BAGIAN 6

1 0 0
                                    

"Titik Nol"
_________________________________________

Ada satu momen dalam hidup di mana semuanya tampak berhenti. Seperti pagi yang masih terlalu awal untuk bangun, tapi terlalu sulit untuk tidur kembali. Kau hanya terbaring di tempat tidur, mendengar detak jarum jam yang berjalan perlahan. Lalu, tiba-tiba, segalanya hening. Tak ada suara apa pun selain pikiranmu yang terus mengembara. Di titik itulah aku berada sekarang, di antara masa lalu yang tak ingin kuhapus, dan masa depan yang terlalu samar untuk kulihat jelas.

Pagi ini, seperti banyak pagi lainnya, aku terbangun dengan perasaan kosong. Bukan karena kesepian, bukan karena kehilangannya. Lebih tepatnya, ini adalah kekosongan yang muncul karena aku tahu semua telah berakhir, tapi aku belum tahu ke mana harus melangkah selanjutnya. Rasanya seperti berada di titik nol. Tidak ada yang salah, tapi juga tidak ada yang benar.

Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhir kami di kafe itu. Pertemuan yang, meskipun singkat, memberi jawaban yang selama ini kubutuhkan. aku tahu kami tidak akan kembali bersama. Aku sudah menerima kenyataan itu, bahkan sebelum dia mengatakannya. Tapi penerimaan tidak selalu berarti menhilangkan rasa sakitnya.

Aku masih ingat kata-katanya, bagaimana dia mengatakan bahwa cinta kami tidak cukup untuk melawan dunia yang terus bergerak. Bahwa kami punya jalan masing-masing, dan itu tidak selalu harus berjalan berdampingan. Di satu sisi, aku mengerti. Kami berdua punya ambisi, mimpi, dan harapan yang berbeda. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya, bukankah cinta seharusnya menjadi sesuatu yang bisa mengatasi semua perbedaan itu?

Tapi semakin hari, aku mulai menyadari bahwa mungkin ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita paksakan. Mungkin ada hubungan yang memang ditakdirkan untuk berhenti di tengah jalan, untuk mengajarkan kita sesuatu sebelum akhirnya melepaskan kita pergi. Dan meskipun itu menyakitkan, aku tahu aku harus melanjutkan hidupku tanpa terus-menerus terjebak dalam kenangan masa lalu.

Pagi itu, aku duduk di meja kerjaku, memandang kosong ke layar laptop yang terbuka di depan. Sudah berhari-hari aku tidak menulis apa pun. Bukan karena aku tidak punya ide, tapi karena setiap kali aku mencoba mengetik, semua kembali ke perasaan yag sama-perasaan rindu yang tidak bisa kuhilangkan. Rasanya seperti ada benang halus yang terus mengikatku pada masa lalu, meskipun aku tahu aku harus bergerak maju.

Aku menyesap kopi yang sudah mulai dingin, mencoba memaksa diriku untuk menulis sesuatu. Tapi setiap kata yang keluar terasa hampa. Aku mengetik beberapa kalimat, hanya untuk menghapusnya lagi beberapa detik kemudian. Ini tidak seperti aku yang biasanya. Biasanya, menulis adalah tempatku melarikan diri, tempatku mengekspresikan semua yang tidak bisa kukatakan dengan lantang. Tapi sekarang, sepertinya bahkan kata-kata pun tidak mau bekerja sama denganku.

Akhirnya, aku menyerah. Aku menutup laptopku, meraih jaket yang tergantung di kursi, dan memutuskan untuk pergi keluar. Mungkin udara segar bisa membantuku berpikir lebi jernih. Atau setidaknya, memberiku jarak dari kekacauan di dalam kepalaku.

Aku berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakiku menuntunku ke mana pun mereka mau. Langit di atas mendung, seolah mencerminkan suasana hatiku. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang lewat dengan kesibkan mereka masing-masing. Aku menyusuri trotoar, mencoba menemukan ketenangan di antara hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur.

Di salah satu sudut jalan, aku melihat sebuah toko buku kecil. Jendela depannya dipenuhi dengan tumpukan buku-buku lama yang sudah mulai menguning. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa tertarik untuk masuk. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa membriku inspirasi, atau setidaknya mengalihkan pikiranku untuk sementara waktu.

Begitu aku masuk, aroma kertas tua langsung menyergapku. Toko ini kecil, hampir tidak ada orang di dalam selain seorang pria tua yang duduk di belakang meja kasir, membaca buku dengan kacamata tebal di ujung hidungnya. Aku berjalan di antara rak-rak yang dipenuhi buku-buku bekas, membiarkan jemariku menyentuh punggung-punggung buku yang sudah mulai berdebu.

Lalu, mataku tertumbuk pada sebuah buku yang sepertinya sudah lama sekali tergeletak di sana. Judulnya sederhana, "Perjalanan Tanpa Akhir." Tanpa pikir panjang, aku menarik buku itu dari rak dan membukanya. Halaman-halamannya sudah menguning, beberapa di antaranya bahkan mulai robek di ujungnya. Tapi ada sesuatu tetang buku ini yang membuatku tertarik. Sesuatu yang memberitahuku bahwa ini lebih dari sekadar buku uang yang ditinggalkan oleh waktu.

Aku membaca beberapa kalimat pertama, dan langsung merasa tersentuh. Buku ini menceritakan tentang seorang pria yang melakukan perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri setelah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Setiap langkah yang dia ambil bukan hanya membawanya lebih jauh dari tempat asalnya, tapi juga membawanya lebih dekat pada pemahaman tentang hidup dan cinta.

Aku tidak bisa berhenti membaca. Setiap kata seolah berbicara langsung padaku, mencerminkan apa yang sedang kurasakan. Aku tenggelam dalam ceritanya, lupa akan waktu dan tempat di mana aku berada. Seolah-olah, buku ini adalah cermin dari perjalananku sendiri-perjalanan untuk menemukan kembali diriku setelah kehilangan seseorang yang pernah begitu berarti.

Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang berbeda. Buku yang kubeli di toko buku kecil tadi masih tergeletak di meja. Aku belum menyelesaikannya, tapi setiap halaman yang kubaca memberi makna baru pada perasaanku. Seolah-olah, buku itu adalah kunci untuk memahami apa yang sedang kualami.

Saat aku duduk di meja kerjaku lagi, ada dorongan yang muncul dalam diriku untuk menulis. Bukan cerita fiksi seperti biasanya, tapi sesuatu yang lebih pribadi. Aku merasa bahwa inilah saatnya untuk benar-benar jujur pada diriku sendiri, untuk menulis tentang semua yang selama ini kusimpan di dalam hati.

Aku membuka laptopku dan mulai mengetik. Kali ini, kata-katanya mengalir dengan mudah. Aku menulis tentang dia-tentang bagaimana dia masuk ke dalam hidupku, bagaimana dia mengubah cara pandangku tentang cinta, dan bagaimana akhirnya kami harus berpisah. Aku menulis tentang harapan yang hancur, dan tentang proses penerimaan yang tidak pernah mudah.

Setiap kata kutulis seperti melepaskan beban yang selama ini menghimpitku. Aku menulis tanpa berhenti, tanpa berpikir terlalu banyak. Aku hanya menumpahkan semua yang ada di dalam hati, seolah-olah ini adalah caraku untuk sembuh. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa damai.

Malam itu, aku menulis hingga larut. Ketika akhirnya aku selesai, aku menatap layar laptopku yang penuh dengan kata-kata. Ini bukan cerita fiksi, ini adalah kisahku sendiri-kisah tentang kehilangan, cinta, dan proses menemukan diri sendiri kembali. Aku tahu, ini adalah langkah pertama untuk benar-benar melepaskan.

Hari-hari berikutnya, hidupku mulai terasa berbeda. Bukan karena ada perubahan besar yang terjadi, tapi karena aku merasa lebih ringan. Aku tidak lagi terjebak dalam perasaan kehilangan, tidak lagi bertanya-tanya apakah aku akan melihatnya lagi atau tidak. Aku mulai menerima bahwa ada hal-hal dalam hidup yang memang tidak bisa kita kendalikan, dan itu tidak apa-apa.

Aku kembali menulis, kembali menikmati rutinitasku, tapi kali ini dengan hati yang lebih tenang. Aku tidak lagi mencari jawab di luar diriku sendiri. Aku tidak lagi bergantung pada kenangan masa lalu untuk merasa utuh. Sebaliknya, aku mulai menemulan kebahagiaan dalam hal-hal kecil-dalam secangkir kopi di pagi hari, dalam suara hujan yang jatuh di atas atap, dalam keheningan malam yang membawa ketenangan.

Suatu hari, ketika aku sedang berjalan di taman, aku melihat sepasang kekasih yang duduk di bangku, tertawa bersama. Pemandangan itu, yang dulunya mungkin akan membuatku merasa rindu, kini hanya membuatku tersenyum. Aku tidak lagi merasa iri, tidak lagi merasa bahwa ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Aku tahu, aku akan menemukan cinta lagi suatu hari nanti. Tapi untuk saat ini, aku merasa cukup dengan diriku sendiri.

Mungin itulah yang dimaksud dengan titik nol-sebuah awal baru setelah segala sesuatunya hancur. Bukan berarti kita melupakan apa yang pernah terjadi, tapi kita belajar untuk melangkah maju tapa terbebani oleh masa lalu. Dan di titik nol inilah aku berada sekarang, siap untuk menulis bab baru dalam hidupku.

Aku masih belum tahu ke mana jalan ini akan membawaku. Tapi satu hal yang pasti, aku siap untuk melanjutkan perjalanan ini, dengan hati yang lebih kuat, dan dengan cinta yang telah kutemukan kembali dalam diriku sendiri.

MERANGKAI KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang