BAGIAN 5

4 0 0
                                    

"Jalan yang Kita Tempuh"
_________________________________________

Aku selalu percaya bahwa hidup adalah tentang pilihan, tentang langkah yang kita ambil menuju tujuan yang entah pasti atau tidak. Pada titik ini, aku mulai menyadari, bahwa meskipun kita sudah merancang peta perjalanan dengan sangat hati-hati, ada saat-saat di mana kita harus melepas kendali. Harapan, sekuat apapun, tidak selalu membawa kita ke tempat yang kita inginkan. Ada tikungan tak terduga, belokan yang memaksa kita berpikir ulang tentang jalan yang kita tempuh.

Semenjak perbincanganku dengan dia malam itu, hidupku terasa berbeda. Ada ruang kosong yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Seperti lubang kecil di hati yang semakin hari semakin lebar, menghisap seluruh rasa yang dulu pernah membuatku merasa utuh. Tapi mungkin, aku terlalu berharap dia yang akan melengkapi hidupku. Padahal, kenyataannya, tidak ada seorang pun yang bisa mengisi kekosongan dalam diri kita sepenuhnya kecuali diri kita sendiri.

Hari-hari berlalu dalam keheningan. Aku mencoba kembali ke rutinitas yang sama—menulis, membaca, menikmati secangkir kopi di pagi hari sambil memikirkan segala hal yang terlintas di kepalaku. Tapi ada satu perbedaan yang sulit kugambarkan, aku merasa terasing di dalam diriku sendiri. Seperti seseorang yang berdiri di depan cermin, tapi tidak mengenali bayangannya.

Setiap kali aku membuka laptop dan mencoba menulis, aku selalu kembali ke tempat yang sama, dia. Setiap cerita yang kubangun, setiap karakter yang kuciptakan, selalu memiliki jejaknya. Aku tidak bisa menulis tanpa membayangkan sosoknya, tanpa merasakan kenangan akan kehadirannya yang dulu begitu hangat. Dan itu, jujur saja, membuatku marah pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa terjebak dalam lingkaran ini, padahal aku sudah berjanji akan melepaskannya?

Tapi seperti biasa, janji kepada diri sendiri seringkali menjadi janji yang paling sulit ditepati.

Hari minggu sore, aku duduk di sebuah kafe yang berbeda dari biasanya. Mungin aku hanya butuh suasana baru. Kafe ini lebih kecil, lebih sepi, dan lebih banyak dipenuhi cahaya matahari yang menerobos masuk lewat jendela besar di samping. Aku duduk di sudut, membuka laptopku, dan mencoba menulis. Tapi sekali lagi, pikiranku kembali melayang pada dia. Pada percakapan kami terakhir kali, pada senyumnya yang terasa seperti perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal.

aku menutup laptopku dengan kasar, menyesap kopi yang mulai mendingin, dan merogoh sakuku untuk mencari rokok. Tapi kemudian aku sadar, aku sudah berhenti merokok sejak bertemu dengannya. Dia benci bau asap rokok, dan karena itulah aku memutuskan untuk berhenti. Sekarang, bahkan ketika aku merasa butuh sesuatu untuk meredakan kegelisahanku, aku tidak bisa melakukannya. Ironis, bukan?

Sambil menghela napas, aku menatap keluar jendela. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang lewat, menjalani hidup mereka tanpa tahu betapa kusutnya pikiranku saat ini. Aku selalu kagum pada orang-orang yang bisa terlihat tenang meskipun hidup mereka mungkin tidak sempurna. Mereka yang bisa berjalan tegak, tersenyum, dan tampak tidak terganggu oleh masalah yang mungkin mereka hadapi. Mungkin, mereka sudah menemukan cara untuk berdamai dengan diri sendiri—sesuatu yang jelas belum bisa kulakukan.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba ada pesan masuk di ponselku. Namanya muncul di layar, membuat hatiku berdebar. Aku membuka pesan itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Apa kabar?” pesan itu selama beberapa detik, bertanya-tanya apa yang harus kubalas. Ada dorongan untuk langsung menjawab, tetapi di sisi lain, aku tahu jawabanku bisa membawa perasaan lama yang mungkin belum siap untuk kuhadapi lagi. Aku menutup ponselku, menunda untuk memberikan balasan. Aku butuh waktu untuk berpikir.

Namun, seperti yang sering terjadi, semakin lama kau menunda, semakin sulit kau mengambil keputusan.

Beberapa hari berlalu tanpa balasan dariku. Aku tahu, ada sebagian dari diriku yang ingin menjawab pesannya, bertanya bagaimana kabarnya, apakah dia baik-baik saja, apakah dia sudah menemukan apa yang dia cari. Tapi di sisi lain, aku takut. Takut bahwa jika aku membuka pintu lagi, aku akan terjebak dalam lingkaran perasaan yang sama—perasaan yang tak pernah benar-benar hilang. Aku masih mencintainya, itu kenyataan yang tak bisa kuhindari, tapi aku tidak tahu apakah itu cukup.

Suatu malam, ketika aku sedang duduk di balkon apartemenku, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang, aku mendapati diriku merenung tentang segala yang telah terjadi. Mungkin pada akhirnya, yang membuatku sulit melupakannya bukanlah dirinya, tetapi versi diriku sendiri saat bersamanya. Aku merindukan diriku yang bahagia, yang penuh harapan, yang percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Aku merindukan versi diriku yang tidak terbebani oleh kenyataan hidup.

Tetapi kenyataan sering kali lebih kejam daripada dongeng. Dan cinta, meskipun indah, tidak selalu menjadi jawaban dari semua masalah.

Malam itu, aku memutuskan untuk menulis lagi. Bukan cerita fiksi, bukan tentang karakter-karakter imajiner yang kubuat untuk melarikan diri dari kenyataan. Aku menulis tentang diriku sendiri, tentang perasaan yang selama ini kusimpan, tentang kehilanganku, tentang perjuanganku untuk menerima kenyataan bahwa mungkin kami memang tidak ditakdirkan bersama.

Kata-kata mengalir dengan lancar, seperti sungai yang akhirnya menemukan jalannya setelah tersumbat sekian lama. Aku menulis tanpa henti, tanpa memikirkan apakah ini akan menjadi tulisan yang bagus atau tidak. Yang penting, aku menuliskannya. Aku menumpahkan seluruh isi hatiku di halaman demi halaman, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, aku merasa lega.

Aku menyadari satu hal, menulis adalah caraku untuk sembuh. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menerima. Menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, bahwa ada orang yang datang ke dalam hidup kita hanya untuk mengajarkan sesuatu, dan kemudian pergi. Menerima bahwa cinta, meskipun indah, tidak selalu berakhir seperti yang kita harapkan.

Ketika aku selesai menulis, malam sudah semakin larut. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan kata-kata, dan untuk pertama kalinya, aku merasa tenang. Mungkin, ini adalah langkah pertamaku untuk benar-benar melepaskan.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk membalas pesannya. Aku mengetik dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak akan membuka kembali luka yang sudah mulai sembuh.

“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” balasku singkat, mencoba untuk tetap tenang.

Tidak butuh waktu lama sebelum dia membalas.

“Aku baik. Banyak yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu. Aku ingin berbicara denganmu, jika kamu punya waktu.”

Aku terdiam, membaca ulang pesannya beberapa kali. Dia ingin bertemu. Setelah semua percaapan yang berat dam perasaan yang tak terucapkan, dia masih ingin berbicara denganku. Sebagian dari diriku ingin mengatakan tidak, ingin menjaga jarak dan melindungi diriku sendiri dari rasa sakit yang mungkin akan muncul lagi. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa aku butuh jawaban. Aku butuh penutupan.

"Baik, kapan?” balasku akhirnya, menyerah pada rasa penasaran yang masih menguasai hatiku.

Kami sepakat untuk bertemu di kafe yang dulu serig kami kunjungi bersama. Kafe yang penuh dengan kenangan, baik kenangan indah maupun kenangan pahit. Ketika aku berjalan ke sana, hatiku berdebar-debar. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan, apa yang akan aku rasakan ketika melihatnya lagi. Tapi aku tahu satu hal, aku harus mendengar apa yang dia ingin katakan, bahkan jika itu akan membawa rasa sakit baru.

Ketika aku tiba di kafe, dia sudah duduk di sana, di sudut favorit kami. Senyumnya lembut, tapi ada kelelahan di matanya yang tidak bisa disembunyikan. Aku duduk di depannya, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku bergemuruh.

“Terima kasih sudah mau bertemu,” katanya pelan.

Aku mengangguk, tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya menunggunya berbicara.

“Aku sudah banyak berpikir sejak terakhir kali kita bertemu,” dia memulai, suaranya terdengar ragu. “Aku sadar bahwa aku banyak membuatmu menunggu, membuatmu bingung dengan perasaanku. Dan aku minta maaf untuk itu.”

“Aku mengerti,” jawabku singkat. “Tapi kenapa kau ingin bertemu sekarang?”

Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku... aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena selalu ada untukku, bahkan ketika aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kulakukan.” Dia menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat di antara keraguan yang membebaninya. “Aku tahu, aku meninggalkanmu dalam ketidakpastian, membuatmu menebak-nebak apakah aku akan kembali atau tidak. Tapi selama waktu itu, aku menyadari sesuatu.”

Aku menunggu, membiarkannya melanjutkan. Ada sesuatu dalam caranya berbicara, caranya memilih kata-kata, yang membuatku merasa bahwa dia sedang berusaha keras untuk menyampaikan sesuatu yang penting. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar permintaan maaf.

“Aku belajar banyak selama aku pergi,” katanya, mengangkat pandangannya untuk menatapku. “Tentang diriku, tentang apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup. Dan salah satu hal yang paling sulit adalah menyadari bahwa terkadang, cinta tidak selalu berarti harus bersama.”

Kata-katanya menusuk hati. Ini adalah kalimat yang sudah berkali-kali kupikirkan, tapi mendengarnya langsung dari mulutnya membawa rasa sakit yang berbeda. Aku tahu, di dalam hatiku, bahwa ini adalah jalan yang mungkin harus kami tempuh, tapi menghadapinya secara nyata tidak pernah mudah.

“Kau tahu,” lanjutnya dengan nada lebih lembut, “ketika aku pergi, aku merasa bahwa aku harus menemukan dirku sendiri sebelum aku bisa menjadi seseorang yang kau butuhkan. Aku berpikir, jika aku bisa mencapai impian-impian itu aku akan merasa lebih utuh, dan mungkin kita bisa menemukan jalan kembali satu sama lain.”

Dia terdiam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.

“Tapi kemudian aku menyadari bahwa impian-impian itu tidak akan pernah lengkap jika aku selalu merasa ada yang tertinggal di belakang. Aku terus bergerak maju, tapi selalu ada bagian dari diriku yang kembali padamu, yang mempertanyakan apakah aku mengambil keputusan yang benar.”

Aku menarik napas panjang, mencoba memproses kata-katanya. Meskipun ada harapan kecil dalam hatiku, aku tahu bahwa percakapan ini bukan tentang menerima bahwa ada hal-hal yang memang harus dibiarkan pergi, bahkan jika itu terasa menyakitkan.

“Kita saling mencintai,” lanjutnya, “tapi cinta kita mungkin tidak bisa bertahan dalam dunia di mana kita harus memilih antara ambisi dan kebersamaan. Aku tahu ini bukan yang ingin kau dengar. Tapi aku merasa penting untuk jujur. Kau adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku, dan aku tidak ingin mengakhiri ini tanpa mengatakannya.”

Aku tersenyum tipis, meski di dalam hati aku merasa hancur. “Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, kau benar. Kadang cinta tidak cukup. Kita menginginkan hal yang berbeda, dan itu bukan salah siapa pun.”

Keheningan kembali menyelimut kami. Ada sesuatu yang indah sekaligus menyakitkan dalam perasaan ini—seperti melepaskan sesuatu yang pernah menjadi bagian dari hidupmu, dan tahu bahwa itu adalah yang terbaik. Tidak semua cerita cinta berakhir dengan kebahagiaan, tapi itu tidak mengurangi nilai dari apa yang pernah ada.

“Jadi,” tanyaku akhirnya, meskipun aku sudah tahu jawabannya, “apa yang akan kita lakukan sekarang.”

Dia tersenyum lembut, dan untuk pertama kalinya, senyum itu tidak membawa beban. “Kita akan melanjutkan hidup kita masing-masing. Dengan cara yang terbaik bagi kita. Aku harap, kita bisa tetap saling mendukung dari kejauhan, meskipun mungkin bukan sebagai pasangan.”

Aku mengangguk, merasakan sebuah beban yang perlahan-lahan terangkat. Meskipun sulit, percakapan ini memberikan penutupan yang selama ini kucari. Tidak ada janji untuk kembali, tidak ada harapan yang terpaksa dipertahankan. Hanya ada kejujuran, dan terkadang, itu sudah cukup.

“Kau benar,” kataku, mencoba menenagkan perasaan yang masih bergejolak. “Mungkin inilah yang terbaik. Aku akan selalu menghargai semua yang pernah kita lalui.”

Dia tersenyum lagi, kali ini dengan rasa lega yang terpancar di wajahnya. “Aku juga.”

Kami menghabiskan sisa waktu kami di kafe itu dalam keadaan hening, hanya saling menatap dan menikmati momen terakhir bersama tanpa perlu banyak kata. Mungkin ini adalah cara terbaik untuk mengakhiri sesuatu yang begitu berarti—dengan tenang, dengan penuh penghargaan, tanpa amarah atau penyesalan.

Ketika akhirnya kami berpisah, aku tahu ini bukan akhir yang menyedihkan, tapi akhir yang perlu terjadi. Kami berdua memiliki jalan yang berbeda untuk ditempuh, dan meskipun itu berarti kami tidak lagi bersama, aku merasa bersyukur pernah memiliki bagian kecil dari hidupnya.

Malam itu,  ketika aku pulang ke apartemenku, aku duduk di balkon dan menatap langit. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak merasa terbebani oleh ketidakpastian. Ada rasa lega, meskipun bercampur dengan sedikit kesedihan. Tapi, mungkin inilah yang disebut kedewasaan—menerima bahwa tidak semua cerita cinta berakhir dengan kebahagiaan, tapi itu tidak mengurangi nilai dari itu sendiri.

Aku menyesap kopiku, merasakan angin malam yang sejuk, dan tersenyum. Aku sudah siap melanjutkan hidup, siap untuk menulis bab baru, meskipun tanpa dia di sisiku. Mungkin, di masa depan, aku akan menemukan seseorang yang akan berjalan di jalan yang sama denganku. Tapi untuk sekarang, aku merasa damai dengan diriku sendiri. Dan itu, pada akhirnya, adalah langkah pertama yang paling penting.

Penutupan hubungan kami yang tenang, meski tak mudah, membawaku pada pemahaman baru tentang cinta, hidup, dan diriku sendiri. Mungkin benar kata orang, bahwa tidak semua cinta ditakdirkan untuk bertahan. Tapi yang pasti, setiap cinta yang kita jalani meninggalkan jejak, membentuk siapa kita dan bagaimana kita melangkah ke depan.

Bab ini berakhir dengan hati yang lebih lapang, siap untuk menghadapi masa depan, dan dengan kenangan yang akan selalu aku simpan dengan baik. Meskipun kami tidak lagi bersama, aku akan selalu bersyukur pernah mencintainya.

MERANGKAI KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang