"Pengorbanan terbaik adalah mengalah demi kebahagiaan orang terdekat kita. "
_
4. Alnair Mahagra
Lelaki 23 tahun itu berdiri tegap di depan sebuah gedung megah setinggi tiga puluh lantai. Matanya menelusuri setiap detailnya, dari kaca jendela yang berkilauan di bawah sinar matahari sampai logo perusahaan yang terpampang gagah di puncak. Tempat ini adalah warisan ayahnya—sekaligus beban yang harus ia pikul.
Setelan jas hitam membalut tubuhnya dengan sempurna, dipadukan dengan celana bahan senada dan jam tangan platinum yang mencerminkan statusnya. Potongan rambut comma hair mempertegas ketampanannya. Setiap orang yang melihatnya pasti berpikir satu hal. perfect.
Alnair mendongak ketika suara pesawat melintas di atas langit. Ia tersenyum kecil, mengingat cita-citanya yang dulu.
Laki-laki dengan tinggi 185 cm, pemilik tatapan setajam elang, rahang yang tegas, ketampanan yang nyaris sempurna. Nyatanya, tidak semulus perjalanan hidupnya. Alnair Melalui perjalanan hidup yang jauh dari kata mudah. Orang tuanya bercerai ketika ia masih duduk di kelas enam SD. Ia sempat tinggal bersama Kakeknya, tetapi akhirnya memilih mengikuti ayahnya ke Belanda. Setahun SMA di Indonesia terasa seperti angin lalu sebelum ia benar-benar menetap di negeri asing.
Awalnya, Alnair pikir hidup di sana akan lebih baik. Nyatanya, Belanda bukan sekadar tempat tinggal—itu medan tempur. Sejak kecil, Alnair dipaksa untuk bisa segalanya. Sebagai satu-satunya cucu laki-laki keluarga Bumantara, ia jadi sasaran empuk didikan keras sang kakek, Renaldi Bumantara.
"Welcome, Alnair Mahagra Bumantara."
Nada suara pria paruh baya itu terdengar begitu akrab di telinganya, tapi satu hal dari kalimat itu membuat rahangnya mengeras. Bumantara.
Nama yang selalu membayangi hidupnya. Nama yang lebih terasa seperti belenggu daripada kehormatan.
"Ini perusahaan Ayah. Bukan keluarga Bumantara. Jangan bawa-bawa nama itu di hadapan saya." Suaranya datar, tapi penuh tekanan.
Pria di depannya—Marsel Danuarta, pamannya—hanya terkekeh kecil. Sepertinya, Alnair masih menyimpan kekesalan pada sang kakek.
"Jangan begitu. Bagaimanapun, dia tetap kakekmu." Marsel menepuk pundaknya ringan. "Kamu juga pewaris semua yang dia punya. Setidaknya, hargai dia."
Alnair mendengus pelan. "Masih ada Ibu buat nerima semua harta itu."
Marsel tertawa kecil, lalu menatap keponakannya lekat sebelum bertanya, "Di usia semuda ini, kamu yakin bisa nanggung tanggung jawab sebesar ini?" Bukanya meragukan kemampuan Alnair, hanya saja untuk memastikan.
Alnair menyunggingkan senyum tipis. "Kakek ngajarin saya satu hal. siap! Bahkan saat saya ngerasa paling tidak siap."
Marsel tersenyum bangga. Renaldi memang mendidik Alnair dengan keras, tapi satu hal yang tak bisa disangkal—Alnair tumbuh menjadi seseorang yang kuat.
***
Tubuh mungil Reya terseret menuju rooftop sekolah. Usahanya untuk melawan sia-sia. Cengkraman tangan Rakesh terlalu kuat.
"Rakesh, aku minta maaf…" suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Gelap mata, Rakesh mendorong tubuh Reya hingga membentur tembok pembatas. Bunyi hantaman menggema, disusul dengan darah segar yang mengalir dari keningnya. Gadis itu terduduk lemas, kepalanya tertunduk, napasnya tersengal.
![](https://img.wattpad.com/cover/312163300-288-k917395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alnair: He's Perfect
Ficção AdolescenteAlnair Mahagra. Seorang CEO muda yang memiliki banyak prestasi diusianya yang masih 23 tahun. Sejak kecil, hidupnya penuh tuntutan dari sang Kakek dan ayahnya. Didikan yang keras membentuknya menjadi pribadi yang tegas. Ketika masih duduk dibangku...