Bab 4

26 8 5
                                    

“Aku tak akan menyerah. Setiap tantangan adalah kesempatan untuk bangkit dan belajar dari kesakitan.”

~Aiza~

Aiza menatap kosong kearah taman sekolah, mencoba menenangkan dirinya setelah tangisannya tadi.

Meski dia tahu ini berat, tapi kedua sahabatnya jangan sampai tahu tentang masalahnya. Aiza juga ingin menceritakan semuanya kepada mereka berdua, tapi dia terlalu takut jika respon yang akan dia dapat seperti sang ibu. 

Bukan karena Aiza tak percaya pada mereka, melainkan karena ia takut dianggap lemah atau membuat suasana pertemanan mereka berubah.

Felly dan Hanum mungkin akan merasa canggung, atau lebih buruk lagi, mereka akan mencoba mengasihani Aiza, sesuatu yang tak pernah ia inginkan. Di saat seperti ini, Aiza hanya ingin semuanya terlihat normal, meski di dalam dirinya terasa berantakan.

“Aiza! Tadi kita ke kantin, tapi gak lihat lo. Eh ternyata lo malah di sini,” ujar Felly sambil menggandeng tangan Hanum.

Hanum menggangguk setuju. “Iya, gue udah booking tempat di kantin loh. Tapi malah lo gak ada. Kenapa lo sendirian di taman ini?” 

“Nggak kok, Cuma lagi pengen sendirian sebentar. Aku nggak lapar,” kata Aiza tersenyum tipis, berusaha menutupi kesedihan di matanya. 

Felly mengerutkan kening, tampak sedikit khawatir. “Kamu bener gak papa, kan? Kayaknya akhir-akhir ini kamu sering menyendiri deh.”

Aiza tersenyum lagi, kali ini lebih lebar agar terlihat menyakinkan. “Aku baik-baik saja, Fel. Mungkin cuma capek aja karena banyak acara di sekolah. Kita, kan, juga mau lulus.”

Hanum mengangguk setuju, “Iya juga sih, tapi kan, kita selalu menghadapi rasa capek dengan kita kumpul seperti ini.”

Aiza hanya mengangguk, merasa bersalah karena menyembunyikan kebenaran. Namun, ia tak sanggup membuka diri.

Ia tak ingin Felly dan Hanum melihat dirinya yang lemah dan terluka. Ia lebih suka dengan menyimpan kesedihan itu sendiri, setidaknya hingga ia menemukan cara untuk menghadapinya.

“Nanti aku ikut ke kantin, ya. Hari ini Cuma butuh sedikit waktu buat menenangkan diri,” ujar Aiza.

Felly dan Hanum saling bertukar pandang, tampak masih khawatir, tapi mereka memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Mereka berdua tahu Aiza bukan tipe yang mudah bercerita tentang perasaannya. 

“Baiklah, tapi kalau lo butuh sesuatu, kita selalu di sini,” kata Felly sambil tersenyum.

Aiza mengangguk. “Makasih, Felly, Hanum. Kalian memang sahabat terbaikku.”

Mereka bertiga lalu berjalan bersama ke kantin, tapi di hati Aiza, rasa sepi dan beban yang ia tanggung masih ada. Meski banyak orang di sekitarnya yang peduli, Aiza tetap merasa sendirian dalam menghadapi masalah dengan ibunya. 

Ia hanya berharap suatu hari, ia hanya bisa menemukan jawaban dan kekuatan untuk memahami mengapa ibunya bersikap seperti itu.

Hingga saat itu tiba, Aiza memilih untuk menyimpannya sendiri, melindungi sahabatnya dari kesedihan yang tidak perlu mereka ketahui.

🐱🐱🐱

Di rumah, suasana terasa hening, terlalu hening bagi Aiza. Ia menghela napas panjang saat menyadari bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru sering kali menjadi tempat yang penuh ketegangan.

Kedua orang tuanya sepertinya sedang keluar rumah, dan meskipun Aiza tahu mereka akan kembali, ada kelegaan aneh ketika mereka tidak ada di rumah. 

Aiza duduk di sofa ruang tamu, memandang sekeliling. Rumahnya sangat rapi, teratur, tampak sempurna dari luar.

Cinta yang Tertulis di Lauhul MahfudzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang