AM 3

668 61 4
                                    

Haechan membuka kotak itu dengan tangan gemetar, seakan takut apa yang tersembunyi di dalamnya akan membawa lebih banyak kesedihan. Di dalam kotak itu, terdapat selembar kertas, beberapa foto lama, dan sebuah kotak kecil yang terbuat dari emas, tampak tua namun masih memancarkan kilauannya yang lembut.

 Di dalam kotak itu, terdapat selembar kertas, beberapa foto lama, dan sebuah kotak kecil yang terbuat dari emas, tampak tua namun masih memancarkan kilauannya yang lembut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haechan terperangah saat membuka kotak kecil tersebut. Di dalamnya terbaring sebuah kalung berliontin matahari yang berkilauan lembut, seakan mengundang sinar hangat meski malam semakin mendalam.

“Kalungnya… sangat cantik,” ucap Haechan dengan suara lirih, menatap kalung itu penuh takjub.

Dengan hati yang berat, Haechan perlahan memasangkan kalung itu di lehernya. Tiba-tiba, suara lembut Jeno terdengar. “Biar ku bantu,” katanya, meraih kalung itu dan dengan hati-hati memasangkannya di leher Haechan yang mulus, seakan kalung itu diciptakan hanya untuknya. Haechan merasa betapa cocoknya kalung itu, dan dalam sekejap, ia merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, meski rasa sakit itu tetap menggelayuti.

Jeno menatapnya dengan tatapan penuh keheranan dan kekaguman. Bahkan dalam keadaan yang kacau dan penuh duka, Haechan tetap memancarkan kecantikan yang sulit dijelaskan. Dan di situlah, tanpa disadari, hati Jeno semakin terikat padanya.

Haechan memandangi kertas yang terlipat di dalam kotak itu dan membacanya dengan mata yang mulai kabur oleh air mata. Setiap kata yang tertulis seakan mencabik-cabik hatinya.

“Maafkan ibu, Haechan. Sebenarnya, ibu bukanlah ibu kandungmu. Ibu hanya seorang pengasuh yang ditugaskan menjaga kamu sejak bayi. Namun, ibu terlalu sayang padamu, hingga ibu memisahkan kamu dari kedua orang tuamu. Ibu tahu, ibu salah. Mungkin kamu benci pada ibu, tapi percayalah, ibu sangat mencintaimu. Ibu tak ingin melihatmu bersedih. Kamu boleh membenci ibu, Haechan, tetapi kembalilah pada orang tuamu. Kalung ini, kalung yang aku beri padamu sejak bayi, adalah kunci untuk menemukan mereka. Ibu hanya tahu marga dari ayahmu, namun ibu lupa nama asli orang tuamu. Maafkan ibu, Haechan. Kalung ini akan membantumu menemui mereka. Ibu mohon, maafkan ibu.”

Haechan meremas kertas itu dengan gemetar, seolah kertas itu adalah serpihan hatinya yang hancur. Dia menatap foto bayi yang tergeletak di dalam kotak itu. Foto itu… Haechan yakin itu adalah dirinya, bayi kecil yang tampak bahagia dalam pelukan orang tua yang tidak pernah ia kenal.

“Chan, kamu baik-baik saja?” suara Jeno terdengar khawatir, memecah keheningan yang menyesakkan itu.

Haechan mengangkat kepala, air mata mulai mengalir lagi. “Pak… hati saya sakit, Pak. Setelah membaca surat dari ibu… saya… saya bukan anaknya… hati saya sakit, Pak…” isaknya, dan air mata itu pun akhirnya jatuh dengan bebas.

Jeno, yang tak mampu lagi menahan perasaan, segera menarik Haechan ke dalam pelukannya. “Aku bingung, Pak,” lirih Haechan, suaranya hampir tak terdengar.

Dengan penuh kasih, Jeno mengelus punggung Haechan yang terisak. “Jangan khawatir, Haechan. Saya akan membantumu mencari orang tuamu. Kamu tidak sendirian.”

Haechan mengangguk pelan, merasa sedikit lega meski rasa sakitnya belum juga sirna. Dalam dekapan Jeno, ia merasa ada secercah harapan yang kembali tumbuh.

Setelah beberapa saat, mereka bertiga berpamitan. Jeno sebenarnya tidak ingin pergi, tetapi karena ibunya yang menunggu di rumah, dan ayahnya sedang dinas di luar kota, Jeno merasa harus pulang, meskipun hatinya berat meninggalkan Haechan yang sedang berduka.

Sepeninggalan mereka, Haechan merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya yang sepi. Dalam kesunyian malam, pikirannya berkelana, kebingungannya semakin dalam. Ia terlelap, tetapi mimpi buruk pun menyertai tidurnya. Keesokan harinya, ia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor. Jeno mengizinkannya untuk libur sejenak, memberi ruang untuk berduka. Namun, di kampus, Haechan tetap merasa kosong. Pikirannya kacau, dan ia tidak bisa fokus. Setelah kelas selesai, saat hendak pulang, sebuah mobil melaju kencang dan hampir menabraknya. Beruntung, ada seorang pria yang menyelamatkannya tepat waktu.

Haechan terduduk di trotoar, masih terkejut. Pria itu menatapnya dengan perhatian, suara tegas namun lembut menyapa, “Nak, hati-hati. Kamu kenapa?”

Sambil tersenyum tipis, Haechan menerima sebotol air mineral yang disodorkan kepadanya oleh seorang pria dengan wajah tampan yang terlihat seperti wanita cantik. “Terima kasih telah menyelamatkan saya,” ucap Haechan, suaranya masih sedikit gemetar. “Saya permisi,” ia membungkuk, lalu melangkah pergi.

Pria itu melihatnya pergi, lalu berbisik pada temannya, “Tae, dia seperti Chanie kita.”

Tae yang berdiri di sampingnya hanya tersenyum lembut. “Dia hanya mirip saja, sayang. Ayo kita pulang.”

Haechan kembali ke rumah, duduk termenung di sofa. Ia mengangkat kedua kakinya, menekuknya, dan melamun. Dalam kesendiriannya, ia merasa begitu kosong. Hidupnya kini terasa seperti puing-puing yang berserakan, tak tahu harus bagaimana lagi.

 Hidupnya kini terasa seperti puing-puing yang berserakan, tak tahu harus bagaimana lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di kantor, waktu makan siang tiba. Semua karyawan diberi waktu istirahat satu jam, dan Renjun memutuskan untuk mengunjungi rumah Haechan. Entah mengapa, Haechan terus terbayang dalam pikirannya. Ada rasa cemas yang tak bisa ia ungkapkan.

Ketika ia sampai di depan pintu rumah Haechan, ia membuka pintu dengan hati-hati. Ceklek.

“Chan? Udah pulang?” panggil Renjun, suara cemasnya memecah keheningan.

“YAAMPUN, HAECHAN!!” pekiknya, terkejut melihat Haechan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

BERSAMBUNG...

Anak Magang  (nohyuck)✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang