9. Sikap Della

10 6 1
                                    

Sinar mentari pagi menerobos celah gorden tipis, menyapa Zahira dengan lembut. Ia menguap, menggeliat, lalu membuka matanya perlahan. Hari baru telah tiba, dan dengannya, tanggung jawab baru menanti. Zahira melirik jam di nakas, jarum pendek menunjuk angka enam, sementara jarum panjang sudah hampir menunjuk angka dua. Ia harus bergegas.

Namun, sebelum beranjak dari tempat tidur, pikiran Zahira melayang ke masa lalu. Kehancuran keluarganya dalam sekejap mata masih terasa begitu nyata. Hilangnya Mama dan Papa, meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh. Zahira teringat bagaimana Ashlan selalu ada untuknya, menjadi sandaran dan kekuatan di tengah badai yang menerpa.

Sekarang, Ashlan sudah jarang berkomunikasi. Zahira hampir berpikir negatif, mungkin Ashlan sudah memiliki orang baru. Rasa sesal menggerogoti hatinya. Mungkinkah ia telah melepaskan orang yang paling berarti dalam hidupnya?  Zahira meringkuk di tempat tidur, air mata perlahan menetes di pipinya.  Rasa sesak memenuhi dadanya, membuatnya sulit bernapas.

"Aku tidak ingin egois," bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku harus kuat. Aku harus bangkit."

Zahira bangkit dari tempat tidur, menghapus air matanya. Ia harus fokus pada pekerjaannya di toko buku. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa mandiri, bahwa ia bisa melewati semua ini.

Dengan langkah gontai, Zahira menuju kamar mandi. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya, mencoba untuk melupakan semua kesedihan yang menyelimuti hatinya.  Ia harus tetap kuat, ia harus tetap tegar. Air dingin dari shower membasahi tubuhnya, berusaha menghanyutkan rasa pilu yang mencengkeram hatinya.

Setelah mandi dan berpakaian, Zahira turun ke dapur. Aroma kopi yang baru diseduh menyambutnya, membuat perutnya berkeroncong. Sambil menikmati secangkir kopi hangat, Zahira mencoba untuk fokus pada pekerjaannya hari ini. Ia membayangkan toko buku yang rapi dan tertata, siap menyambut para pelanggan yang datang. Senyum tipis terukir di bibirnya,  sebuah upaya untuk mengusir bayang-bayang kesedihan yang masih menghantuinya. Hari ini, Zahira siap untuk kembali bekerja dengan penuh semangat, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan.

Ia mengambil tas ranselnya, lalu memeriksa kembali daftar tugas yang harus diselesaikan hari ini. Menata buku-buku baru, membersihkan rak, dan membantu Della, rekan kerjanya, untuk melayani pelanggan.

Dengan langkah mantap, Zahira melangkah keluar dari kontrakannya. Ia menghirup udara pagi yang segar, lalu berjalan menuju toko buku yang terletak tidak jauh dari kontrakannya. Dalam hati, ia berbisik, "Hari ini, aku akan memberikan yang terbaik untuk toko buku ini."

Toko buku sudah mulai ramai. Para pelanggan berlalu lalang, memilih buku yang mereka inginkan. Zahira tersenyum melihat antusiasme mereka. Ia mencintai suasana di toko buku ini. Aroma kertas dan tinta, suara halaman buku yang dibalik, dan obrolan ringan antara pelanggan dan petugas toko, semuanya terasa begitu hangat dan nyaman.  Suasana ini sedikit meringankan beban di hatinya.

Della, rekan kerjanya, sudah berada di balik meja kasir. Ia mengerutkan kening, wajahnya tampak tidak ramah. "Zahira, kamu hari ini bersihin seluruh toko ya. Stok buku baru sudah datang, nanti kamu bantu aku menata di rak."

Zahira terkesiap. "Loh, Del, kan biasanya kamu yang bersihin toko? Kenapa aku?"

"Kenapa? Kamu mau ngeluh? Kamu kan masih baru di sini, harusnya kamu lebih rajin. Jangan banyak tanya, cepetan kerjain!"

Zahira menunduk, merasa bersalah. Ia tahu bahwa Della memang terkenal dengan sifatnya yang egois dan suka mencaci maki. Ia mencoba untuk tidak memperdulikan ucapan Della, dan fokus pada pekerjaannya.  Namun,  rasa kecewa dan sedikit amarah mulai menggerogoti hatinya.

"Oh iya, Ra," kata Della. "Pak Fahri bilang, dia akan datang ke sini siang nanti. Dia mau ngobrol soal rencana pembukaan cabang baru. Kamu siap-siap ya, nanti kamu bantu aku ngeladenin Pak Fahri."

Zahira mengerutkan kening. Pak Fahri adalah pemilik toko buku. Ia adalah sosok yang ramah dan baik hati. Namun, Zahira sedikit gugup ketika harus berhadapan dengannya. Ia takut melakukan kesalahan dan membuat Pak Fahri kecewa.

"Kenapa berhenti beres-beres? Lanjutkan jangan buang-buang waktu," sentak Della dengan wajah sinis.

Zahira mengangguk, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia berharap bisa bersikap natural dan tidak membuat Pak Fahri kecewa. Ia ingin menunjukkan kepada Pak Fahri bahwa ia adalah karyawan yang baik dan pekerja keras.

Hari itu, Zahira bekerja dengan penuh semangat. Ia membantu Della melayani pelanggan, menata buku-buku baru di rak, dan membersihkan toko. Ia merasa senang dan bangga bisa menjadi bagian dari toko buku.  Meskipun rasa kecewa terhadap Della masih menghantuinya, Zahira berusaha untuk fokus pada pekerjaannya.

Saat siang tiba, Pak Fahri datang ke toko buku. Zahira sedikit gugup, namun ia berusaha untuk bersikap tenang. Ia membantu Della menyambut Pak Fahri dan menawarkan minuman.

Pak Fahri tersenyum ramah kepada Zahira. "Terima kasih, Zahira. Kamu sudah bekerja di sini sejak kapan?"

Zahira tersenyum. "Belum lama pak."

"Oh jadi begitu. Bagaimana, kamu suka bekerja di sini?"

Zahira mengangguk. "Sangat suka, Pak. Saya senang bisa bekerja di toko buku. Saya suka menata buku-buku dan membantu para pelanggan."

Pak Fahri mengangguk. "Saya senang mendengarnya. Saya berharap kamu bisa terus bekerja di sini dan berkembang bersama kami."

Zahira merasa senang mendengar pujian dari Pak Fahri. Ia merasa bahwa Pak Fahri adalah sosok yang baik dan peduli terhadap karyawannya. Ia berharap bisa terus bekerja di toko buku dan memberikan yang terbaik untuk toko buku ini.  Pujian Pak Fahri sedikit meringankan beban di hatinya.

Setelah berbincang dengan Pak Fahri, Zahira kembali membantu Della melayani pelanggan. Ia merasa senang dan bahagia bisa bekerja di toko buku. Ia merasa bahwa toko buku ini adalah tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk bekerja.

Sore itu, Zahira pamit pulang. Ia merasa sedikit lelah, namun ia merasa senang karena telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ia berharap bisa kembali bekerja di toko buku besok dan memberikan yang terbaik untuk toko buku ini.

Saat berjalan pulang, Zahira kembali memikirkan Ashlan. Ia merindukan Ashlan. Ia ingin kembali seperti dulu, di mana keluarganya kembali lengkap, di mana Ashlan selalu ada untuknya. Namun, ia tahu bahwa ia harus kuat. Ia harus bisa melewati semua ini.

Zahira menghela napas. Ia harus fokus pada pekerjaannya di toko buku. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa mandiri, bahwa ia bisa melewati semua ini.

Zahira kembali tersenyum. Ia akan terus bekerja dengan baik di toko buku.

Namun, langkah Zahira terhenti saat dia kembali teringat kejadian kemarin, dia takut kejadian kemarin kembali terulang, dia takut Zidan berbuat seperti kemarin.

Zahira ingin menelepon Arcell tapi disisi lain dia tidak ingin merepotkan Arcell, sekarang pikiran Zahira di penuhi ketakutan.

"Apa Zidan masih ada? Aku takut kejadian kemarin kembali terulang," batin Zahira.

Dia kembali berjalan dengan langkah cepat, tangannya menggenggam erat tas yang dia gendong, keringatnya bercucuran, kepalanya menunduk.  Rasa takut dan cemas mulai menguasai dirinya.

Dia hanya bisa berdoa agar Zidan dan anggotanya sudah pergi, karna jika kejadian itu kembali terulang mungkin tidak akan ada yang menolongnya, karna Arcell tidak akan selalu ada untuknya.

Cinta Akan Selalu AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang