"Ada dua berita yang mau saya kasih tau terkait program exchange ini," kata Bu Amelia, setelah Hayi, Shinta, dan Devin dikumpulkan di kantor prodi saat ini.
Tiga orang terpilih itu pun menyimak dengan saksama.
"Yang pertama ini bisa dibilang berita bagus ...." Bu Amelia sedikit menggantung ucapannya, membuat tiga orang itu jadi menebak-nebak. "Karena kalian bakal dapet uang saku setotal tiga juta untuk masing-masing," lanjut Bu Amel kemudian.
"Beneran, Bu?" Devin hampir histeris menanggapinya. Tentu saja karena terkejut dan senang secara bersamaan.
Apalagi Hayi. Ia benar-benar tercengang mendengarnya. Matanya tak hanya melebar, jantungnya juga mulai berdegup kencang, bahkan mulutnya sampai sedikit terbuka. Ia seperti mendapatkan emas setelah banjir. Setelah kepalanya pusing memikirkan banyak masalah, termasuk kendala terkait program ini, kini kabar baik itu telah meluruskan kekusutan dalam benaknya. Serta, cita-cita kecilnya untuk bisa pergi ke Tiongkok mungkin akan benar-benar bisa terealisasi.
"Iya." Bu Amelia mengangguk membalasi pertanyaan Devin tadi. "Dekan kita ngasih masing-masing satu juta untuk semua delegasi dari fakultas kita, dan Kaprodi kita ngasih masing-masing dua juta untuk kalian bertiga."
Dengan senyum semringah, tiga orang itu saling pandang.
"Walaupun belum bisa menuhin semua kebutuhan di sana, tapi seenggaknya bisa lumayan ngebantu. Iya, kan?"
Lalu tiga orang itu dengan kompak mengangguk menanggapi perkataan Bu Amelia. Jelas mereka sependapat dengan itu. Terutama Hayi. Ia tak perlu susah payah lagi memikirkan cara untuk berbicara dan meminta biaya pada orang tuanya. Ia yakin akan bisa menangani semuanya sendiri kalau begini.
"Tapi ada syaratnya."
Perkataan lanjutan dari Bu Amelia itu menyela euforia kecil mereka bertiga.
"Kalian harus mau ngelanjutin proyek desain kalian, dan harus lebih dikembangin lagi dengan masukin hal-hal yang ada di sana," lanjut Bu Amelia, "nanti bakal dikoordinasiin sama pembimbing kalian masing-masing untuk adain bimbingan online selama kalian di sana nanti. Dan setelah kalian pulang ke sini, kita harap kalian udah siap untuk seminar."
Sebenarnya, itu tak masalah bagi Hayi, serta mungkin bagi Shinta dan Devin juga. Pun, jika mereka tak pergi ke sana, tetap saja mereka harus bisa menyelesaikan proposal proyek desain mereka di akhir semester ini. Jadi, mereka bertiga pun tak keberatan dan menyanggupi syarat itu.
Bu Amelia juga tampak memberikan senyum puas dengan tanggapan mereka itu.
"Oke, lanjut berita yang kedua, yaitu terkait jadwal pemberangkatan," lanjut Bu Amelia lagi. Sesuai dengan perkataan beliau di awal tadi, kalau ada dua berita yang akan diinformasikan pada kesempatan ini. "Pemberangkatan yang awalnya di pertengahan bulan depan, diundur jadi akhir bulan depan. Karena kita bakal ngikutin jadwal pembelajaran setelah UTS di sana. Tapi, periode kalian tetep tiga bulan atau setengah semester. Jadi, kemungkinan kalian pulang ke sini lagi di Januari tahun depan."
Hal itu sebenarnya juga bukan hal yang perlu dipertimbangkan lagi, karena itu sudah aturan yang ditetapkan. Jadi, mereka lagi-lagi tak menyanggah dan menyetujui dengan lapang hati. Lagipula, dengan pengunduran jadwal itu, Hayi jadi punya waktu lebih banyak untuk membuat persiapan. Ia sadar belum menyiapkan apapun sampai saat ini.
"Oh, iya, untuk Hayi. Kamu jadinya gimana? Udah dapat keputusan?"
Hayi sempat lupa yang satu itu, kalau dirinya belum memberitahukan keputusannya. Minggu lalu Bu Amelia memberinya waktu untuk berpikir dan berdiskusi dengan keluarga. Namun, sepertinya ia sudah bisa menentukan keputusan walaupun belum berdiskusi dengan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Carpe diem that is hard to find
Teen FictionDi keluarganya, keberadaannya sering tak dianggap. Bukannya dikucilkan, orang-orang di rumahnya hanya tak mempedulikan ataupun memperhatikannya. Sama sekali tak ada pengaruh khusus dari ada atau tidaknya ia, bagi mereka rumah itu tetap terasa utuh. ...