parkiran yang seru

0 0 0
                                    

Setelah pertemuan sengit di pasar malam, Ilman dan sahabat-sahabatnya berjalan meninggalkan keramaian. Namun, di balik langkah-langkah mereka yang menjauh, ada sesuatu yang terus membara dalam diri Ilman. Amarah yang ia tahan selama ini mulai merangkak keluar. Melihat teman-teman Fajar—terutama Rendi—yang terang-terangan mengejek dan merendahkannya, membuatnya merasa tidak bisa tinggal diam.

Fatih, yang selama ini paling tenang, merasakan perubahan pada Ilman. “Kamu baik-baik saja, Man?” tanyanya pelan saat mereka berjalan menuju parkiran.

“Enggak,” jawab Ilman singkat, suaranya tegas. “Aku nggak akan tinggal diam. Sudah cukup mereka main-main dengan perasaanku.”

Rizqi menatapnya dengan khawatir. “Maksudmu apa, Man? Kamu mau apa?”

Ilman berhenti berjalan, menatap teman-temannya dengan mata penuh tekad. “Aku nggak bisa biarkan mereka seenaknya saja mempermalukan kita. Ini bukan cuma soal Hikis atau Fajar lagi. Mereka sudah meremehkan kita semua.”

Rehan yang pendiam akhirnya angkat bicara, “Maksudmu kita...?”

“Benar,” potong Ilman cepat. “Kita harus hadapi mereka.”

Fatih menggeleng, mencoba membujuk Ilman agar berpikir lebih jernih. “Ini bukan cara yang benar, Ilman. Kita harus biarkan saja.”

Namun, Ilman sudah mengambil keputusan. Amarah dan ketegangan dalam dirinya menguasai segala logika. Ia sudah terlalu lama merasa terpojok dan ditindas oleh situasi ini. “Tidak, Fatih. Kali ini aku tidak akan lari. Kalau mereka ingin bermain, kita akan meladeni mereka.”

Raffa, yang biasanya paling penuh energi dan cenderung menyukai tantangan, tersenyum lebar. “Akhirnya, pertarungan yang sebenarnya! Kalau begitu, ayo kita temui mereka!”

Sahabat-sahabat Ilman saling pandang sejenak. Mereka tahu ini bisa berubah menjadi sesuatu yang besar dan berbahaya, tapi sahabat adalah sahabat. Apa pun yang terjadi, mereka akan mendukung Ilman.

Dengan langkah mantap, mereka bergerak menuju parkiran, tempat delapan orang teman Fajar berkumpul. Udara malam terasa semakin dingin, tetapi adrenalin yang mengalir dalam diri Ilman membuatnya hampir tidak merasakan apa pun selain semangat dan rasa ingin membalas penghinaan yang ia alami.

Sesampainya di parkiran, mereka menemukan kelompok Rendi dan teman-temannya berdiri di dekat motor-motor mereka. Mereka seolah-olah sedang menunggu kedatangan Ilman dan sahabat-sahabatnya. Tatapan penuh ejekan terlihat di wajah Rendi saat melihat Ilman dan keempat sahabatnya mendekat.

“Aku tahu kamu akan datang,” kata Rendi sambil tersenyum sinis. “Kamu nggak mungkin lari begitu saja. Jadi, bagaimana kalau kita selesaikan ini sekarang?”

Fatih melangkah ke depan, ingin menghentikan situasi sebelum semakin memanas. “Kita nggak perlu pertarungan konyol ini. Kita di sini untuk bersenang-senang, bukan buat ribut.”

Namun, Rendi hanya tertawa. “Terlalu terlambat untuk bicara baik-baik, bro. Kalian udah di sini, dan kami di sini. Kita lihat siapa yang lebih kuat.”

Rizqi dan Rehan berdiri tegap di samping Ilman, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Raffa melipat tangannya, senyumnya tak memudar. “Sepertinya ini bakal jadi malam yang seru,” ujarnya dengan santai.

Rendi kemudian melangkah lebih dekat ke arah Ilman, menatapnya dengan tatapan penuh tantangan. “Bagaimana kalau kita buat ini adil? Lima lawan delapan. Aku tahu kalian berempat nggak akan lari, kan?”

Ilman merasakan jantungnya berdebar cepat, tetapi bukan karena takut. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak lemah. Dia menatap Rendi dengan penuh keberanian. “Dengan senang hati.”

Rendi tersenyum puas mendengar jawaban Ilman. “Bagus. Kita lihat seberapa kuat kamu, Ilman.”

Mereka semua bersiap. Ketegangan terasa mengental di udara malam yang dingin itu. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, Ilman dan sahabat-sahabatnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Persahabatan mereka jauh lebih kuat dari sekadar jumlah orang.

Rendi memberi isyarat kepada teman-temannya, dan mereka mulai bergerak mendekat. Dari kejauhan, suara keramaian pasar malam mulai memudar. Hanya lampu-lampu parkiran yang menyala redup dan suara deru angin malam yang terdengar. Mereka berdiri berhadapan, hanya beberapa langkah memisahkan kedua kelompok itu.

Pertarungan tak terhindarkan ini adalah tentang harga diri, bukan hanya bagi Ilman, tapi juga bagi sahabat-sahabatnya yang telah berdiri di sisinya sepanjang waktu.

Tiba-tiba, tanpa aba-aba lebih lanjut, Rendi melayangkan pukulan pertamanya ke arah Ilman. Namun, Ilman dengan sigap menghindar. Gerakannya cepat, seperti refleks yang sudah terlatih. Dengan satu gerakan balik, Ilman melayangkan tinju ke arah perut Rendi, membuat lawannya terhuyung ke belakang.

“Bagus, Ilman!” sorak Raffa dengan penuh semangat, sambil menyerang salah satu teman Rendi yang mencoba melayangkan pukulan ke arahnya. Sebagai yang paling cekatan, Raffa berhasil mengelak dengan mudah dan membalas dengan tendangan ke arah kaki lawannya, membuatnya jatuh tersungkur.

Rizqi dan Rehan, meskipun lebih tenang, tidak kalah dalam hal kekuatan. Mereka bekerja sama dengan baik, saling melindungi satu sama lain sambil menghalau setiap serangan yang datang. Meskipun jumlah mereka kalah, mereka memiliki keunggulan dalam hal kerja sama tim yang solid.

Fatih, yang awalnya ragu, kini juga ikut dalam pertarungan. Dia menggunakan kecerdasannya untuk mencari celah dan mengambil langkah yang lebih taktis. Satu per satu, mereka mulai mendesak mundur kelompok Rendi.

Namun, meskipun mereka berjuang keras, delapan orang lawan itu tidak mudah ditaklukkan. Beberapa dari mereka berhasil melayangkan serangan balasan. Salah satu teman Rendi berhasil memukul Rizqi hingga terjatuh, tapi Rehan segera membantu sahabatnya itu berdiri kembali.

Ilman, yang sejak awal fokus pada Rendi, kini berada dalam pertarungan sengit. Keduanya saling beradu pukulan dan tendangan. Napas Ilman terengah-engah, tapi dia tidak mau menyerah. Setiap kali Rendi mencoba menjatuhkannya, Ilman selalu bangkit dengan semangat yang lebih besar.

Akhirnya, dengan satu gerakan cepat, Ilman berhasil memukul Rendi tepat di rahangnya, membuat lawannya terjatuh. Untuk sesaat, semua terhenti. Rendi tergeletak di tanah, terengah-engah dan terluka. Teman-temannya, yang melihat pemimpin mereka kalah, mulai mundur, sadar bahwa mereka tidak akan memenangkan pertarungan ini.

Dengan wajah berkeringat, Ilman berdiri di atas Rendi, menatapnya dengan mata penuh tekad. “Sudah cukup, Rendi. Ini bukan soal siapa yang lebih kuat. Ini soal harga diri. Aku nggak akan biarkan kamu atau teman-temanmu meremehkan kami lagi.”

Rendi hanya bisa mengangguk, terlalu lelah dan kalah untuk membalas. Teman-teman Rendi segera membantunya bangkit dan meninggalkan parkiran dengan terburu-buru, meninggalkan Ilman dan sahabat-sahabatnya di sana.

Ketika kelompok lawan sudah pergi, suasana parkiran kembali tenang. Ilman menoleh ke sahabat-sahabatnya, yang juga terlihat lelah tapi puas. “Terima kasih,” ucap Ilman pelan, merasa berterima kasih atas dukungan mereka.

Fatih menepuk punggung Ilman. “Kita semua ada di sini untukmu, bro. Jangan lupa itu.”

Raffa terkekeh sambil meregangkan tubuhnya yang pegal. “Siapa sangka malam di pasar bisa berakhir seperti ini?”

Rizqi dan Rehan mengangguk, merasa lega bahwa semuanya telah selesai. Mereka tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal fisik, tapi juga soal bagaimana Ilman menghadapi rasa sakit dan pengkhianatan masa lalu. Dan malam ini, Ilman menang—bukan hanya melawan Rendi, tapi juga melawan dirinya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

cinta di balik pertemananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang