Haechan melepaskan pelukannya, memandang Jeno dengan mata yang masih kabur oleh air mata. “Maafkan saya, sudah lancang kepada Bapak,” ucapnya, suara gemetar.
Jeno tersenyum lembut, menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, Haechan.”
Tak lama setelah itu, seorang dokter keluar dari ruang perawatan ibunya. Haechan segera mendekat, hatinya berdebar tak karuan. “Dokter, bagaimana keadaan ibu saya?” tanyanya dengan suara penuh harap.
“Ibu Anda mengalami pendarahan otak yang cukup parah. Masa pemulihannya akan memakan waktu yang tidak sedikit,” jawab dokter itu, dengan nada penuh keprihatinan.
“Tolong selamatkan ibu saya, Dok. Saya akan bayar berapapun itu, asalkan ibu saya selamat,” desak Haechan, suara penuh emosi.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan ibu Anda. Mohon bersabar,” jawab sang dokter, lalu berlalu.
Haechan kembali duduk, tubuhnya terasa begitu lelah. “Ibu, aku mohon… jangan pergi, Ibu. Haechan tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu,” isaknya, air matanya mengalir deras tanpa henti.
Jeno, yang sudah cukup lama berada di sana, merasakan beban berat di hatinya. Rasanya, setiap langkah untuk pergi terasa begitu sulit. Dengan suara lembut, ia bertanya, “Haechan, kamu sudah makan?”
Haechan menggelengkan kepala pelan.
“Makanlah. Ayo, kita pergi ke kantin rumah sakit,” ajak Jeno, sambil meraih tangan Haechan dengan lembut.
Namun Haechan kembali menggelengkan kepala. “Kamu harus makan agar tidak sakit, Haechan. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menemani ibu?” bujuk Jeno dengan penuh perhatian.
“Tidak lucu, kan, kalau kamu menunggu orang sakit tapi kamu sendiri jatuh sakit?” lanjutnya, tersenyum tipis. “Ayo, kita makan bersama. Makanan ringan saja, ya?”
Akhirnya, Haechan mengangguk pelan. Jeno menariknya menuju kantin rumah sakit. Sambil makan dengan sangat pelan, Haechan terlihat begitu jauh dari kenyataan, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.
“Saya yakin ibu kamu pasti sembuh,” ucap Jeno, mencoba memberikan sedikit harapan.
Haechan tersenyum tipis, “Terima kasih, Pak, atas doa dan harapan Anda. Ibu adalah satu-satunya yang saya miliki. Kalau ibu pergi, saya tidak tahu harus hidup untuk siapa lagi. Ibu adalah alasan saya untuk terus berusaha.”
Jeno menatapnya dengan lembut, “Masih ada saya, Haechan. Jangan ragu untuk merepotkan saya. Saya akan selalu ada untuk membantu kamu.”
Setelah makan siang selesai, mereka berdua kembali berjalan di lorong rumah sakit. Ratusan langkah terasa begitu sunyi di tengah kesibukan para suster dan dokter yang berlalu-lalang. Banyak dari mereka yang berlarian menuju ruang perawatan.
Haechan mendekati ruang ibunya dengan perasaan campur aduk. Dia memandangi tubuh ibunya dari balik kaca jendela, hatinya terasa begitu hampa. Tak lama setelah itu, dokter keluar dengan wajah yang menunjukkan kelelahan.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” tanya Haechan, suara bergetar.
Dokter itu menarik napas panjang sebelum mengucapkan kalimat yang seolah membuat dunia Haechan berhenti sejenak. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Ibu Anda telah meninggal dunia. Kami turut berduka cita.”
Deg!
Jantung Haechan seakan berhenti berdetak. “Tidak, Dok! Pasti ada kesalahan! Dokter, tolong jangan katakan itu,” serunya, mencoba memercayai bahwa semuanya hanyalah kebohongan.
“Maaf,” dokter itu mengulangi dengan suara lembut, tak mampu mengubah kenyataan.
Dengan langkah yang terhuyung, Haechan melangkah masuk ke kamar ibunya. Di sana, ia melihat tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku, pucat, dan dingin. “Ibu… hiks… ibu, bangunlah, Ibu. Haechan mohon, jangan pergi… hiks… Ibu…” tangisnya pecah.
Jeno mendekat dengan hati yang pedih. Ia menenangkan Haechan dengan pelukan erat. “Sstt, Haechan… sudah, tenanglah. Saya turut berduka cita,” ucapnya, suara berat penuh simpati.
Haechan terus menangis hingga akhirnya jatuh pingsan, kelelahan dan kehilangan yang begitu dalam. Jeno segera menggendongnya, membawanya ke ruang perawatan untuk mendapatkan penanganan.
Pada malam hari, ketika pemakaman ibunya akan dilaksanakan, Renjun dan Jaemin tiba di rumah duka.
Di ruang pemakaman, Haechan mengenakan pakaian serba hitam. Matanya terus menatap foto ibunya yang terpasang di samping peti, tanpa henti, seolah tak percaya bahwa ibunya sudah tiada.
Renjun dan Jaemin memberikan penghormatan terakhir. Renjun kemudian memeluk Haechan erat, membiarkan sahabatnya itu menangis dalam pelukannya.
“Njun, ibu sudah tidak ada… Apa yang harus saya lakukan sekarang? Kalau ibu pergi, saya… saya sudah tidak punya tujuan hidup lagi,” isaknya, suara penuh kesedihan.
“Chan, tenanglah. Kamu harus tetap hidup dan berusaha. Masih ada saya yang akan selalu mendukungmu. Jangan ragu untuk mengandalkan saya, Haechan. Aku akan selalu ada untukmu,” ucap Renjun, dengan suara penuh pengertian.
Di luar, Jeno sedang berbicara dengan Jaemin. Dengan langkah cepat, ia menarik Jaemin keluar dari rumah duka.
Setelah pemakaman selesai, Haechan kembali ke apartemennya bersama Renjun. Di sana, ia mulai membereskan pakaian-pakaian ibunya, barang-barang yang akan disimpan di suatu tempat yang aman.
“Lo nggak pulang, Njun?” tanya Haechan, suara lemah.
“Gue nggak akan pulang dulu, nanti aja. Gue sudah izin kok,” jawab Renjun dengan lembut.
Haechan mengangkat beberapa kotak besar berisi barang-barang ibunya. Tiba-tiba, ada ketukan di pintu.
Tok, tok, tok.
“Njun, bukain pintunya,” terdengar suara dari luar.
Renjun segera berjalan ke pintu, membuka dengan sopan. “Siapa ini?”
Begitu melihat siapa yang datang, Renjun segera membungkuk hormat. “Silakan masuk, Pak.”
Haechan yang masih sibuk mengurus barang-barang ibunya, menundukkan kepala dan hampir menangis lagi. Ia menemukan foto lama keluarganya, foto pertama kali ia duduk di bangku sekolah dasar, bersama ayah dan ibu yang masih utuh. “Ayah, Ibu… kalian sudah tidak merasakan sakit lagi,” gumamnya dengan suara tertahan.
Tiba-tiba, Haechan teringat sesuatu. Sesuatu yang diberi seseorang di pemakaman tadi—barang milik ibunya setelah kecelakaan. Ia membuka tas ibu dan menemukan ponsel serta uang yang akan digunakan untuk membeli belanjaan. Ada selembar kertas kecil di dalam tas, yang ditulis dengan rapi: “Barang milik Haechan kecil ada di bawah ranjang.”
Tanpa berpikir panjang, Haechan segera mengambil barang yang dimaksud.
“Haechan?” panggil Jeno dari pintu, membuat Haechan terkejut.
Haechan menoleh dan membungkuk, “Pak Jeno…”
“Kamu lagi ngapain di bawah ranjang?” tanya Jeno dengan penuh rasa ingin tahu.
“Mau ambil sesuatu, Pak,” jawab Haechan pelan.
Jeno jongkok dan melihat ke bawah ranjang. Ia menemukan sebuah kotak usang, tidak terlalu besar, dengan tulisan Haechan di atasnya. Kotak itu seakan menyimpan cerita-cerita lama yang terlupakan.
BERSAMBUNG...

KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Magang (nohyuck)✔✔
Fiksi PenggemarLee Haechan, mahasiswa magang, tidak menyadari bahwa CEO Seo Jeno jatuh cinta pada nya. Apakah Haechan akan menemukan cinta sejati? Nohyuck area Jeno Top Haechan Bot REAL KHAYALAN SENDIRI NO COPY KARYA ORANG 🚫🚫 KALAU COPY SAMA NGGA GUNA PUNYA OTAK