𝐎𝐝𝐢𝐬𝐞 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐠𝐚𝐝𝐢𝐬 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐧𝐠,
𝐁𝐞𝐫𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐫𝐞𝐬𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐞𝐣𝐢Selamat Membaca
Siang itu, matahari tak terlalu menampakkan sinarnya. Udara menjadi sedikit sejuk, semilir angin lembut mengibaskan surai sehalus sutra itu dengan penuh perhatian, membuat sang empunya terlihat begitu sempurna. Berbalut sebuah kebaya lusuh, dan juga sehelai 'samping' yang senantiasa dia gunakkan sehari - hari. Rambutnya yang biasanya dikepang kini hanya dia ikat setengahnya asal, sebagian surainya dia biarkan merambai begitu saja.
Melia Isvara. Perempuan 'ayu' (cantik) itu berjalan dengan menikmati semilir angin siang yang memanjakkannya. Ditangan kirinya terdapat sebuah 'buntelan' berisi makanan. Langkahnya membawanya kesebuah pabrik yang berada tak jauh dari rumah dinas Belanda tempatnya meraup pundi - pundi uang untuk menafkahi keluarga.
Dia berniat menemui ayahnya yang dia sebut 'bapak' itu, menghantarkan makan siang. Seorang lelaki yang akan dia sanjung sepanjang hidupnya, seorang lelaki yang pemikirannya menjadi cerminan baginya, seorang lelaki yang akan mengorbankan apapun untuknya, bila perlu lelaki itu akan mencabut keluar jantungnya jika Melia membutuhkannya.
Melia Isvara menyukai bagaimana cara ayahnya berpikir, berbicara dan juga cara dia menyayanginya. Dia akan selalu 'pro' pada apa yang menjadi keinginannya. Melia sangat bersyukur memiliki ayah seperti pak Tirto pada masa - masa terpuruk seperti sekarang ini.
Mulai memasuki pabrik, dirinya mendapati hal yang tak dia inginkan. Beberapa pria netherland yang sedang meminum arak bertengger di area jalan koridor panjang arah masuk Gudang yang gelap dan sempit. Menatapnya seolah - olah sebuah mangsa empuk di siang bolong. Dengan perasaan cemas, dia teruskan langkahnya sambil menundukkan kepalanya.
"Hoi schoonheid!" (Hai cantik!)
"Hoeveel is je prijs?" (Berapa hargamu?)
"Hij is waardeloos, ben je dat vergeten?!" (Dia tidak berharga, kau lupa?!)
Seorang pria Netherland yang sepertinya sudah cukup berumur itu mendekatinya, merangkul bahunya dengan sangat erat. Melia merasa oksigen disekitarnya semakin menipis. Pria itu mengeratkan cengkramannya pada bahu Melia. Tangannya yang nakal itu meraba sampai hampir mendekati dadanya.
"T..tt..tolong, lepaskan saya t..tuan"
Pria yang berbau alkohol itu menggeleng ribut, dengan tubuhnya yang sempoyongan dia menggerakan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. Semakin mendekatkan wajahnya pada wajah mungil Melia. Gadis itu menangis, rasa takut telah menguasai dirinya. Dia mencoba berontak namun kekuatannya terlalu lemah untuk seorang pria dengan perawakkan tinggi besar itu.
YOU ARE READING
Melia : Sebuah Cinta yang Tertinggal
Historical Fiction"𝐀𝐤𝐮 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐞𝐦𝐩𝐮𝐭𝐤𝐮, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐝𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠" -𝐌𝐞𝐥𝐢𝐚 𝐈𝐬𝐯𝐚𝐫𝐚 Caruban Nagari, Hindia Belanda 1875