Bab 6

9 2 0
                                    

"Tanpa kata, tanpa alasan, tapi hatiku berdebar setiap kali melihatnya. Seolah-olah jiwaku dipanggil untuk memperhatikan."

— Gus Shaka —

Tiga hari kemudian, Aiza berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengenakan pakaian formal yang telah dipilih dengan hati-hati. Sorot matanya mencerminkan campuran antara kegelisahan dan antusiasme. Hari ini adalah hari besar—acara yang telah ia persiapkan dengan sepenuh hati bersama Bibi Mira. Meski masih ada sedikit keraguan yang tersisa, Aiza merasa lebih siap dari sebelumnya.

"Bismillah," ucapnya pelan sebelum keluar kamar. Hari ini, ia bertekad menghadapi setiap tantangan dengan ketenangan.

Setibanya di tempat acara, suasana sibuk menyambutnya. Dekorasi dipasang rapi, dan banner yang ia desain kini tergantung megah di panggung utama. Tamu mulai berdatangan, dan panitia terlihat sibuk memastikan semuanya berjalan lancar. Aiza menghampiri Bibi Mira yang berdiri di dekat panggung, terlihat tenang namun tegas.

"Kamu sudah siap, kan?" tanya Bibi Mira dengan tatapan penuh makna.

Aiza mengangguk dan tersenyum. "InsyaAllah, siap, Bi."

Bibi Mira tersenyum lembut. "Kamu sudah bekerja keras. Ingat, apapun yang terjadi nanti, kamu sudah melakukan yang terbaik."

Ucapan itu menenangkan hati Aiza, mengingatkannya bahwa proses dan usaha jauh lebih berarti daripada sekadar hasil akhir.

Saat tamu utama tiba, suasana semakin ramai. Muhammad Arshaka Alfareezel Lakhsan—lebih dikenal sebagai Gus Shaka—duduk di kursi depan. Dia adalah sosok penting dalam acara sholawatan ini. Wajahnya tampak tenang, namun ada sesuatu yang berubah saat ia melihat ke arah panitia di depan panggung, terutama Aiza, yang menjadi ketua panitia acara.

Shaka terus memperhatikan Aiza, matanya tak lepas dari sosoknya. Ada debaran aneh di hatinya, sesuatu yang tak biasa.

MasyaAllah, siapa dia? Bidadari yang turun ke hati saya? batin Shaka tak bisa mengalihkan pandangannya.

Sementara itu, Aiza merasa tidak nyaman. Dia sadar bahwa Gus Shaka terus memandanginya, membuatnya gelisah. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa canggung, namun ia berusaha tetap fokus pada jalannya acara. Ini bukan saatnya memikirkan hal lain selain tanggung jawabnya sebagai ketua panitia.

Acara berlangsung khidmat, lantunan sholawat memenuhi ruangan, namun di antara gemuruh suara, hati Aiza berdebar kencang. Bukan karena acara yang ia pimpin, melainkan karena sorot mata Shaka yang terus mengikutinya.

Saat acara selesai, Aiza merasa lega, tetapi di balik kelegaan itu ada kegelisahan yang belum ia pahami. Di sisi lain, Shaka berusaha menahan perasaan yang tak ia mengerti. Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda pada gadis di depan panggung itu.

Dan malam itu, keduanya sama-sama pergi dengan hati yang berdebar, meski dalam diam.

🐱🐱🐱

Hari terus berjalan, namun pikiran Gus Shaka tak bisa lepas dari Aiza. Wajahnya kerap kali muncul tanpa peringatan, seolah menghiasi setiap detik di sela-sela kesibukannya. Saat ia melantunkan sholawat, bayangan Aiza terlintas—senyum kecilnya, sorot mata tenangnya, dan caranya bergerak dengan ketenangan yang luar biasa meski berada di tengah kesibukan acara.

Perasaan itu datang tiba-tiba, tak diundang dan tak terduga. Dalam sorot matanya, dalam senyumnya yang sederhana, ada sesuatu yang menarik perhatian Gus Shaka lebih dari yang ia sadari. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, seolah ada getaran halus yang menyentuh jiwanya, mengusik ketenangannya. Aneh, pikirnya. Tak ada alasan jelas, namun setiap kali pandangannya tertuju pada Aiza, ada kehangatan yang pelan-pelan menjalar, membuat hatinya berdebar.

MasyaAllah, gumamnya, Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan dia?

Pertanyaan itu menggema di hatinya, namun tak ada jawaban yang memuaskan. Ada daya tarik yang sulit diuraikan, sesuatu yang membuat Shaka terus terpikat, lebih dari sekadar rasa penasaran biasa.

Suara ketukan pintu kamar Shaka membuatnya terkejut. Begitu dalamnya ia memikirkan perempuan yang baru ditemui di acara kemarin. Dengan sedikit ragu, Shaka bangkit dari duduknya dan membukakan pintu kamar.

"Umi?" serunya terkejut melihat ibunya, Zainab, berdiri di depan pintu.

"Hayo, belum tidur kan?" tanya Zainab sambil menunjuk ke arah anaknya.

Shaka hanya tersenyum getir mendengar pertanyaan itu.

"Iya, Umi. Aa belum bisa tidur," jawab Shaka sambil mengajak sang ibu masuk ke dalam kamarnya yang rapi.

"Naon anu anjeun pikirkeun, aa?" Pertanyaan Zainab membuat Shaka terdiam. Dia tidak mungkin memberitahukan ibunya bahwa ia sedang memikirkan seorang perempuan yang baru dikenalnya kemarin.

"Aa, lagi mikirin tugas dari Abi, loh, Umi," jawab Shaka, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaannya yang masih samar.

"Oh, yang itu! Koordinasi anak-anak santri?" tanya Zainab, diikuti anggukan kepala Shaka.

"Iya, Umi. Waktunya aa bentrok sama tugas pondok," kata Shaka dengan nada lesu.

Melihat wajah putranya yang langsung melemas, Zainab pun mengelus puncak kepala Shaka. "Anak bujangnya Umi, jangan mengeluh ya," ujarnya dengan lembut, memberikan semangat kepada putra bungsunya.

Shaka terkekeh saat mendengar ibunya memanggilnya "anak bujang". Dia memeluk Zainab dengan hangat, kemudian tersenyum manis ke arah sang ibu.

"Umi juga harus tidur ya. Kurang dikit lagi kok, aa juga ikutan tidur," ucapnya, menyuruh Zainab untuk segera beristirahat.

Zainab tersenyum dan mencium pipi sang anak sebelum beranjak pergi dari kamarnya.

Setelah pintu tertutup, Shaka kembali duduk di tempatnya. Dalam hening, pikirannya melayang kembali kepada Aiza. Ia tak bisa mengabaikan perasaan yang menggelora di dalam hatinya. Keberanian yang ia rasakan saat berbicara dengan Aiza kemarin membuatnya terbayang-bayang senyumnya.

Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku? pikir Shaka. Mengapa sosoknya terus menghantui pikiranku?

Shaka pun mengambil ponselnya, dan mencoba mencari Instagram milik Aiza. Dia sudah tahu nama dari perempuan itu, jadi mungkin dia bisa mencarinya lebih mudah.

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Shaka menemukan Instagram milik Aiza. Dia dengan gugup menekan akun milik Aiza. Tidak banyak yang Aiza posting, hanya sebuah quotes islami, dan dirinya bersama sahabatnya.

Dia menekan postingan saat Aiza sedang sendirian, dia sedang menikmati minuman bersanding dengan buku di tangannya.

"MasyaAllah, cantiknya," ucapnya Gus Shaka tidak sadar akan ucapan yang dia lontarkan.

"Astaghfirullahalazim! YaAllah! Aku tadi ngomong apa barusan!" gerutu Shaka dengan dirinya sendiri.

Dia menepuk jidatnya, dan membuang ponselnya asal ke atas kasur. Tapi setelah dia ambil lagi, dia tidak sengaja like postingan dari Aiza. Hancur sudah. Dia sudah ketahuan mungkin ke-stalk akun pribadi milik Aiza.

Shaka memang bodoh masalah seperti ini, dia sangat ceroboh. Dia sangat gelisah, bahkan keringat dingin mulai membanjiri jidatnya.

"Ya Allah, semoga dia nggak lihat," ucapnya, lalu menaruh ponselnya di atas nakas samping kasurnya. Beranjak tidur, walaupun dengan hati gelisah akibat perbuatannya.

🐱🐱🐱

Cinta yang Tertulis di Lauhul MahfudzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang