PROLOG

5.8K 225 36
                                    


-Langit, Mimpi, dan Debu-

Hari ini... sepi sekali. 
Karena sedang musim hujan, ya? 
Mereka bilang, sekarang laut tidak begitu indah. 
Aku tidak mengerti apa maksudnya laut indah atau tidak, karena bagiku, laut selalu terlihat sama setiap hari. 
Sedangkan langit... tidak pernah sama setiap hari. 
Tapi tetap saja... selalu mempesona seperti biasa setiap harinya. 

Kameraku yang tergantung di leher bergetar sedikit. Sudah tak terhitung berapa banyak foto yang telah kuambil hari ini. 
Karena, mungkin aku tidak akan datang ke sini lagi dalam waktu lama. 

Aku memotret untuk menyimpan kenangan ini. 

Angin yang berhembus lembut dari laut membawa perasaan sepi yang entah dari mana asalnya. Membuatku merasa begitu hampa. Aku menatap sejauh yang bisa kulihat ke ujung laut. 
Pemandangan di depanku membuatku bertanya-tanya. Sebuah pertanyaan yang tidak pernah bisa kujawab. 

Apakah kita sedang menatap langit yang sama? 
Tapi kalaupun tidak... tidak apa-apa. 

Saat itu... aku baru berusia sepuluh tahun, kurasa. 

Di dalam gudang tua milik nelayan yang sudah tak digunakan lagi, tidak ada tempat yang lebih cocok sebagai 'markas rahasia' kami selain di sini. Kami diam-diam mengambil barang dari rumah masing-masing untuk menghias tempat ini bersama-sama, sampai akhirnya menjadi tempat rahasia kami, dan kami berjanji tidak akan memberitahu siapa pun. 

Aku duduk bersandar ke dinding, lalu menatap langit yang gelap, menurunkan hujan deras yang tak kunjung berhenti. Tubuhku yang basah kuyup hanya bisa kugenggam erat untuk mengurangi dingin yang menyelinap. 
Aku menggigit bibir erat-erat untuk menahan isak tangis, tapi tidak lama kemudian aku menyerah, membiarkan diriku menangis lagi. Aku menyembunyikan wajah di lenganku, membiarkan air mata mengalir tanpa bisa kutahan. 

Tempat ini adalah satu-satunya tempat yang ingin kutuju ketika aku merasa tidak tahu harus pergi ke mana, karena aku tidak ingin pulang ke rumah. 

*Glaarrr!!* 

Aku tersentak kaget saat mendengar suara petir menyambar. 
Tidak... 
Jangan ada petir lagi! 

Aku mendengar suara pintu terbuka, membuatku langsung menoleh. 
Kulihat seorang anak laki-laki seusia denganku. Dia sedikit lebih tinggi dariku, dengan kulit yang putih cerah. Meski ada payung di tangannya, tubuhnya tetap basah kuyup, seolah-olah dia berlari menembus hujan. Wajahnya tampak cemas dan khawatir. 

Dia adalah satu-satunya orang yang kuharapkan menemukan ku. Dan dia selalu berhasil menemukanku. 

"Kau tahu sangat bahaya datang ke sini saat hampir malam ditambah hujan begini," katanya. 

Aku segera berdiri dan berlari memeluknya. 

"Kau kaget karena petir?" 

"Iya." 

"Tidak apa-apa, sekarang Phi Fah ada di sini," katanya menenangkanku.

Orang di depanku memelukku erat, mengelus kepalaku dengan lembut. Phi Tonfah adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu apa yang kutakuti atau tidak kutakuti. Salah satu ketakutanku adalah petir, meski namaku "Thypoon," anehnya, aku takut petir....

"Phoon." 

"Iya," aku menjawab panggilannya. 

"Kenapa kamu di sini?" 

"..."

"Apa kau tidak mau pulang?" 

"Tidak."

"Kenapa?" 

SOUTH : BESIDE THE SKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang