19 | Quandary

45 9 5
                                    

Hayi tak jadi ikut main di rumah Neo, ia segera menyusul ke rumah sakit setelah dapat kabar dari Hafi tadi. Namun, Neo sempat menyuruhnya mampir sebentar untuk menitipkan oleh-oleh untuk bapaknya. Bahkan Rara kembali tertarik untuk ikut menjenguk, tetapi Hayi larang karena situasinya sedang tidak bagus.

Sampai di rumah sakit, Hayi langsung menuju ruang rawat bapaknya. Di ruang rawat kelas dua itu berisi empat ranjang yang tersusun dalam dua baris, tetapi hanya terisi dua ranjang saja, dan ranjang bapaknya terletak di seberang pintu. Ada ibunya yang sedang duduk di samping ranjang bapaknya itu.

"Hayi!"

Cukup terkejut saat tiba-tiba ibunya langsung berhambur memeluknya. Hayi cuma berdiri diam di tempatnya, tak berminat membalas pelukan itu.

"Kamu kenapa nggak pulang ke rumah?" tanya ibunya setelah melepaskan pelukan.

Hayi tetap tak menjawab. Ia masih belum dapat petunjuk kenapa ibunya tiba-tiba memeluk. Akan tetapi, jika dari pertanyaan barusan, apakah ibunya sedang mengkhawatirkannya? Sebab, terakhir ia bertemu ibunya memang saat dirinya berseteru dengan Hadi beberapa hari lalu, pun waktu itu ibunya hanya sempat melihat sekilas sebelum dirinya memutuskan menghindar. Namun, tetap saja Hayi tak mengucapkan apapun. Pandangannya kemudian menyorot ke arah bapaknya yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Pria paruh baya itu tampak begitu lemah dengan wajah pucat.

"Bapak baru abis minum obat, sekarang lagi tidur," ujar ibunya, dengan tangan yang masih bertengger di pundak Hayi. "Besok Bapak udah bisa pulang."

"Kenapa nggak cuci darah?" Hayi tak ingin banyak basa-basi, sehingga langsung frontal saja ia tanyakan.

Ibunya kemudian menurunkan tangan dari pundak Hayi dan menoleh ke arah bapak sambil menghela napas. "Bapak sendiri yang nggak mau," jawab ibu.

"Terus nggak Ibu cegah? Kak Hadi juga nurut aja?"

Kini ibunya terdiam.

"Penyakit Bapak ini nggak main-main, loh, Bu."

"Kakak Di udah nyuruh Bapak, tapi Bapak tetep nggak mau."

"Itu karena Kak Hadi nggak maksa. Soalnya dia nggak punya uang, kan? Karena Bapak nolak juga karena mikirin biayanya," sela Hayi.

Tentu saja Hayi benar. Terbukti dari ibunya yang tak menyanggah atau menanggapi perkataannya itu. Ia tahu keluarganya sedang jatuh miskin. Di samping itu, pengeluaran keluarganya juga selalu banyak. Uang menjadi hal yang krusial dalam keluarganya untuk saat ini. Namun, menurutnya penyakit bapaknya ini jauh lebih krusial. Ia benar-benar heran kenapa mereka masih begitu perhitungan untuk mengeluarkan uang.

"Hafi mana?" tanya Hayi. Ia mendapat kabar dari adiknya itu yang membuatnya berada di sini sekarang, tetapi bocah itu malah tak terlihat di sini.

"Adek tadi sempet mampir abis pulang sekolah, sekarang udah pulang," jawab ibu.

Tepat setelah itu, pintu ruangan terbuka dan memunculkan Hadi dari baliknya. Hayi melirik pria itu sekilas, lalu beralih menyibukkan diri dengan ponselnya. Ia masih enggan berinteraksi dengan kakaknya itu. Emosinya selalu membuncah di dalam tiap kali mengingat namanya. Ia takut tak bisa mengendalikan nada atau ucapan jika memaksakan diri untuk bicara dengan orang itu.

Dari lirikannya, Hayi dapat tahu Hadi tengah memberikan sebuah tas cangking pada ibunya. Sepertinya itu pakaian ganti untuk ibu. Kemudian si sulung itu mengambil duduk di sebelah ranjang bapak dan menanyakan keadaan bapak pada ibu. Hingga saat ini, kakaknya itu masih tak melontarkan ucapan apapun padanya. Berarti dugaan Hayi benar, kalau Hadi juga masih enggan bicara dengannya.

"Aku udah transfer," cetus Hayi tiba-tiba, membuat ibunya dan Hadi menoleh. "Terserah mau dipake buat cuci darah atau enggak. Seenggaknya aku udah nunjukin kalo aku masih peduli sama keluarga ini."

Carpe diem that is hard to findTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang