BERTEMU LAGI

0 0 0
                                    

Hari ini aku sedang tes golongan darah, rasanya tidak sakit, dan rasanya biasa saja. Malahan lebih sakit melihat Gatha dekat dengan rekan kerjanya. Tidak... itu seniornya... aku tidak cemburu, ini biasa saja. Lagipula, aku sudah berjanji akan menjaga mulutku untuk tidak berbicara seenaknya.

"Mesra amat." 2 kata itu reflek keluar dari mulutku.

Gatha melirik padaku dan rekan kerjanya malah membeku di tempat.

"Malio..." panggil Gatha dengan lembut.

"Iya, sayang. Aku cemburu." Jawabku.

Gatha menggelengkan kepalanya, ia sudah terbiasa dengan tingkahku yang seperti ini. Gatha ingin segera mengusirku, tapi ia tidak tega, jadi, Gatha  segera menyelesaikan tugasnya dan mengajakku untuk ke caffe yang ada di dekat rumah sakit. Gatha menghela nafas dan menasehatiku, ia menyuruhku untuk tidak bicara seenaknya lagi saat ia bekerja.

"Ngerti, gak?" Tanya Gatha.

"Ngerti, sayang. Ngerti banget..." jawabku.

Aku cemburu karena aku merasa iri. Aku sudah kenal Gatha 20 tahun lebih dan masih sulit untuk bisa tertawa bersamanya, sedangkan, pria yang tadi baru ia kenal 2 bulan yang lalu dan Gatha sudah sangat akrab bagaikan sepasang kekasih yang bekerja bersama. Aku sudah berniat akan melamar Gatha hari ini, tapi, rasanya tempat ini tidak cocok untuk melamar Gatha. Aku harus menyewa vila, atau mengajak Gatha ke negara kesukaannya, tapi, masalahnya... bagaimana caranya agar Gatha mau menerima ajakkanku untuk pergi?

"Gat... aku mau ngomong sesuatu..." aku berencana mengajak Gatha.

Saat aku ingin berdiskusi dengan Gatha, aku melihat seseorang di pojok sana... sepertinya aku mengenal orang itu. Sabit.

"Mal, kamu dari tadi liatin siapa, sih?" Gatha bertanya sebelum ia membalikkan badannya untuk melihat ke belakang.

Gatha tersenyum setelah melihat Sabit dan Layla. Gatha bahagia bisa melihat sahabatnya juga bahagia.

"Kamu gak iri liat mereka udah nikah sedangkan kamu belum?" Tanyaku.

Gatha tidak menjawab dan meneguk tehnya. Pandangannya mendadak kosong dan ia tidak mau memandangku lagi.

"Mal, kamu tahu, kan, aku masih trauma sama Revano? Aku takut." Ujar Gatha.

Matanya berkaca - kaca dan ia menggigit bibirnya sendiri. Matanya bergetar dan ia mengeluarkan setetes air mata. Aku segera menenangkannya dan meyakinkannya bahwa traumanya pasti akan hilang.

"Jangan takut, Gat. Gue janji, kan? Gue janji bakal bikin lu lupa sama masa lalu elu." Ujarku.

Pede sekali diriku ini. Beraninya aku berjanji seperti itu dihadapan Gatha yang sudah putus asa. Gatha benar - benar tidak bisa menaruh rasa cinta pada laki - laki, ia lebih suka melampiaskan rasa sayangnya dengan menolong atau bersahabat. Walau Gatha sudah putus asa dengan pernikahan, tapi, aku akan meyakinkan Gatha jika aku tidak sama dengan Revano.

"Gatha, denger, ya. Aku-" mulut berhenti.

Aku melihat Revano sedang melihat Gatha dari kejauhan. Dia menatap Gatha dengan mata yang sangat aku benci. Aku tidak mau Gatha sampai melihat keberadaan Revano.

Aku segera menarik Gatha keluar dari Caffe dan mengantarkannya kembali ke rumah sakit.

"Gatha, kita ngobrol lagi malem, ya. Aku- aku ada rapat mendadak." Dustaku.

Gatha menahanku sebentar dan merapihkan bajuku.

"Semua rapih, kecuali dasi. Dari dulu kamu memang gak bisa pakai dasi, ya?" Ejek Gatha sebelum pergi.

Gatha sudah masuk ke dalam rumah sakit, dan sekarang, tujuanku adalah menyingkirkan Revano.

Baru saja aku berbalik badan untuk mencari Revano, aku malah melihat Revano masuk ke dalam rumah sakit. Aku yakin dia berpura - pura menjadi pasien agar bisa menemui Gatha. Tidak bisa kubiarkan, aku harus mengejarnya.

Aku melihatnya sedang diam di dekat pintu masuk rumah sakit. Aku tidak perlu berpikir banyak, aku mengenal satpam itu, jadi, aku langsung menyuruh satpam itu untuk mengusir Revano. Revano sudah diusir, dan aku langsung menarik Revano ke sebuah gang. Aku lebih mual mencium bau Revan daripada bau gang ini.

"Ngapain masih ngejar Gatha?" Tanyaku sinis.

Revan hanya melotot, dan tubuhnya bergetar. Aku tahu pria gila seperti dia memang memiliki tingkah laku yang aneh.

"Jawab! Kalau lu gak jawab, gue gorok lu di sini!" Ancamku padanya.

"Ka- karena gue cin- bugg!" Aku menghantam perut Revano.

Revano jatuh ke tanah dan berteriak karena kesakitan. Aku tidak peduli, aku senang melihatnya seperti ini. Aku menendanginya sambil terus melemparinya dengan beberapa pertanyaan. Saat aku hampir menginjak kepalanya, Gatha datang dan membeku. Gatha tidak berkomentar apapun saat melihatku sedang menendangi Revano. Gatha bilang, ia dapat laporan dari satpam kalau ada pengunjung yang mencurigakan, jadi Gatha mencari pengunjung yang diusir itu, tapi, ketika Gatha tahu pengunjung yang diusir itu Revano, Gatha langsung tertawa kegirangan. Gatha bilang dia ingin sekali menendang Revano, tapi, Gatha menjaga reputasinya sebagai dokter.

"Mal... ayo pergi. Aku gak mau kamu kotor karena hewan ini." Ujar Gatha.

Gatha tersenyum ketika melihat Revano yang terkapar di tanah dan tidak berdaya. Revano terus memanggil nama Gatha, tapi Gatha merasa jijik dan geli. Gatha segera menarik tanganku dan menyuruhku untuk ikut dengannya.

"Mal, makasih udah mukulin orang itu. Sekarang, kamu pulang, ya." Suruh Gatha.

"Kenapa? Aku gak mau pulang... ibuku lagi gak ada... aku sendirian." Ujarku.

"Yaudah, kamu ke kantor abangku aja, sana. Tunggu, deh... dia kayaknya ada di rumah. Kamu ke rumah aku aja, pasti ada abangku." Suruh Gatha.

Aku mengangguk dan tersenyum. Gatha mencubit pipiku sebelum ia kembali ke rumah sakit.

"Hati - hati, ya, sayang." Kata Gatha dan langsung berlari ke rumah sakit.

Aku sepertinya hanya salah dengar, atau, Gatha sedang bergurau. Gatha memang suka sekali bercanda seperti itu. Gatha suka sekali mempermainkan perasaanku ini, ya, tapi, aku tetap mencintainya.

WOULD YOU FORGET YOUR PAST FOR ME?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang