03🦁

55 2 0
                                    

Happy reading




Langit oren masuk melalui sela-sela jendela, berpendar mengenai wajah Vio yang saat ini sedang tertidur nyaman di atas brankar UKS.

Merasa terganggu, gadis itu perlahan membuka matanya kemudian duduk untuk meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit pegal.

Matanya menatap jam dinding di sudut ruangan yang telah menunjukkan pukul 17.00 sore. Artinya, sudah 1 jam berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi.

Vio bangkit menuju pintu untuk kembali ke kelas dengan tujuan mengambil tasnya yang sengaja ia sembunyikan di dalam laci. Kebiasaan sejak sekolah dasar yang ternyata memiliki sedikit manfaat karena dengan begitu, hari ini ia terselamatkan dari kegiatan membolos yang ia lakukan.

Gadis itu fokus berjalan dengan mata fokus menatap depan tanpa menoleh ke arah lain sehingga tak menyadari keberadaan Lion yang berada di pinggir lapangan, tepat di bawah pohon agar menghalau sinar matahari.

Lelaki itu tersenyum saat melihat kehadiran Vio. Ia duduk sendirian di sana selama 1 jam hanya untuk menunggu momen ini. Sebelah tangannya memegang rokok yang terbakar ujungnya, sedangkan sebelahnya lagi kini terangkat menuju luka di kepalanya yang tertutupi oleh perban, menekan kuat di sana membuat darah mengalir keluar secara perlahan.

Tak lama, sesuai perkiraannya Vio akan berjalan melewati tempatnya duduk saat ini.

"Obati luka gue."

Lion berdiri, sedikit mengejutkan Vio akan kehadirannya yang datang secara tiba-tiba.

Gadis itu mengerutkan alis melihat darah yang semakin banyak keluar dari kepala Lion. "Kepala lo berdarah."

Lion mengangguk, "Iya, sekarang obati." Tangannya menunjuk luka itu.

"Gue ngga ada obat."

Lion memutar bola mata malas. "So stupid."

Ia menarik Vio, membawanya kembali menuju UKS. Setelah itu, Lion duduk diam di atas brankar, membiarkan Vio sibuk menyiapkan hal apa saja yang dibutuhkan untuk mengobati lukanya.

Meskipun begitu, bibir lelaki itu setia menikmati rokok di tangannya. Tampak tidak merasa sakit sedikitpun dengan luka di kepalanya.

"Kulit gue sensitif, jangan pakai kapas dan kain kasa yang berbahan kasar."

"Ini lembut," ucap Vio memberitahu.

Semuanya siap, gadis itu mendekati Lion kemudian dengan perlahan membuka perban yang melilit kepala lelaki itu sehingga menunjukkan luka yang cukup besar di sana.

Vio menghela nafas. Ia akui salah, tapi jika mengingat perlakuan Lion terhadapnya, semua itu seolah lenyap.

"Kenapa bisa berdarah lagi?" tanya Vio.

"Ga usah banyak tanya, cukup obati perlahan karena kulit gue sensitif," ucap Lion membuat Vio memilih diam tanpa menjawab.

Lion tersenyum senang atas keberhasilan rencananya, dalam diam lelaki itu sedikit geli akan kebohongannya saat mengatakan bahwa ia memiliki kulit yang sensitif. Apa-apaan? Ia jadi terlihat seperti lelaki lemah yang penyakitan.

Babu to LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang