Bab 5

10 3 0
                                    

"Ekspektasi tak pernah mengkhianati hasil, tapi kadang hasilnya justru mengajarkan bahwa tak semua perjuangan dibalas seperti yang kita harapkan."

~Aiza~

Aiza merasa ragu. Mampukah dia mengelola acara sebesar itu? Tanggung jawab yang begitu besar seakan-akan menggantung di atas kepalanya, menekan setiap keputusan yang akan diambil. Kini, Aiza duduk di kantin sendirian, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba, sebuah suara yang tak asing membuyarkan lamunannya.

"Hai, Za," panggil seorang cowok dengan model rambut *middle part* dan ting sekitar 178 cm. Itu Rio.

Aiza menunduk, tersenyum kecil. "Ada apa, Ri?"

"Gue boleh duduk di sini?" tanya Rio dengan hati-hati.

Aiza mengangguk. "Boleh."

Rio duduk di kursi kosong di samping Aiza. Dia tampak sedikit gugup, sementara Aiza masih tampak tenggelam dalam pikirannya. Tak ingin membuat suasana canggung, Rio mencoba membuka percakapan.

"Kok sendirian aja, Za? Mana Felly sama Hanum?" tanyanya, menengok ke sekeliling, mencari keberadaan kedua sahabat Aiza.

"Oh, mereka lagi dipanggil guru Fisika," jawab Aiza pelan, masih menunduk. Rio mengangguk mengerti, lalu memesan Pop Ice di kantin. Suasana kantin terasa damai sejenak, sampai keempat teman Rio datang dan langsung mengganggu suasana.

"Woi, teh Rio!" seru Haikal sambil tertawa lebar, membuat Rio menoleh dengan kesal.

"Ngapain, bro? Lagi misi rahasia nih," canda Noah, menepuk bahu Rio.

Dia melirik Aiza sekilas, tapi Aiza tetap diam, fokus pada ponselnya. Rio langsung menatap mereka dengan tatapan tajam.

"Udah, jangan ganggu." Haikal dan Noah hanya saling melirik sambil menahan tawa. Mereka tampak tidak terlalu serius menanggapi teguran Rio. Namun, percakapan mulai bergeser ketika Leo, salah satu dari mereka, mendekati Aiza dengan sedikit rasa penasaran.

"By the way, Aiza, lo mau kuliah ke mana? Gue denger dari Hanum lo ada rencana kuliah," tanya Leo sambil duduk lebih dekat.

Rio menatap Aiza, penasaran dengan jawabannya. "Kuliah di mana, Za?"

Aiza menghela napas, merasa pertanyaan itu akhirnya muncul.

"Di Al-Azhar, Mesir," jawabnya singkat, masih berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. Haikal dan Noah saling bertatapan, senyum mereka semakin lebar. Mereka segera mengambil kesempatan untuk mengolok-olok situasi.

"Ekhem, teh Rio, kasihan banget nih," ujar Noah sambil terkikik, memulai ledekan.

Rio mengerutkan dahi, tahu persis apa yang akan mereka lakukan. Haikal langsung memulai aksinya, menyanyikan lagu dengan gaya dramatis, "Kumenangis membayangkan, betapa kejamnya diriku..." la menyanyi dengan nada menyedihkan, seakan-akan Rio telah ditinggalkan oleh takdir yang kejam.

"Aa kasihan, aa!" tambah Regan, memperparah suasana dengan gaya ledekan khas acara TV.

Rio hanya bisa menghela napas, jelas terganggu oleh lelucon teman-temannya. Namun, di balik wajah kesalnya, dia melirik Aiza, berharap bisa meraih perhatiannya kembali. Aiza, yang tadi terlihat cuek, kini tersenyum kecil mendengar lelucon itu. Senyum itu tak luput dari perhatian Rio, membuatnya merasa sedikit lega.

"Ayo, udah cukup, kalian balik dulu sana," tegur Rio akhirnya, mencoba mengakhiri lelucon yang tak henti-hentinya dilontarkan oleh teman-temannya.

Rio hanya bisa menatap punggung Aiza yang perlahan menjauh. Ada sesuatu dalam perpisahan singkat itu yang terasa berat, namun dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Teman-temannya masih bercanda di sekitar, tapi pikiran Rio tertuju sepenuhnya pada Aiza. Leo, yang seagama dengan Aiza, tersenyum simpul melihat ekspresi bingung Rio.

Cinta yang Tertulis di Lauhul MahfudzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang