AM 7

544 47 2
                                    

Acara makan malam selesai.

Di rumah barunya yang mewah, Haechan merasa canggung, ada rasa aneh yang menggelayuti hatinya. Ia berdiri di balkon kamar, memandangi malam yang perlahan merayap, ingin sekali kembali ke apartemen kecil yang telah menjadi rumahnya lebih dari dua belas tahun. Di tempat itu, ia merasa lebih bebas, lebih hidup.

Saat turun, ia melihat kedua orang tuanya di ruang tamu, tenggelam dalam tawa yang mengalir dari televisi.

“Mae, Daddy, aku pergi sebentar,” pamit Haechan, suaranya halus dan penuh rasa sayang.

“Kemana, sayang?” tanya Ten, dengan tatapan penuh kehangatan.

“Mengambil barang, hanya sebentar kok, Mae,” jawab Haechan singkat.

“Yaudah, hati-hati ya nak,” ucap Ten, memberikan restu yang lembut.

"Iya," balas Haechan, lalu melangkah keluar dari mansion itu, meninggalkan kehangatan keluarga untuk sejenak, menikmati ketenangan yang hanya bisa ia rasakan sendiri.

Sebelum melanjutkan perjalanan menuju apartemennya, Haechan melirik sebuah toko bunga yang masih terbuka, meskipun malam semakin larut.

"Tumben masih buka," gumamnya, sedikit terkejut, namun langkahnya terhenti.

Begitu melangkah masuk, pemilik toko, yang juga teman lama Haechan, menyambutnya dengan senyum ramah.

"Eh, Haechan, ku kira siapa... mau cari bunga?" tanya pemilik toko dengan nada ceria.

“Ngga, cuman mau mampir aja. Gimana kabar adik lu? Sudah dioperasi?” tanya Haechan, mengingatkan pada percakapan mereka sebelumnya.

“berkat bantuan lu, adik gue bisa dioperasi,” jawab teman Haechan dengan penuh syukur.

"Bukan gue juga, kan, lo juga yang berusaha keras. Gue cuma bantu sedikit. Sisanya kerja keras lo," jawab Haechan dengan rendah hati, senyum tipis mengembang di wajahnya.

“Hehe, gue tinggal beresin sebentar ya,” kata temannya, beranjak mengurus toko bunga yang akan segera tutup.

“Eh, iya, gue juga mau pamit. Keburu larut.”

“Oh, ya ya, hati-hati ya.”

"Oke!" jawab Haechan sebelum melangkah pergi, meninggalkan toko bunga itu dan melanjutkan perjalanan kembali menuju apartemennya.

Setibanya di sana, Haechan mengambil beberapa barang penting yang sangat ia butuhkan. Ia berencana untuk merenovasi unit apartemennya—tempat ini akan menjadi pelarian ketika lelah, saat ia membutuhkan ketenangan dari dunia yang sering kali mengujinya.

Perjalanan pulangnya cukup sepi, dan tak sengaja Haechan bertemu dengan Jeno yang sedang menunggu ibunya berbelanja.

"Mommy lama banget," keluh Jeno, tampak kesal karena sudah menunggu lebih dari satu jam.

"Pak Jeno," sapa Haechan dengan sopan, senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Eh, Chan! Santai aja, ini kan diluar kantor," jawab Jeno, mencoba menenangkan diri.

“Hehe, iya, lagi nunggu siapa?” tanya Haechan, penasaran.

“Nunggu mommy belanja, lama banget,” jawab Jeno dengan wajah sedikit masam.

"Ooh, kamu sendiri?" tanya Jeno.

"Dari apartemen, ambil barang."

“Oiya...” kata Jeno, sebelum matanya tertumbuk pada kalung berbentuk bulan sabit yang terjatuh dari leher Haechan. "Milik kamu kan?"

“Hah? Oh iya! Pantes aku cari ke sana kemari nggak ketemu. Makasih, Chan!” jawab Jeno dengan lega.

“Iya, sama-sama,” balas Haechan, senyumannya semakin lebar.

Namun, saat Jeno sedang memasangkan kalung itu di lehernya, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Sebuah sepeda melaju cepat, dan tanpa sengaja, Jeno menarik tubuh Haechan ke dalam pelukannya, menghindari kecelakaan yang hampir terjadi.

Keduanya terdiam, wajah mereka begitu dekat, dan jantung Haechan berdegup kencang.

“Eh, maaf,” ucap Haechan, melepas pelukan itu dengan cepat, namun kalung mereka tetap terhubung, seolah ada magnet yang menarik mereka berdua. Haechan merasa canggung, berusaha melepaskan kalung itu.

Pada saat yang sama, ibu Jeno baru saja selesai berbelanja dan menghampiri mereka.

“Tante,” sapa Haechan dengan sopan, sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat.

“Hai, kamu pasti Haechan, kan?” tanya ibu Jeno dengan senyum ramah.

"Iya, saya Haechan. Kok tahu?"

"Iya, soalnya Jeno sering cerita tentang kamu ke mommy."

"Hehe, iya," jawab Haechan, sedikit malu.

"Kamu manis banget, sayang. Mommy dari dulu pengen banget ketemu kamu. Ternyata kamu manis, sopan, baik, dan cantik lagi!" ucap ibu Jeno dengan nada memuji.

“Makasih, Tante. Tante juga cantik kok,” jawab Haechan, senyum cerah menghiasi wajahnya.

"Panggil mom aja, Haechan. Mau nggak main ke rumah mommy?" tawar ibu Jeno, mengundang.

"Lain kali aja, Tan… eh, Mom. Soalnya Echan buru-buru, takut larut," jawab Haechan, menolak dengan sopan.

"Yah, nggak bisa ya. Ya sudah, lain kali aja. Kamu janji ya datang ke rumah!"

“Iya, Echan janji. Yaudah, Echan pamit dulu, Mom, Pak Jeno,” ucap Haechan sambil membungkuk, lalu melangkah pergi meninggalkan mereka.

"Jeno, dia sopan banget. Mommy suka, nih, lampu hijau buat kamu," kata sang ibu dengan senyum nakal.

"Bener kan apa kata Jeno? Dia baik aslinya. Makanya, Jeno cinta mati sama dia, Mom," jawab Jeno, dengan senyum penuh arti.

"Pinter banget anak mommy, cari calon menantu," puji ibu Jeno dengan bangga.

Bersambung...


Anak Magang  (nohyuck)✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang