𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐡𝐚𝐲𝐮 𝐬𝐰𝐚𝐬𝐭𝐚𝐦𝐢𝐭𝐚, 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐡𝐢𝐰𝐚𝐫𝐚 𝐭𝐚𝐤 𝐦𝐚𝐦𝐩𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐧𝐠𝐤𝐮𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧𝐚 𝐩𝐫𝐢𝐛𝐮𝐦𝐢
Selamat membaca
"Nduk, kamu itu seharusnya mulih"
Suara sang ibu membuyarkan lamunan sang gadis pribumi. Benar, pagi ini dia pulang kerumah tanpa sepengetahuan sang petinggi Belanda. Melia harus melakukannya jika tak ingin dicegah untuk pulang lagi seperti hari sebelumnya.
"Nggih bu, Melia juga tadinya mau pulang"
"Ya terus kenapa toh? Kamu malah tidur dirumah wong londho iku?"
Melia telah menceritakan semua yang terjadi padanya tiga hari lalu. Namun, respon sang ibu ternyata diluar dugaannya. Ibunya sangat marah tatkala Melia mengungkapkan bahwa dirinya dirawat selama dua hari tiga malam dirumah residen seorang Belanda.
Gadis berkebaya lusuh itu mendekat, dia berlutut dihadapan sang ibu. Melia sangat mengerti bahwa ibunya kini tengah khawatir. Terdengar dari bagaimana intonasi bicara sang ibu, terlebih lagi ibunya sangat tidak menyukai petinggi – petinggi Belanda. Lalu dirinya malah tidur disalah satu rumah petinggi Belanda? Maka wajar saja jika sang ibu akan bersikap seperti itu.
"Tuan Jenan tidak mengizinkan Melia pulang, bu"
"Ya harusnya kamu tolak toh?" Wanita yang dia sebut ibu itu menukikkan alisnya tajam "Ibu emang gak bisa panggil dokter untuk kamu nduk, tapi ibu ndak suka kamu malah dirumah wong londho iku"
Melia terkejut dengan apa yang baru saja sang ibunda katakan. Dia tak menyangka jika sang ibunda akan semarah ini. Dia meraih tangan sang ibunda "Nggih bu nyuwun ngapunten"
Hening sejenak.
Sang ibunda terlihat sangat kehilangan kata – kata. Hatinya mulai memanas, ingin rasanya dia luapkan kemarahannya. Melihat sang putri yang mulai berkaca – kaca, dan sorot matanya yang begitu kentara bahwa dia sangat menyesal. Maka, sang ibunda menarik napas panjang
"Duduk sini nduk" Ditariklah tangan kecil sang putri menuju salah satu bangku rotan disampingnya.
Kemudian tangannya terangkat, memeriksa bekas luka sang putri. Seketika hatinya terasa sakit bak disayat sebilah pisau tajam melihat bekas luka yang terukir diatas kulit wajah itu.
"Nduk..., jangan terlalu percaya karo wong londho iku."
"Nggih bu, Melia ngertos" Melia menunduk, dia menggenggam tangan sang ibunda yang sarat akan kehangatan "Tapi tuan Jenan yang bantu Melia"
YOU ARE READING
Melia : Sebuah Cinta yang Tertinggal
Historical Fiction"𝐀𝐤𝐮 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐞𝐦𝐩𝐮𝐭𝐤𝐮, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐝𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠" -𝐌𝐞𝐥𝐢𝐚 𝐈𝐬𝐯𝐚𝐫𝐚 Caruban Nagari, Hindia Belanda 1875