Happy reading
Diharapkan membaca dengan teliti agar kalian paham alur cerita ini💚
2. Don't Cross the Line
Natalia menahan senyumnya, tapi akhirnya tawa lepas juga ketika mendengar cerita bagaimana hidung Alnair bengkak. Meski begitu, ada sedikit rasa bersalah di matanya karena lupa memberitahu Reya bahwa Alnair akan pulang.
"Lucu banget kalian," ucap Natalia sambil menyeka air matanya karena terlalu banyak tertawa.
Alnair hanya diam, wajahnya datar seperti biasa. Tapi dalam hati, ia lega. Sudah lama ia tidak melihat ibunya tertawa sebahagia ini.
"Ibu nggak marah sama Reya?" tanya Reya santai, sambil mengunyah nasi di mulutnya.
"Telen dulu nasinya," Alnair menyela dengan nada tegas, membuat Reya hampir tersedak.
Natalia hanya menggeleng pelan, menambah porsi makanannya. Baginya, malam ini adalah malam terbaik sejak bertahun-tahun. Putra satu-satunya, yang sudah enam tahun pergi tinggal di Belanda bersama ayahnya, kini kembali dengan gelar yang membanggakan.
"Ngapain Ibu marah?" Natalia balik bertanya.
Reya melirik Alnair yang tampak sibuk dengan makanannya. Pria itu terlihat... terlalu sempurna. Setiap gerakannya berkelas, bahkan hanya saat makan. Apakah Reya terpesona? Ah, dia tak mau mengakuinya.
"Dia kan anak Ibu," jawab Reya akhirnya.
Natalia terkekeh, suaranya lembut. "Kamu juga anak Ibu, Reya."
"Hem—" suara dehaman Alnair memotong percakapan, memberi kode yang jelas.
"Kalau lagi makan, jangan banyak ngomong." lanjutnya dengan dingin, membuat suasana mendadak kaku.
Semua orang tahu, Alnair Mahagra punya reputasi sebagai orang yang disiplin sejak kecil. Hidupnya serba teratur, hampir tak ada ruang untuk kesalahan.
"Huh... galaknya si anjing," gumam Reya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi ternyata cukup nyaring untuk Alnair.
Mata tajam pria itu langsung menoleh ke arahnya. Tatapannya menusuk, membuat Reya tercekat.
"Lihat nanti," ucap Alnair datar, namun nadanya menakutkan.
Reya menunduk. Tidak ada lagi keberanian untuk membalas. Makan malam pun berakhir dengan tenang. Semua orang menikmati masakan malam ini—kecuali Reya, yang terlihat gelisah.
"Mau ke mana?" tanya Natalia ketika melihat Alnair berdiri membawa piring kotor.
"Cuci piring."
Natalia menatap putranya bangga. "Udah, biar Ratna aja yang kerjain. Kamu duduk sini."
Alnair menurut, kembali menyimpan piringnya di meja.
"Ibu bangga sama kamu, Al," kata Natalia sambil menatap putranya penuh cinta. "Kamu benar-benar tumbuh dewasa dengan baik. "
Meskipun tumbuh sebagai anak dari keluarga broken home, Alnair berhasil melewati semuanya dengan luar biasa. Bukan hanya memiliki wajah tampan, ia juga mengukir prestasi yang membanggakan. Di tengah tekanan dari berbagai pihak, Alnair membuktikan dirinya mampu berdiri tegak dan menjadi sosok yang mandiri.
"Ngomong-ngomong," Natalia melanjutkan, "Kapan kamu mulai urus perusahaan Ayah di Jakarta?"
Alnair yang hendak meminum air menghentikan gerakannya. Ia menatap ibunya sesaat, lalu menjawab dengan nada rendah, "Secepatnya."
Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Natalia berpikir. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh putranya itu.
_______"Kamu belum tidur, Reya?" suara berat Alnair terdengar dari balik pintu kamar Reya.
Tak ada jawaban. Alnair mengetuk pintu sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk tanpa izin.
Matanya langsung tertuju pada gadis di atas ranjang. Reya, dengan dress mini merah yang nyaris tidak menutupi apapun, tengah menari-nari mengikuti musik keras yang memenuhi kamar. Gadis itu tampak bebas, seolah dunia adalah panggungnya.
"Reya," panggil Alnair dingin.
Reya tetap tidak menyadari kehadirannya. Alnair, dengan gerakan tanpa basa-basi, langsung mematikan musik itu. Keheningan mendadak menguasai ruangan.
Reya berhenti, matanya membelalak saat melihat sosok Alnair berdiri di sana dengan tatapan tajam yang sulit diterjemahkan.
"Lo ngapain di sini?!" bentaknya, spontan melempar bantal ke arah Alnair. Tapi pria itu hanya sedikit memiringkan tubuhnya, menghindari lemparan itu dengan mudah.
Alnair tidak menjawab. Tatapannya menyapu tubuh Reya, mulai dari wajahnya yang memerah, leher jenjang, hingga dress mini yang memperlihatkan lebih banyak kulit daripada yang ditutupi.
Reya mulai sadar akan tatapan itu. Dengan cepat, ia memalingkan pandangannya ke cermin, melihat pantulan dirinya. Wajahnya memanas. Ia merasa telanjang di hadapan Alnair.
"KELUAR!!!" jerit Reya, suaranya penuh amarah dan ketidaknyamanan.
Tapi Alnair tidak bergerak. Langkahnya malah maju, semakin mendekati Reya.
"Dasar cowok mesum!" Reya mencoba mendorong dada bidang Alnair dengan kedua tangannya, namun cowok itu tak bergeming.
"Reya," suara Alnair terdengar rendah, seperti peringatan. "Kamu tahu batas?"
Reya mengerutkan alisnya, napasnya mulai berat. "Lo yang nggak tahu batas! Keluar dari kamar gue sekarang!"
Tanpa menjawab, Alnair melangkah lebih dekat hingga Reya terpaksa mundur. Tubuhnya terjatuh ke atas ranjang, dan cowok itu langsung menunduk, mengurungnya dengan kedua tangannya.
"Kamu mau tahu apa artinya nggak tahu batas?" bisik Alnair, suaranya dingin tapi tajam. Wajahnya mendekat hingga napas hangatnya menyentuh pipi Reya.
"Lo jangan macem-macem," Reya memperingatkan, meski suaranya bergetar.
Alnair tidak menjawab. Ia menatap mata Reya yang penuh perlawanan, bibirnya melengkung sedikit, membentuk senyum samar. "Kamu bilang saya nggak tahu batas, tapi lihat diri kamu, Reya. Dengan baju kayak gitu, kamu pikir nggak ada laki-laki yang bakal kehilangan kendali?"
Reya mengepalkan tangannya. "Lo pikir lo siapa buat ngatur gue?"
Alnair menyatukan hidungnya dengan hidung Reya, napasnya terasa semakin panas di kulit gadis itu. "Saya cuma ngasih tahu kalau saya nggak suka kamu seenaknya ngomong kasar."
"Maaf," jawab Reya, kali ini dengan nada lebih rendah, tapi bukan karena rasa bersalah—melainkan karena tahu ia tak bisa melawan tekanan pria di hadapannya.
"Good girl," ucapnya sambil mengusap lembut pipi Reya dengan ujung jarinya. "Tapi kamu juga harus tahu, Zareya, bahwa kamu lebih berharga dari yang kamu pikirkan."
Reya menelan ludah, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang.
"Kamu perempuan mahal. Jangan biarin orang ngeremehin kamu, termasuk saya," lanjut Alnair dengan nada lebih serius.
Tanpa menunggu respon, Alnair bangkit, melangkah menjauh dari Reya yang masih terpaku di tempatnya. Alnair berhenti di ambang pintu, menoleh sekilas.
"Dan satu lagi, jaga penampilan kamu, Reya. Jangan bikin laki-laki lain berpikir kamu murahan."
Reya hanya terdiam, menatap punggung Alnair yang perlahan menghilang di balik pintu. Namun, kali ini bukan ketakutan yang ia rasakan—melainkan kemarahan yang menyala di dadanya.
"Dasar bajingan sombong," gumam Reya dengan nada tajam, tapi sudut bibirnya justru melengkung sedikit, penuh arti.
Selamat datang kembali di dunia yang kembali dihiasi oleh sosok lelaki dingin itu—Alnair Mahagra. Lelaki dengan tatapan elang yang lebih menyebalkan dari apapun yang pernah Reya hadapi.
Dari pertama kali bertemu, Alnair kecil sudah menunjukkan sikap dinginnya yang mengintimidasi. Dan sampai saat ini, tidak ada yang berubah. Alnair masih tetap menjadi sosok dengan aura dingin yang sulit ditembus, seolah-olah dunia tidak pernah cukup hangat untuk melumerkan es di hatinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/312163300-288-k917395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alnair: He's Perfect
Novela JuvenilAlnair Mahagra. Seorang CEO muda yang memiliki banyak prestasi diusianya yang masih 23 tahun. Sejak kecil, hidupnya penuh tuntutan dari sang Kakek dan ayahnya. Didikan yang keras membentuknya menjadi pribadi yang tegas. Ketika masih duduk dibangku...