BAGIAN 8

0 0 0
                                    

"Pertemuan tak Terduga"
_________________________________________

Kadang, hidup memberimu sesuatu yang tak pernah kau duga. Seperti ketika kau sedang berjalan di sebuah jala yang sepi, di antara hiruk-pikuk pikiranmu, dan tiba-tiba seserang lewat, menyapa tanpa alasan. Atau ketika kau merasa hidupmu stagnan, tak bergerak ke mana-mana, tapi entah bagaimana, semesta memberimu sebuah kejutan—sebuah ertemuan yang membalikkan duniamu, membuatmu kembali mempertanyakan apa yang sebelumnya kau yakini.

Sore itu, hujan turun pelan. Aku duduk di sudut kafe yang baru saja buka di dekat kantorku. Kafe itu sederhana, dengan meja kayu dibiarkan mentah, dan cahaya lampu kuning yang memberikan nuansa hangat di tengah cuaca dingin. Sebuah tempat yang sempurna untuk menghabiskan sore dengan secangkir kopi, tenggelam dalam tulisan, dan berpikir tentang segala hal yang sepertinya tak pernah selesai.

Aku memesan kopi hitam, seperti biasa. Entah kenapa, kopi hitam selalu punya tempat khusus di hidupku. Ada sesuatu tentang rasa pahitnya yang justru terasa menenangkan—seperti pelukan dari kenyataan yang tak berusaha mengubah apa pun, tapi menerima segalanya dengan apa adanya. Itulah yang aku butuhkan sore itu.

Aku menatap keluar jendela, melihat orang-orang berlarian menghindari hujan yang semakin deras. Payung-payung warna-warni berkelebat di jalan, memberi sedikit warna di tengah nuansa abu-abu yang mendominasi kota. Pikiranku mulai melayang, kembali ke masa-masa di mana segalanya terasa lebih sederhana, lebih mudah. Tapi sebelum aku bisa terlalu jauh terjebak dalam nostalgia, pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk dengan setengah berlari, mengguncang payungnya yang basah. Seperti ada magnet yang enarik pandanganku, aku menoleh. Aku mengenalnya—wanita itu. Thania.

Ya, dia. Wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Wanita yang pernah membuat segalanya terasa sempurna, hingga akhirnya kami berpisah, memilih jalan yang berbeda. Rasanya seperti sebuah kebetulan yang mustahil, bahwa di antara jutaan tempat di kota ini, kami bertemu lagi di kafe yang sama, di waktu yang hampir sama.

Dia melihatku. Matanya melebar sedikit, mungkin sama terkejutnya seperti aku. Tapi kemudian, senyum tipis muncul di wajahnya, dan dia berjalan mendekat.

“Aldi?” suaranya lembut, sedikit ragu, seperti tidak yakin apakah benar itu aku.

Aku tersenyum kecil. “Thania. Lama tak bertemu.”

Dia tertawa pelan, dan entah kenapa, suara tawanya itu membawa kembali begitu banyak kenangan. Tentang malam-malam panjang yang kami habiskan berbicara tentang mimpi, tentang tawa dan keheningan yang nyaman. Tentang semua hal yang pernah ada di antara kami.

“Boleh aku duduk?” tanyanya, menunjuk ke kursi di depanku.

Aku mengangguk, mencoba menjaga ketenangan meskipun jantungku sedikit berdegup lebih cepat dari biasanya. “Tentu. Duduklah.”

Dia duduk, meletakkan payungnya yang basah di lantai. Matanya menatapku sejenak, seolah sedang mengukur perubahan yang mungkin saja terjadi sejak terakhir kali kami bertemu.

“Apa kabar?” tanyanya, memecah keheningan.

“Aku baik,” jawabku singkat. “Bagaimana denganmu?”

Dia menghela napas pelan, seolah sedang memikirkan jawaban yang tepat . “Aku baik... meskipun hidup memang punya caranya sendiri untuk membuat segalanya sedikit rumit.”

Aku tertawa kecil, mengangguk setuju. “Ya, hidup selalu begitu.”

Kami terdiam sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami. Bukan keheningan yang canggung, tapi keheningan yang penuh dengan apa yang tak terucapkan—kenangan, pertanyaan, dan mungkin sedikit penyesalan.

“Aku sering bertanya-tanya,” kata Thania tiba-tiba, “apa kabarmu setelah... kita berhenti berbicara.”

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Pertanyaan itu sederhana, tapi di baliknya, aku bisa merasakan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Bukan hanya tentang kabarku, tapi tentang apa yang telah berubah sejak kami terakhir kali bertemu.

“Aku... baik-baik saja,” jawabku akhirnya. “Butuh waktu, tapi aku menemukan cara untuk melanjutkan hidup.”

Dia tersenyum kecil, menatap ke arah cangkir kopi yang baru saja diletakkan oleh pelayan di depannya. “Aku senang mendengarnya. Karena sejujurnya, aku juga butuh waktu untuk melanjutkan.”

Aku menatapnya, mencoba memahami apa yang ia maksud. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku berpikir bahwa meskipun kami sudah lama berpisah, dia juga masih membawa beban yang sama sepertiku.

“Aku selalu berpikir,” lanjutnya, “Bagaimana jika kita bisa mengulang semuanya? Jika ada hal-hal yang bisa kita lakukan dengan cara yang berbeda.”

Aku tersenyum pahit. “Tapi hidup tidak memberi kita kesempatan kedua, kan?”

Dia mengangguk, lalu menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Mungkin tidak. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memulai yang baru.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MERANGKAI KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang