"Aku tidak akan segan membunuh siapapun yang telah membuatnya menangis"
Sengg...yang ini akan banyak bahasa belandanya yaa
Selamat Membaca
"Melia"
Gadis itu mengangkat wajahnya menatap sang pria Belanda. Membuat setetes air dari rambut sang adhiwara kembali jatuh dikulit wajah kuning langsatnya. Namun, mulutnya tetap membisu, enggan untuk menimpali kalimat yang baru saja keluar dari pria Belanda itu.
"Kau tidak mengindahkan perkataanku lagi..." Pria itu bergumam, namun karena jarak mereka yang dekat Melia dapat mendengarnya dengan jelas dengan deru napas yang berat.
Gadis pribumi itu mengulum bibir, "Tidak seperti itu..." mengalun tuturnya bagaikan sebuah kidung indah, "Hanya saja...saya tidak mengerti dengan apa yang barusan anda katakan Sir Jenan..."
Sang pria tersenyum menanggapi, dia mundur satu langkah begitupun dengan tangannya yang sekarang dia jauhkan dari pipi sang gadis pribumi. "Aku mengerti" lalu dia kembali duduk dikursi sana, "Duduklah Melia, jangan menolak permintaanku lagi"
Mendengar itu, si gadis pribumi hanya bisa mengangguk. Dia tidak berpikir untuk menolak kembali sang pria dihadapannya.
"Ah, maafkan aku wajahmu jadi basah seperti ini" Sang Residen terlihat sedikit tertawa, dia mengusap bekas tetesan air diwajah sang gadis pribumi dengan ibu jarinya. "Kau jadi terlihat seperti orang yang baru saja menangis"
Si gadis pribumi sedikit tertawa lirih, "Tidak apa, tuan..."
"Jangan pernah menangis ya, Melia?"
"Maaf?"
"Aku tidak bisa melihatmu menangis, rasanya hatiku juga sakit"
Gadis pribumi itu mengulum bibir, "Tapi... saya tidak bisa memprediksi kapan saya akan menangis"
"Oleh karena itu jangan" sang adhiwara menyudahi usapannya dipipi sang kirana pribumi.
"Saya rasa...menangis bukan hal yang bisa saya kendali-"
"Bisa" pria itu menyanggah cepat perkataan gadis pribumi dihadapannya. "Sangat bisa, aku akan menjagamu dan membuatmu Bahagia Melia"
Mendengar pendapat yang keluar dari mulut sang adhiwara dihadapannya, Melia mematung. Dia tidak tahu lagi harus menanggapi semua perkataan yang keluar dari mulut pria Belanda dihadapannya itu. Namun meski begitu, dia merasakan sedikit kehangatan jauh dilubuk hatinya didalam sana.
Giok hijau itu kembali menjemput obsidian cokelat tua dihadapannya. Meski gadis dihadapannya kembali membisu, namun Jenandra dapat melihat semburat arunika yang bersembunyi diantara kulit pipi kuning langsat sang kirana pribumi.
YOU ARE READING
Melia : Sebuah Cinta yang Tertinggal
Historical Fiction"𝐀𝐤𝐮 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐞𝐦𝐩𝐮𝐭𝐤𝐮, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐝𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠" -𝐌𝐞𝐥𝐢𝐚 𝐈𝐬𝐯𝐚𝐫𝐚 Caruban Nagari, Hindia Belanda 1875