Chapter 9: Eternal Rain (Part 1/2)

6.8K 354 34
                                    


Aku duduk dan memandang foto di atas meja sambil tersenyum. Itu adalah foto keluargaku saat aku berusia enam tahun. Biasanya, foto ini kusimpan di laci penyimpanan. Aku tidak tahu kenapa... Entah kenapa, setiap kali kulihat, aku merasa tidak nyaman. Di dadaku muncul rasa aneh saat melihat senyum ayah dan ibu. Fan dan aku mengenakan baju yang serasi dan saling berpegangan tangan. Kami tersenyum lebar ke arah kamera.

Bisakah keluarga ini jadi lebih hangat lagi? Andai aku benar-benar anak mereka, ah, pikiran seperti ini seharusnya tak pernah ada di benakku. Tapi tidak semuanya buruk. Kami biasa makan bersama, menghabiskan waktu, berbicara, menjadi ayah dan ibu, putri, putra, saudara, dan keluarga. Separuh dari mereka pernah menjadi keluarga...

Sudah lebih dari seminggu sejak aku membuat janji pada Phi Fah. Aku bertanya, apa aku perlu membuat kontrak? Phi Fah berkata, dia memberikan kontrak seperti ini kepada setiap anak yang dia bimbing. Ada banyak yang suka meninggalkannya sebelum selesai. Karena mereka merasa kehilangan semangat dan tidak ingin melanjutkan bimbingan, yang mana Phi Fah tidak ingin hal itu terjadi. Tidak begitu mengejutkan. Phi Fah tetaplah Phi Fah.

Tidak ada yang berubah di antara kami. Yang kusuka adalah bahwa hubungan ini tetap seperti ini, layaknya saudara biasa. Kami sesekali mengobrol, pergi ke kafe bersama. Malam hari, kami saling menelepon dan belajar bersama. Tapi aku tidak menelepon setiap malam karena Phi Fah punya murid lain. Rasanya... sedikit menyakitkan, tapi tak apa. Tidak ada yang lebih sakit daripada harus mengucapkan selamat tinggal.

Ini seperti menghitung hari-hari menuju kesendirian. Aku mulai membencinya.

Saat aku menengadah, yang kulihat hanyalah awan gelap.

Aku suka kata itu. Mereka bilang, langit setelah hujan selalu indah.

Tapi aku takut... aku sangat takut hujanku tidak akan pernah berhenti turun. "Sayang sekali hari ini tidak ada matahari," kataku pada tanaman yang kutanam. Sebelum aku memindahkan pot ke tempat teduh. Saat hujan, tetesan air
jatuh pada beberapa tanaman yang membutuhkan air, tapi ada beberapa yang menerima terlalu banyak air dan akan membusuk lalu mati.

Aku punya banyak tanaman di balkonku. Hampir memenuhi seluruh ruangan. Phi Fah membawaku untuk membeli banyak tanaman. Aku juga membeli lemari untuk kamera. Phi Fah berkata, jika ada kesempatan istimewa, dia akan membeli kamera sebagai hadiah.

Jika ada...

Aku ingin memilikinya... sungguh ingin itu ada. Ah... akhirnya hujan mulai reda.
Aku berdiri di balkon, tanpa peduli beberapa tetes hujan yang menyentuhku. Tak peduli seberapa dinginnya, aku tak ingin menjauh dari sini, aku ingin memandang langit yang terus menangis seperti ini.

Karena langit meluapkan hujan...

Aku harus mengambil foto juga... Saat menyadarinya, aku segera mengambil kamera dan memotret. Sayang sekali, langitku tidak begitu cerah hari ini, tapi dia sudah menangis untukku.

Karena aku... Hampir tidak ada lagi air mata yang tersisa. Ponselku bergetar, memberi tahu bahwa seseorang telah mengirim pesan.

Tonfah: Aku belum mengirim langit hari ini.

Tonfah: Kirim foto

Tonfah: Cuaca hari ini sedang buruk.

Tonfah: Jangan keluar saat hujan.

Pesan ini saja sudah cukup membuatku mudah tersenyum.

Seseorang yang menatap langit bersamaku. Apa dia akan lebih sering menatap langit? Apa dia menyadari bahwa langit itu berubah setiap hari? Atau hanya sekadar mengirimkannya padaku?

Dan apa dia tahu bahwa langit itu berharga bagi seseorang?

TyPhoon: Kirim foto

TyPhoon: Iya, Phi juga jangan keluar saat hujan.

SOUTH : BESIDE THE SKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang