09

225 42 5
                                    



Jangan lupa follow dan vote yang banyakkkkk 🤗 oh iya jangan lupa komen yang seru seru ya... Mohon pengertiannya kalau part ini agak kurang pas dan typo typo gitu ya, selamat membaca luv 😚









"Mama kamu besok sudah boleh pulang." wajah cantik Nabila tersenyum ramah pada Faradilla yang masih saja menundukkan kepalanya sungkan.

"kalian masih boleh tinggal di rumah aku loh, atau di apartment aku juga boleh... kalau kamu ga nyaman tinggal gratis, boleh sewa bayar semampunya gimana?" Dilla mengangkat kepalanya menatap wanita cantik dengan senyum cerahnya itu, entah mimpi apa Dilla semalam tapi kehadiran Nabila bagai lentera yang menerangi gelap gulita dunianya saat ini.

"tapi Ci..." ucapan Dilla terputus saat melihat Nabilla menggeleng keras.

"bayar seikhlasnya, setiap tanggal 1 berapapun uang yang kamu punya kasih ke aku gimana? Deal? Syaratnya cuma satu, ga boleh kabur... semuanya kita obrolin bareng bareng, anggep aja kita saudara... boleh kan kita jadi saudara?" tentu saja Dilla mengangguk cepat, satu persatu air matanya mulai luruh membasahi wajah cantiknya.

"aduuuhh kamu lucu banget, kiyowo." Pelukan hangat Nabila benar benar terasa seperti Kakak perempuan yang selama ini Dilla impikan hadir dalam hidupnya.

"Cici... Makasih ya, aku gatau harus bales Cici sama Pak Dimas kayak apa, semoga Cici dan Pak Dimas sehat dan bahagia selalu, kalian orang orang baik." Nabila mengelus rambut panjang itu.

"yang baik itu Dimas, bukan aku... dulu ya, aku hidup sendirian bener bener sendirian, jauh lebih kesepian dari yang kamu bayangin. Trus tiba tiba ketemu laki laki yang tukang maksa, tukang ngatur, gengsian... kehidupan aku mendadak berubah, udah kayak Cinderella semua yang aku mau ada di Dimas... bukan cuma soal pasangan sempurna tapi Dimas bener bener kasih aku semuanya mulai dari keluarga, tempat tinggal, perlindungan, rasa aman, dan cinta semuanya pokoknya" pandangan dua wanita itu menerawang jauh, melihat jalan takdir yang membawa mereka sampai di titik ini.

"trus tiba tiba itik buruk rupa yang hidup di semak semak itu sekarang jadi angsa di sangkar emas, aku cerita gini biar kamu semangat Dilla... aku tau ini semua berat tapi sama kayak orang puasa, di depan sana pasti ada buka puasanya juga kok... cobaan ini ga akan lama, semuanya akan baik baik saja setidaknya kamu punya Ayah dan Ibu ga kayak aku, bukan aku berniat adu nasib ya Cuma aku cerita supaya kamu merasa lebih baik... karna masih banyak orang yang mungkin kondisinya jauh lebih nelangsa dari pada kamu, dari pada kita... jadi ayo semangat!" Dilla kehabisan kata yang bisa ia ucapkan untuk menggambrkan sosok sempurna di hdapannya itu.

"nanti begitu aku dapat kerja, aku langsung bayar ke Cici ya." Nabila mengangguk, ia masih ingat betul saat berada di posisi yang sama kala itu putus asa, sedih yang sama, air mata yang tak sudah persis seperti yang pernah Bila rasakan juga.

"kenapa nunggu dapet kerja? Kenapa ga kamu usaha aja? Kamu sukanya apa? Aku modalin ayok kita buka usaha berdua" binar mata Bila di jawab oleh linangan air mata Dilla.

"Cici udah terlalu banyak bantu aku, saudara saudara aku aja ga ada yang bantu." Bila menyenggol tubuh ramping Dilla yang sedikit lebih besar darinya walau tengah berbadan dua.

"kan kita juga saudara, gimana sih... malem ini juga tugas kamu pikirin usaha apa, besok aku kesini lagi sekalian jemput kalian ya." Bila beranjak dari kursi taman yang baru saja menjadi saksi ikatan persaudaraan baru itu.

"terimakasih banyak Ci." Dilla kehabisan seluruh kata untuk mengungkapkan rasa syukurnya pada malaikat berwujud manusia di hadapannya ini.

Usai mengantar Bila hingga sampai di mobilnya, Dilla kembali ke kamar rawat sang Ibu yang terlihat sangat damai menikmati tidur siangnya, wajah tenang sang Ibu seperti obat penghilang rasa sakit bagi setiap luka yang Dilla dapatkan.

"Bu... ternyata Allah masih sama kita, Allah kirim malaikat tanpa sayap buat kita." Sang Ibu tak bergeming, Dilla membenarkan letak selimut Ibunya sebelum meletakkan kepalanya di sisi tempat tidur untuk turut beristirahat barang sejenak.

Tanpa terasa sing mulai berganti, matahari yang tadinya bersinar terang diatas kepala kini mulai redup berubah senja, Dilla yang sudah mulai terjaga dari tidurnya menyiapkan sebuah wadah yang diisi air hangat juga handuk kecil untuk menyeka badan sang Ibu.

"Bu... sudah mau magrib, Ibu di seka dulu ya... besok kita pulang bisa mandi seger di rumah." Mendadak tubuh Faradilla membeku, wajahnya pias karna terkejut, pikirannya mulai tidak tidak walau ia berharap apa yang terjadi tak sesuai yang ada di pikirannya. Tubuh wanita yang paling berharga baginya itu terasa amat dingin dank aku, entah sejak kapan wajah cantik Ibunya telah berubah pucat.

"Ibu... Ibu... Bu... Adek takut, Ibu jangan gini ga lucu... Bu... IBUUU!!" Dilla berteriak sekuat tenaga berharap berhasil mengejutkan Ibunya namun gagal... menangis dan meraung pilu pun sudah terlambat, wanita yang menjadi dunianya itu telah pergi dalam damai yang abadi.

Par tim medis berlarian menghampiri kamar rawat inap itu usai mendengar teriakan kencang Faradilla, sementara Dilla terduduk di lantai... air matanya kering sudah, perjuangan yang selama ini ia lakukan demi Ibunya terasa sia sia, tak ada seorang anak yang akan baik baik saja saat kehilangan seorang Ibu seperti yang Dilla alami.

Satu masalah belum selesai, ia harus menghadapi cobaan lagi seolah semesta tak memberi sedikitpun waktu istirahat baginya. Nasib Ayahnya belum jelas, lalu Ibunya berpulang... katakan, apakah ada yang lebih buruk dari itu?

"Mba... Kami turut berduka sedalam dalamnya atas berpulangnya Ibu Novia, Mba Dilla yang tabah ya" bagaimana Dilla menjawab itu? Kata apa yang bisa gunakan? Apakah terimakasih? Ia kehilangan Ibunya apa ia harus berterimakasih?

Pemakaman di laksanakan malam itu juga, Novia Handayani Binti Rochmawan Gani dimakamkan di makam keluarga, setelah beberapa lama akhirnya sang Ayah Aji Prawinto turut hadir disana walau dengan pengawalan ketat polisi militer menghadiri pemakaman istri tercintanya.

"Adek... maaf ya Nak." dekap hangat dari tubuh tegap Ayahnya mampu sedikit mgnobari rindu di hati dilla akan sosok Aji.

"Maaf ya ini semua gara gara Ayah." seumur hidup, ini kali pertama Dilla melihat Ayahnya menangis.

"Maaf Adek sendirian, Ayah janji secepatnya Ayah jemput Adek ya." Gadis cantik itu hanya mengangguk dan terus saja menangis.

"Pak Dimas, Bu Nabila... saya mohon titip anak saya, secepatnya akan saya selesaikan masalah saya... saya hutang budi sama Bpaak Ibu." Aji adalah seorang Jendral bintang 1 angkatan laut, menunduk penuh permohonan pada seorang Mayor angkatan darat demi menjaga putri kecilnya, satu satunya harta tersisa yang ia punya.

"Bapak gausah sungkan, kami semua akan jaga Dilla seperti keluarga kami sendiri, Bapak bisa hubungi kami kapanpun kalau di butuhkan" Dimas terlihat sangat bersahaja dan tenang, sementara Nabila seolah kembali ke beberapa tahun lalu saat dunianya hancur seperti yang Dilla alami saat ini.







Bersambung...










HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang