"Awal Menuju Akhir"
_________________________________________Kehadirannya yang kedua kalinya di kafe itu membuatku berpikir bahwa mungkin ini lebih dari sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang menarikku ke arahnya. Dan kali ini, aku tak ingin melepaskannya begitu saja. Aku mengamati setiap gerakannya dengan seksama, seperti seorang penulis yang mencoba menangkap detail-detail kecil untuk dimasukkan ke dalam cerita. Tapi tidak. Kali ini aku bukan sedang menulis cerita. Aku sedang hidup dalam sebuah cerita.
Dia duduk di tempat yang sama, menarik laptopnya keluar lagi, dan kembali tenggelam dalam dunianya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Di antara helaan nafasnya dan jari-jarinya yang menari di atas keyboard, dia sesekali menatap keluar jendela, matanya tampak lebih lembut, lebih tenang. Aku tidak tahu mengapa, tapi senyum tipis itu seperti memberiku harapan kecil bahwa ada sisi lain darinya yang belum kulihat.
Aku mencoba menulis lagi, mencoba memanfaatkan momentum ini. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada kata yang terangkai dengan baik. Semua hanya potongan frasa yang tersesak, seakan-akan pikiranku tak bisa fokus pada satu ide. Sial, apakah cinta bisa benar-benar mengacaukan seseorang seperti ini?
Selama beberapa menit, aku hanya duduk di sana, menatap layar laptopku yang kosong. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Entah apa yang mendorongku, tapi rasanya aku tidak bisa terus begini-hanya menunggu dan berharap. Aku menutup laptopku, menyusun keberanian yang sejak tadi hilang entah ke mana, dan berjalan ke arahnya.Langkahku berat, setiap langkah terasa seperti jarak bermil-mil yang harus kutempuh. Tapi aku harus berjalan, sampai akhirnya aku berdiri di samping mejanya. Dia tidak langsung menyadari kehadiranku, matanya masih tertuju pada layar laptopnya, tapi aku bisa merasakan energinya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut.
"Maaf, apakah kursi ini kosong?"
Dia menoleh perlahan, tatapannya bertemu denganku. Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia hanya memandangku tanpa berkata apa-apa. Lalu, dengan anggukan kecil, dia menjawab, "Iya, silahkan."
Aku duduk, dan entah kenapa, meski aku sudah berada di sini, kata-kata yang sudah kususun di kepalaku tadi hilang begitu saja. Suasana terasa canggung, atau mungkin hanya aku yang merasakannya. Dia kembali ke laptopnya, sementara aku mencoba mencari cara untuk memulai percakapan tanpa terlihat aneh. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi, dia lebih dulu bersuara.
"Kamu sering ke sini, ya?"
Aku terkejut, tapi senang karena dia yang memulai. "Iya, lumayan sering. Tempat ini tenang, cocok buat menulis."
Dia mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Aku juga suka tempat ini. Rasanya seperti ada dunia yang berbeda di sini, ya?"
Kata-katanya membuatku terhenyak. Dunia yang berbeda. Aku mengangguk, setuju tanpa ragu. "Iya, benar. Mungkin itu juga yang membuatku terus kembali ke sini."
Dia tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya, aku mendengar suaranya yang lebih hangat. Suara itu mengalir seperti aliran sungai yang tenang, membawa ketenangan ke dalam hatiku yang sebelumnya di penuhi kegelisahan. Aku mulai merasa lebih nyaman, dan percakapan kami perlahan mengalir lebih lancar. Kami membicarakan hal-hal ringan-tentang pekerjaan, tentang kota ini, dan sedikit tentang hidup.
Ternyata, dia adalah seorang konsultan di sebuah perusahaan besar. Pantas saja dia selalu terlihat sibuk dan penuh fokus. Dunia yang dia jalani berbeda jauh dariku-dunia yang dipenuhi rapat-rapat, tenggat waktu, dan ambisi yang tak pernah berhenti. Sementara aku, hanyalah seorang penulis yang tenggelam dalam imajinasi dan cerita. Namun, meski dunia kami begitu berbeda, percakapan kami terasa seakan-akan tidak ada batasan.
Kami berbicara selama berjam-jam. Dia bercerita tentang proyek-proyek besar yang sedang dia tangani, dan aku bercerita tentang novel yang sedang kutulis-tentang bagaimana terkadang kata-kata bisa mengkhianatiku, atau bagaimana ide-ide bisa muncul pada saat-saat yang paling tidak terduga. Dia mendengarkan dengan seksama, seolah-olah dunia tulis-menulis adalah sesuatu yang asing baginya, tapi dia penasaran. Dan aku senang, karena akhirnya aku bisa berbagi sebagian dari hidupku yang selama ini hanya kusimpan untuk diri sendiri.
Di tengah percakapan, aku menyadari bahwa dia memiliki mata yang penuh perhatian. Setiap kali aku berbicara, dia menatapku dengan intens, seolah-olah benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutku. Dan di situlah aku tahu, ini lebih dari sekadar pertemuan biasa.
Sejak hari itu, kami mulai sering bertemu di kafe yang sama. Awalnya hanya secara kebetulan, tetapi lama-kelamaan, seolah-olah kami berdua diam-diam sepakat untuk kembali lagi. Saling mencari tanpa harus mengatakan apapun. Setiap kali aku melihatnya masuk, hatiku berdebar. Setiap kali kami duduk bersama, ada rasa nyaman yang mengalir. Percakapan kami semakin mendalam-bukan lagi tentang pekerjaan atau hal-hal kecil, tapi tentang mimpi, ketakutan, dan harapan.
Ternyata, di balik sikapnya yang serius dan profesional, dia memiliki sisi lain yang lembut dan penuh rasa ingin tahu. Dia bercerita tentang bagaimana dia sering merasa terjebak dalam rutinitas kariernya, bagaimana kadang dia merindukan kebebasan yang selama ini dia lihat dari kejauhan. Aku tahu perasaan itu. Aku bisa merasakannya dalam setiap kata yang dia ucapkan, dalam setiap tatapannya yang sesekali melayang jauh.
Dan begitulah, kami terus bertemu. Setiap pertemuan adalah bagian dari cerita yang belum selesai, bagian dari teka-teki yang semakin sulit dipahami. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara kami, apakah ini cinta, atau hanya rasa penasaran yang semakin membesar. Tapi yang jelas, setiap kali aku bersamannya, aku merasa seperti menemukan bagian dari diriku yang selama ini hilang.
Namun, seperti yang kutahu, setiap cerita memiliki konflik. Tidak ada yang berjalan mulus, terutama ketika dunia yang kita jalani begitu berbeda.
Suatu hari, saat kami sedang berbicara tentang mimpi-mimpi kami, dia menatapku dengan serius, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia katakan. Dan itulah saat di mana semuanya berubah.
"Aku mungkin harus pergi sebentar," katanya dengan suara pelan.
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Pergi ke mana?"
"Keluar negeri. Pekerjaan. Ada proyek besar yang harus kuselesaikan."
Hatiku tenggelam. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja masuk ke dalam hidupku, tiba-tiba pergi begitu saja?
"Kapan?" tanyaku, mencoba menahan kegelisahan yang mulai merayap ke dalam hatiku.
"Minggu depan."
Dan disitulah aku menyadari, bahwa tidak peduli seberapa dalam aku merasakannya, dunia kami memang benar-benar berbeda. Aku hanya seorang penulis yang hidup dari kata-kata, sementara dia hidup di dunia nyata, penuh dengan tanggung jawab dan keputusan besar. Tapi, meski tahu bahwa perbedaan ini bisa menjadi tembok yang tak tertembus, aku tidak bisa mundur sekarang.
Karena ketika sepasang mata bertemu, ketika hari mulai berbicara, tidak ada yang bisa menghentikan cerita yang sedang ditulis, bahkan oleh tangan takdir itu sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
MERANGKAI KATA
Teen Fictionaku selalu percaya bahwa setiap kata yang kutulis adalah refleksi dari perasaan yang tak terucapkan. Bagi penulis sepertiku, kata-kata adalah pelarian, tempat sembunyi dari hiruk-pikuk dunia. Namun, kali ini, tidak ada kata yang bisa menutupi kenyat...