Prok!
Pak Billy menepuk tangannya membuat Mina terjengit kaget. Untungnya tanganya tidak sedang membuat gambar di kanvas, melainkan tangannya tengah mengambil cat warna.
"Sudah cukup! Mari istirahat dulu!" Ucap Pak Billy.
Mereka bertiga pun kembali ke ruang klub untuk membagikan makanan yang dibawa Pak Billy. Sesampainya di ruang klub murid-murid masih asik melukis sendiri-sendiri.
"Anak-anak ayo istirahat dulu" Ucap pak Billy keras.
"Baik Pak" Jawab serentak mereka.
Bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke pak Billy. Masing-masing membawa kursi sendiri untuk duduk. Dan beberapa mengambil meja disudut ruangan dan menyatukannya menjadi meja besar. Kemudian mereka duduk melingkari meja.
"Dimana yang lain?" Tanya pak Billy.
Pasalnya ada beberapa muridnya yang tak ia lihat di ruang klub.
"Sepertinya di toilet pak" Jawab Diana sang ketua klub.
"Oohh" Pak Billy mengangguk pelan.
Setelah makan bersama, pak Billy, Mina dan juga Amora kembali ke luar, tempat dimana Amora dan Mina melukis. Namun sesampainya disana, mereka dikejutkan dengan keadaan lukisan Amora dan Mina.
Di sana lukisan setengah jadi Amora dan Mina telah rusak. Cat yang mereka gunakan telah dilempar ke lukisan secara sembarang, dan lumpur basah yang mengotori kanvas. Pak Billy mengepalkan kedua tangannya, merasa geram dan marah akan apa yang dilihatnya.
Mina menatap murung lukisannya yang kanvasnya telah koyak dan cat warna serta lumpur basah yang berlumuran secara asal di lukisan setengah jadinya. Sedangkan Amora terdiam menatap datar lukisannya yang telah rusak.
"Saya tidak mau melukis lagi" Ucap Amora tegas.
Pak Billy panik dibuatnya. Ia sudah susah payah membujuk Amora agar mau melukis, malah ada orang yang dengan sengaja merusaknya. Ini bencana!
Sedangkan Mina menatap kaget Amora. Ia juga marah dan sedih akan kejadian yang menimpa lukisannya. Namun ia tak menyangka apa yang akan Amora lontarkan. Ia kagum dengan keberanian Amora dalam mengungkapkan isi pikirannya. Tidak sepertinya yang pemalu dan seringkali ragu-ragu dengan pemikiran dan keputusannya sendiri.
"Amora tolong jangan seperti ini" Bujuk pak Billy.
"Tidak, selama pelakunya belum dihukum saya tidak mau melukis lagi!" Tolaknya tegas.
Sebenarnya ia biasanya saja, karena ia sudah menduga dari tatapan permusuhan orang-orang di ruang klub. Jadi ia akan memutar balikkan situasi saja.
Pak Billy nampak frustasi, dia menghela napas panjang.
"Baiklah, akan saya usahakan" Putus Pak Billy menatap Amora.
Amora hanya mengangguk sekilas lalu berbalik pergi tanpa pamit. Pak Billy melihatnya hanya menghela napas lelah. Lalu beralihh menatap Mina.
"Maaf Mina, tapi bisakah kamu melukis ulang?" Tanya Pak Billy.
Mina menatap ragu pak Billy. Jauh dilubuk hatinya, ia ingin melakukan hal yang sama seperti Amora. Menjadi pribadi yang tegas dan berpendirian.
"Mina, tolong... ya?" Pinta pak Billy.
Mengingat pak Billy seringkali membantunya, dan Mina juga sangat berterimakasih atas diberikannya kesempatan untuk bisa memamerkan lukisannya di galeri milik teman Pak Billy. Akhirnya Mina pun menyetujuinya.
"Baiklah" Putus Mina.
"Baguslah" Pak Billy bernafas lega.
"Tapi tolong temukan pelakunya ya pak" Pinta Mina.
"Iya"
Pekerjaannya berkurang karena tak harus membujuk Mina juga. Sekarang ia hanya perlu menemukan pelaku yang merusak lukisan Amora dan Mina. Sungguh ia sangat marah mengingat nya, siapa yang berani merusak lukisan yang akan dipamerkan ini! Ia kan memghukum mereka seberat yang ia bisa!.
_____
Amora telah sampai di mansion Abkala. Dia melihat Di ruang tengah ibunya yang telah duduk di sofa sembari menonton TV dan Alena yang berbaring di pahanya. Sungguh seperti sepasang ibu dan anak. Padahal hanya ibu tiri dan anak tiri saja.
Tak sengaja Alena melihat Amora lewat, ia menatap remeh Amora. Ia merasa menang sebab Delisha lebih menyayanginya ketimbang Amora yang merupakan anak kandungnya sendiri. Dari dulu Alena memang merasa iri pada Amora yang mempunyai seorang ibu, sedangkan Alena lahir tanpa sosok ibu. Ibunya meninggalkannya dan ayahnya demi bersama pria pilihannya.
Amora mengabaikan Alena. Ia melangkah menuju kamarnya berada. Memasuki kamarnya, disana beberapa koper besar tergeletak di lantai. Ia membukanya dan memeriksanya isinya.
Amora mengehela napas lelah. Sungguh tidak becus! Ia kan hanya meminta mengemas barang-barangnya. Mengapa mereka mengemas semuanya!
Ia membalik salah satu koper besar, sehingga isinya yang berupa pakaian nya berjatuhan. Ia mengelilingi kamarnya dan mengambil barang-barang yang dirasa penting dan memasukkannya ke koper. Teringat tempat rahasianya, ia mendekati kepala rnsjang dan menekan tombol tersembunyi.
Bagian luar ranjang itu bergerak terangkat memperlihatkan sisi didalamnya. Disana terdapat sepasang belati kembar, sebuah buku kuno yang usang dan sebuah foto berbingkai. Amora mengambil foto itu, disana seorang anak kecil dengan senyum manisnya dan kedua orangtuanya tersenyum lebar. Itu Amora, Delisha dan Noah.
Amora memasukkan ke dalam koper. Menutup koper dan menguncinya. Lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.
_____
Malam harinya.
Tap! tap! tap!
Amora melangkah menuruni anak tangga, dengan sebuah koper besar ditangannya. Ia sengaja membuat langkahnya terdengar keras, agar orang-orang disekitar melihatnya. Sebenarnya bisa saja ia pergi tanpa suara namun ia tak bisa melakukannya.
Freddy, Delisha dan Alena yang tengah bersantai diruang tengah mengalihkan atensinya pada Amora. Menatapnya bingung dan heran. Mau kemanakah Amora membawa koper besar?!
"Amora, mau kemana kamu?" Tanya Freddy datar.
"Pergi" Jawab Amora singkat selesai mencapai anak tangga terakhir.
"Mau kemana kamu malam-malam begini?!" Tanya Delisha tanpa lembut-lembutnya.
"Rumah papa" Jawabnya singkat, lagi.
Seketika Delisha tersentak. Kenangan tentang mantan suaminya berputar jelas di benaknya. Mengingat berapa menyeramkannya sifat aslinya. Membuat tubuh Delisha gemetaran.. Ia bangkit dari duduknya mendekati Amora.
"Jangan! Jangan pergi Amora!" Ucapnya keras.
Amora mengangkat sebelah aslinya.
"Kenapa?" Tanya acuh.
"Dia... Dia pembunuh! Dia gila! Dia kejam! Dia menyeramkan! Jangan mendekatinya!" Ucapnya menahan kedua lengan atas Amora dan menekannya.
Amora menepis tangan Delisha. Tak terlalu keras namun karena Delisha yang tubuhnya gemetaran tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya pun terduduk di lantai.
"Sayang!"
"Ibu!"
Pekik Freddy dan Alena, bangkit dari duduknya menghampiri Delisha.
"Amora, kamu apa-apaan sih!"
SELESAI
Lanjut?