BAGIAN 7

0 0 0
                                    

"Merelakan dan Melangkah"
_________________________________________

Ada kalanya kita harus belajar untuk melepaskan sesuatu yang tak pernah ingin kita lepaskan. Bukan karena kita tidak peduli lagi, tetapi karena kita akhirnya mengerti bahwa tidak semua hal diciptakan untuk bertahan selamanya. Seperti angin yang menyapu dedaunan di musim gugur, begitu juga dengan cinta yang datang dan pergi. Aku mungkin tidak akan pernah bisa sepenuhnya mengerti bagaimana cinta yang begitu indah bisa berakhir, tapi aku tahu bahwa ada kekuatan dalam merelakan.

Setelah pertemuan terakhir itu, setelah kata-kata “kita harus melanjutkan hidup masing-masing” keluar dari bibirnya, aku menghabiskan berminggu-minggu tenggelam dalam pikiran. Mengulang-ulang momen itu seperti kaset usang yang rusak. Seperti kita semua tahu, ada perbedaan besar antara tahu bahwa sesuatu harus diakhiri dan benar-benar siap untuk mengakhirinya. Bagian paling sulit dari kehilangan adalah ketika kita masih merasakan keberadaannya dalam setiap sudut hidup kita—dalam lagu-lagu yang pernah kita dengarkan bersama, dalam kafe yang biasa kita kunjungi, dalam tawa yang sekarang terasa asing tanpa dia.

Ada hari-hari di mana aku terjebak dalam kebiasaan lama, tanpa sadar memeriksa ponselku, berharap ada pesan darinya. Tapi aku tahu betul, tak ada lagi yang akan datang. Hari-hari lain, aku merasa hampir baik-baik saja. Seolah aku telah menerima semuanya. Tapi di saat aku merasa sudah kuat, datanglah malam-malam yang panjang, di mana kenangan menggedor pintu pikiranku, memaksaku untuk membuka kembali bab yang sudah kuputuskan untuk menutupnya.

Mereka bilang waktu menyembuhkan segalanya. Tapi aku mulai berpikir, mungkin waktu bukan penyembuh—mungkin waktu hanya membuat kita terbiasa dengan rasa sakit itu, hingga suatu hari kita berhenti merasakannya sama sekali. Ini bukan tentang melupakan, melainkan tentang belajar untuk hidup dengan luka yang ada. Luka yang, meskipun sembuh, masih meninggalkan bekas.

Namun ada satu hal yang kupelajari selama perjalanan ini, bahwa untuk bisa benar-benar merelakan, kita harus lebih dulu berdamai dengan diri kita sendiri. Dan berdamai dengan diri sendiri berarti menerima bahwa beberapa pertanyaan memang tidak akan pernah memiliki jawaban, dan itu tidak apa-apa.

Pagi itu, aku duduk di meja yang sama di kafe yang dulu sering kami datangi. Aku memesan kopi hitam, persis seperti yang biasa dia pesan. Rasanya sedikit aneh duduk di sini sendirian, di tempat yang dulunya dipenuhi tawa dan cerita-cerita kami. Tapi aku tahu, ini adalah bagian dari proses untuk merelakan. Aku harus belajar menghadapi tempat-tempat yang penuh dengan kenangan, tanpa merasa terjebak di dalamnya.

Aku membuka laptopku dan mulai menulis. Entah kenapa, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk menulis tentang apa yang telah kulalui. Mungkin, dengan menuliskannya, aku bisa mengurai benang-benang perasaan yang kusut di dalam hatiku. Aku mulai dari awal, dari momen di mana semuanya terasa sempurna—saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat segaanya masih penuh dengan harapan.

Kata-kata mengalir dengan mudah, seolah-olah semua yang telah kutahan selama ini menemukan jalan keluar. Aku menulis tentang bagaimana cinta kami tumbuh, bagaimana dia membuatku merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Aku menulis tentang tawa-tawa kecil di antara obrolan tengah malam, tentang senyumnya yang selalu bisa menghangatkan hari-hariku.

Tapi kemudian, aku juga menulis tentang bagaimana semuanya mulai berubah. Tentang ketidakpastian yang perlahan-lahan masuk ke dalam hubungan kami, tentang mimpi-mimpi kami yang semakin jauh dari satu sama lain. Aku menulis tentang malam-malam yang dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban, tentang keputusan untuk berpisah yang meskipun menyakitkan, ternyata menjadi satu-satunya jalan keluar yang tersisa.

Ketika akhirnya aku berhenti menulis, aku merasa ada sesuatu yang lepas dari dalam diriku. Seperti beban yang selama ini kubawa di pundak, perlahan mulai terangkat. Kata-kata di layar laptopku mungkin tidak akan pernah dibaca siapa pun selain aku sendiri, tapi menuliskannya memberiku rasa lega yang tak pernah kuduga.

Beberapa minggu setelah itu, aku mulai merasa ada perubahan dalam diriku. Perlahan tapi pasti, rasa sakit itu tidak lagi mendominasi setiap pikiranku. Aku tidak lagi terbangun dengan perasaan kosong, tidak lagi merasakan kebutuhan untuk memeriksa ponselku, menunggu pesan yang tak pernah datang. Aku mulai menikmati kembali hal-hal kecil yang dulu terasa biasa—membaca buku di sore hari, berjalan-jalan di taman, atau sekadar duduk sendirian di kafe tanpa merasa kesepian.

Aku tahu aku belum sepenuhnya sembuh, tapi aku juga tahu aku sudah berada di jalan yang benar. Ada hari-hari di mana aku masih merindukannya, tentu saja. Tapi rindu tidak lagi membuatku terjebak. Aku mulai belajar bahwa merelakan bukan berarti melupakan. Merelakan berarti menerima bahwa apa yang pernah kita miliki adalah bagian dari perjalanan hidup kita, dan meskipun itu sudah berakhir, tidak mengurangi nilai dari apa yang pernah ada.

Suatu sore, aku memutuskan untuk kembali ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama. Bukan untuk menghidupkan kembali kenanganitu, tapi untuk menghadapi mereka dan melihat apakah aku sudah benar-benar siap untuk melepaskannya. Aku pergi ke taman di mana kami pernah duduk berjam-jam, berbicara tentang mimpi-mimpi kami. Aku berjalan di sepanjang jalan yang pernah kami susuri, mendengarkan lagu-lagu yang pernah menjadi soundtrack hubungan kami.

Aku duduk di bangku taman, menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Di momen itu, aku merasakan kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku menyadari bahwa aku sudah cukup jauh melangkah sejak perpisahan itu, dan meskipun ada bagian dari hatiku yang masih merindukannya, aku juga tahu bahwa hidupku tidak lagi terjebak di masa lalu.

Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang berbeda. Ada rasa lega yang aneh, seolah-olah aku kahirnya bisa benar-benar merelakan semua yang pernah terjadi. Aku membuka laptopku lagi, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa siap untuk menulis sesuatu yang baru—sesuatu yang bukan tentang dia, bukan tentang hubungan kami yang berakhir, tapi tentang diriku sendiri.

Aku mulai menulis tentang perjalanan ini. Tentang bagaimana kehilangan seseorang bisa membuat kita merasa hancur, tapi pada saat yang sama, juga bisa membuka mata kita pada hal-hal yang sebelumnya tak pernah kita sadari. Aku menulis tentang proses penyembuhan yang tidak pernah mudah, tentang jatuh bangun yang harus kulalui untuk sampai ke titik ini. Aku menulis tentang bagaimana akhirnya aku bisa menerima bahwa ada hal-hal yang memang harus dilepaskan, bukan karena mereka tidak berharga, tapi justru karena mereka terlalu berharga untuk dipegang terlalu erat.

Kata-kata itu mengalir tanpa henti, aku menulis sepanjang malam, hingga akhirnya aku merasa benar-benar lelah, tapi juga puas. Ada sesuatu yang terasa benar tentang tulisan ini—sesuatu yang jujur dan tulus. Ini bukan tentang mencoba melupakan, tapi tentang menerima dan melangkah maju.

Ketika akhirnya aku menutupku laptopku, aku tersenyum. Aku tahu perjalanan ini belum sepenuhnya berakhir. Masih ada hari-hari di mana aku akan merasa rindu, masih ada kenangan-kenangan yang akan datang tanpa diundang. Tapi aku juga tahu bahwa aku sudah siap untuk menghadapi semuanya. Aku sudah siap untuk menjalani hidupku tanpa terus-menerus melihat ke belakang. 

Waktu terus berjalan, dan aku semakin terbiasa dengan kenyataan bahwa dia tidak lagi menjadi bagian dari hidupku. Aku kembali fokus pada diriku sendiri, pada mimpi-mimpi yang dulu sempat tertunda. Aku mulai menulis lagi dengan semangat yang baru, mengejar proyek-proyek yang selama ini hanya ada di kepalaku. Perlahan tapi pasti, hidupku mulai menemukan ritme barunya.

Ada satu pelajaran penting yang kupetik dari semua ini, bahwa merelakan bukanlah akhir dari segalanya. Merelakan adalah awal dari sesuatu yang baru—awal dari perjalanan untuk menemukan kembali dirimu sendiri, untuk membangun hidupmu kembali dari kepingan-kepingan yang pernah hancur.

Dan meskipun perjalanan ini tidak mudah, aku tahu bahwa aku akan baik-baik saja. Aku tahu bahwa di ujung sana, ada cahaya yang menungguku—cahaya yang akan membimbingku ke tempat yang lebih baik, tempat di mana aku bisa kembali bahagia dengan diriku sendiri, tanpa tergantung pada siapa pun.

Aku mengerti sekarang, bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki. Cinta kadang-kadang adalah tentang melepaskan, tentang memberi ruang bagi orang yang kita cintai untuk menemukan jalannya sendiri, dan bagi kita untuk menemukan jalan kita sendiri. Dan dalam proses itulah, kita akan menemukan kedamaian.

MERANGKAI KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang