Chapter 5: Rainy day

7.7K 407 178
                                    


Hujan turun.

Aku tidak tahu kapan mulai berawan. Tahu-tahu, hujan sudah turun. Aku melamun, menatap ke luar jendela yang penuh tetesan air. Langit yang mendung kadang membuatku merasa sepi, tapi tetap saja aku suka menatapnya.

Jika dibilang aku melihat langit dengan pandangan positif, mungkin benar.

Bagaimana mungkin aku melihat mu dengan pandangan negatif?

Tidak bisa jadi langit untuk siapa pun? Benarkah?

Tapi meskipun begitu, kau tetap langit satu-satunya bagiku.

Apapun yang terjadi, kau adalah satu-satunya yang selalu kucari, dan itu tidak akan pernah berubah.

Apapun yang kau pikirkan, aku tidak akan berubah.

(T/N. Tonfah dalam bahasa Thai : Langit)

Kami terjebak di persimpangan lampu merah sebelum belok ke asramaku, setelah jalan-jalan bersama. Saat hujan mulai turun, Phi Fah segera mengantarku pulang. Aku melirik dia yang duduk di sebelah sejenak sebelum kembali berpaling.

Tonfah...

Aku pernah bertanya tentang arti namanya. Dia bilang ayahnya ingin dia menjadi langit yang lebih tinggi dari siapapun, langit yang terlihat saat orang-orang menengadah. Ibunya ingin dia menjadi pohon yang kokoh, yang memberi naungan dan tidak tumbang meski diterpa angin.

Phi Tonfah selalu menjadi seperti yang diharapkan orang tuanya: langit yang tinggi dan pohon yang memberi naungan. Sedangkan aku, hanya seseorang yang kebetulan lewat, jatuh cinta pada pohon ini, dan memilih untuk berteduh, meskipun tahu tidak bisa berlama-lama.

---

Hujan turun dengan lembut dari jendela, membawa suasana tenang dan dingin. Phi Fa menatap lurus ke depan sambil tersenyum lembut, memberikan kenyamanan di antara kekacauan hujan di luar.

"Sayang sekali, macet begini," ujar Phi Fah, membuyarkan lamunanku. Aku melihat ke depan dan melihat jalanan yang padat. Saat hujan turun seperti ini, jalanan biasanya macet, seperti hampir tidak bergerak sama sekali.

"Iya, benar," jawabku.

Aku sedikit terkejut mendengar suara ketukan di jendela dari sisi pengemudi. Ada sebuah motor besar yang berhenti di dekat mobil, pengendaranya mengenakan helm hitam dan pakaian kulit. Dengan punggung tangan, ia mengetuk jendela mobil. Phi Fah menoleh dan mengernyit, lalu menurunkan jendela sedikit agar bisa mendengar apa yang ingin disampaikan pengendara tersebut. Jendela hanya diturunkan sedikit agar hujan tidak masuk, membuat orang di luar tidak bisa melihatku.

"Kau dari mana?" tanya Phi Fah.

"Ada urusan sedikit. Kau sendiri?" jawab pria itu.

"Jalan-jalan. Tidak pakai jas hujan? Nanti kau bisa masuk angin."

"Aku sudah terbiasa."

"Lalu, kau mau ke mana sekarang?"

"Pulang ke apartemen. Hujan ini benar-benar tidak datang di waktu yang baik." Karena hujan deras, suaranya terdengar kurang jelas, tapi sepertinya dia sedang kesal. "Kau sendiri mau ke mana?"

"Pulang juga," jawab Phi Fa. "Hati-hati di jalan."

"Kau juga. Sampai nanti." Pria itu menutup helmnya kembali dan segera melaju dengan cepat begitu lampu lalu lintas berwarna hijau, sementara mobil kami masih harus menunggu beberapa saat agar bisa bergerak maju.

"Temanmu?" tanyaku.

"Ya."

Aku memperhatikan motor besar hitam itu berlalu. Dia mengendarainya dengan cepat, terlihat agak menakutkan. Hujan deras begini, kenapa dia bisa mengendarainya dengan begitu cepat? Bukankah itu berbahaya?

SOUTH : BESIDE THE SKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang