Hari itu adalah hari pertama Rahul pindah ke SMA Harapan. Dengan tas ransel hitam di punggung dan wajah sedikit tegang, Rahul berjalan memasuki gerbang sekolah. Perpindahan sekolah di tengah semester bukanlah sesuatu yang mudah, terutama karena Rahul harus meninggalkan teman-teman lamanya di sekolah sebelumnya. Meski begitu, Rahul mencoba menenangkan dirinya. Ini adalah awal baru, pikirnya.
Ketika bel pertama berbunyi, Rahul segera menuju kelas barunya, XI IPA 2. Di dalam kelas, suasananya tampak ramai, siswa-siswa sedang mengobrol atau mempersiapkan buku pelajaran. Rahul sedikit gugup, tapi tetap mencoba terlihat santai saat memperkenalkan dirinya di depan kelas. “Nama saya Rahul, baru pindah ke sini. Mohon bantuannya,” katanya sambil tersenyum tipis.
Setelah perkenalan singkat itu, ia duduk di bangku yang masih kosong, agak di belakang. Di sebelahnya, ada seorang siswa dengan rambut berantakan yang tampak santai. Siswa itu menatap Rahul dan tersenyum lebar.
"Hei, gue Irvan. Baru pindah ya? Santai aja, bro. Nanti juga terbiasa sama sekolah ini,” ucap Irvan sambil menepuk pundak Rahul.
Obrolan ringan antara Rahul dan Irvan pun mengalir begitu saja. Irvan, dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, mulai menceritakan segala hal tentang sekolah—dari guru-guru yang menyebalkan hingga spot kantin terbaik. Tak lama setelah itu, dua orang siswa lainnya, Afix dan Hikmal, bergabung dengan mereka. Afix, yang selalu tampil rapi dengan kemeja terselip sempurna, terlihat seperti orang serius, namun begitu ia mulai berbicara, Rahul menyadari bahwa dia sama santainya dengan Irvan. Hikmal, di sisi lain, lebih pendiam, tetapi memiliki senyum yang selalu menenangkan.
Ketika jam istirahat tiba, Irvan, Afix, dan Hikmal mengajak Rahul ke kantin. "Tempat nongkrong paling enak di sekolah ini," kata Afix sambil berjalan ke arah kantin dengan penuh semangat.
Kantin SMA Harapan cukup luas, dengan berbagai kios makanan yang berjajar di sepanjang sisi. Saat mereka tiba di sana, Rahul tidak bisa menahan rasa kagumnya. "Wah, ini kantin atau pasar?" canda Rahul.
Irvan tertawa lebar. "Kantin sekolah kita emang rame terus, apalagi pas jam istirahat. Jadi, lo udah nentuin mau jajan apa? Saran gue sih coba risoles di pojokan, legendaris!"
Rahul mengangguk, ikut dalam antrean bersama teman-teman barunya. Sambil menunggu, mereka bercanda dan saling mengenal lebih dalam. Irvan bercerita tentang hobinya bermain basket, sementara Afix menunjukkan kecintaannya pada musik, terutama gitar. Hikmal, yang lebih suka membaca dan menulis, menceritakan novel yang sedang ia garap. Mendengar semuanya, Rahul merasa mulai diterima di lingkungan baru ini. Ia senang bahwa meskipun baru beberapa jam di sekolah ini, ia sudah memiliki teman yang asik.
Ketika mereka sudah mendapatkan makanan masing-masing, mereka memilih duduk di meja dekat jendela kantin. Dari tempat duduknya, Rahul bisa melihat halaman sekolah yang hijau dan segar, pemandangan yang membuatnya merasa lebih nyaman.
Tiba-tiba, seorang cewek menghampiri meja mereka dengan senyum lebar. "Irvan, Afix, Hikmal! Kalian gak bilang kalau mau nongkrong di sini?" Cewek itu adalah Jihan, teman sekelas mereka yang terkenal ramah dan ceria.
“Oh, halo, Jihan! Ini Rahul, anak baru,” kata Irvan memperkenalkan.
Jihan menatap Rahul sejenak, lalu tersenyum. "Hai, Rahul! Senang kenalan sama lo. Lo pasti bakal betah di sini, kita semua asik kok," katanya sambil melambaikan tangan ke teman-temannya yang lain. Di belakang Jihan, dua cewek lain muncul—Mitha dan Nadia. Mitha tampak fashionable, dengan gaya busana yang selalu trendi, sementara Nadia memiliki sikap tenang dan penuh perhatian. Mereka juga duduk bergabung.
Obrolan pun berlanjut dengan tawa dan canda. Jihan, Mitha, dan Nadia mulai bertanya-tanya tentang latar belakang Rahul. Meski awalnya merasa sedikit tertekan oleh banyaknya perhatian, Rahul mulai merasa nyaman. Mereka bertanya tentang sekolah lamanya, hobi, hingga hal-hal ringan seperti makanan favoritnya di kantin.
Tak lama kemudian, Ila datang dengan membawa es teh di tangannya, langsung bergabung tanpa banyak basa-basi. "Ada yang lupa ngasih tahu aku nih!" katanya setengah bercanda. Semua tertawa, suasana menjadi semakin hangat.
Dengan cepat, Rahul menyadari bahwa ini bukan sekadar grup biasa. Mereka sangat akrab dan saling mendukung. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda, tapi semua perbedaan itu malah membuat persahabatan mereka semakin kuat. Rahul mulai merasa bahwa pindah sekolah ini mungkin bukan keputusan yang buruk. Justru, ia merasa telah menemukan tempat di mana ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri.
Hari itu diakhiri dengan sebuah janji sederhana—mereka akan pulang bersama setelah sekolah selesai. Sejak saat itu, pulang bersama menjadi kebiasaan baru bagi grup mereka. Setiap kali bel sekolah berbunyi, grup "Wih, Mantap Kali!" selalu terlihat berjalan bersama, tertawa, dan menikmati setiap momen perjalanan pulang mereka.
Rahul, yang awalnya canggung dan khawatir tentang kepindahannya, kini menemukan keluarga baru di antara sahabat-sahabat barunya. Dan meski hari itu baru permulaan, Rahul tahu, ini adalah awal dari petualangan yang tak terlupakan.
---
Epilog Episode 1:
Grup "Wih, Mantap Kali!" resmi terbentuk. Rahul telah diterima dengan hangat oleh teman-teman barunya, dan momen-momen di kantin serta perjalanan pulang pertama mereka menjadi fondasi awal dari persahabatan yang kelak akan diwarnai oleh berbagai macam kisah seru, tantangan, dan tentunya petualangan yang akan mempererat hubungan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
wihhh mantap kali ya
Teen Fiction"Wih, Mantap Kali!" adalah novel yang bercerita tentang sekelompok remaja yang memiliki persahabatan erat dan penuh warna. Terdiri dari Rahul, Irvan, Afix, Hikmal, Jihan, Mitha, Nadia, dan Ila, grup ini dikenal karena kekompakan mereka dan rasa humo...