-0-

21 13 0
                                    

Malam itu hujan turun deras. Angin bertiup kencang, mengguncang daun-daun pepohonan di luar jendela kamar Anya. Petir sesekali menyambar, seolah ikut mengiringi badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Di dalam kamar sempit itu, Anya duduk memeluk lutut di atas tempat tidurnya, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Ponselnya tergenggam erat di tangan, layar masih menyala menampilkan panggilan yang baru saja berakhir panggilan terakhir dengan Baskara.

"Apa maksudmu, Mas?! Aku udah kasih seluruh hidupku buat kamu! Setega itu ninggalin aku?!" Anya menangis sesenggukan, mencoba menahan getaran di suaranya, tapi sia-sia. Air matanya mengalir makin deras, tak terbendung. Dadanya sesak, hatinya seakan remuk berkeping-keping, seolah dunia yang dia kenal runtuh begitu saja.

Baskara, cowok yang dulu jadi tempatnya bersandar, kini berubah jadi orang asing. Cowok yang selalu dia yakini sebagai rumah, malah pergi ninggalin dia di tengah-tengah kegelapan. Setiap janji yang pernah mereka ucapkan, setiap momen kebersamaan yang dulu terasa begitu hangat, kini hilang tanpa bekas.

Di ujung telepon, Baskara mendesah panjang. Bukan karena iba, tapi lebih karena frustasi. "Mas juga jadi kayak gini gara-gara kamu, Dek. Kamu tuh egois, ngerti nggak? Kamu nggak pernah mikirin apa yang mas lakuin buat kamu. Mas capek, Dek. Capek sama sikap kamu yang selalu seenaknya sendiri." Suaranya datar tapi dingin menusuk seperti es yang membekukan hati Anya.

Anya mencoba menahan tangis, tapi tiap kata Baskara justru menambah beban di dadanya. "Mas... Aku nggak pernah bermaksud kayak gitu ..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan.

Tapi Baskara tak peduli. "Kamu tau nggak? Mas udah lakuin segalanya buat kamu, tapi kamu nggak pernah ngerti. Kamu maunya apa, sih?" Nada suaranya semakin tajam, penuh dengan kekecewaan. "Mas udah kasih semuanya buat kamu. Waktu, tenaga, bahkan uang! Tapi kamu kasih apa buat mas, hah?"

Anya mendongak, matanya yang bengkak dan merah menatap kosong ke layar ponsel. "Kamu lupa, Mas?" suaranya bergetar, mencoba mempertahankan ketenangan meski air matanya terus jatuh. "Aku tau, kamu udah keluarin uang tiap bulan buat ketemu aku. Tapi pengorbanan kamu itu nggak sebanding sama kejadian itu, Mas."

Baskara tertawa kecil, tawa getir penuh sarkasme. "Pengorbanan? Apa yang lebih besar dari apa yang udah mas lakukan, Dek? Mas selalu ada buat kamu, selalu datang setiap kali kamu butuh! Kamu cuma lihat apa yang mas gak kasih, tapi nggak pernah liat semua yang mas udah korbankan buat kamu."

"Mas kira aku nggak ngorbanin apa-apa?" Anya membalas, suaranya mulai terdengar marah, meski napasnya masih terisak. "Aku udah kasih semuanya, Mas. Bahkan harga diriku! Aku nurut sama kamu, aku selalu ada buat kamu, aku ngorbanin segalanya!"

Baskara terdiam sejenak. Di ujung telepon, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tapi rasa kecewa di hatinya tak juga hilang. "Tapi semua itu percuma, Dek. Kamu nggak pernah beneran ngerti mas. Kamu cuma butuh mas buat nemenin kamu pas lagi sepi. Kamu nggak pernah sayang sama mas, kan?"

Kata-kata itu menusuk jantung Anya. Napasnya tercekat, seolah udara di ruangan itu mendadak lenyap. Tapi dia nggak bisa menyangkal ada benarnya di sana. Mungkin dia memang lebih takut sendirian daripada benar-benar mencintai Baskara.

"Aku sayang sama kamu, Mas..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air mata membanjiri wajahnya lagi, mengalir tanpa henti seperti hujan di luar sana. Tapi apa gunanya kata-kata itu kalau Baskara tak lagi mempercayainya?

"Nggak, Dek." Suara Baskara terdengar dingin, seolah tak ada lagi perasaan tersisa di sana. "Kamu cuma nggak mau sendirian. Kamu nggak cinta sama mas, kamu cuma takut nggak punya tempat buat lari."

Anya menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan isakan yang makin kuat. Rasa sakit di hatinya tak tertahankan. Kenapa Baskara bisa segitu kejamnya? Bukankah mereka pernah janji buat selalu ada satu sama lain?

"Mas, jangan pergi... Aku nggak bisa tanpa kamu," Anya memohon, suaranya parau, penuh ketakutan. "Aku cuma mau kamu di sini... Cuma kamu."

Di ujung telepon, Baskara mendesah panjang. "Dek... Mas nggak bisa terus kayak gini. Kita berdua cuma bakal nyakitin satu sama lain." Suaranya mulai melembut, tapi tetap terdengar jauh dan asing. "Mas harus pergi, Dek. Bukan karena mas nggak sayang, tapi karena ini yang terbaik buat kita."

"Jangan, Mas..." Anya berbisik lemah, tapi suara itu tak cukup kuat buat menahan kepergian Baskara. Satu klik, dan sambungan telepon pun terputus.

Anya menatap layar ponselnya dengan kosong. Seakan seluruh dunia runtuh tepat di atasnya. Rasanya berat, terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Tapi kali ini, dia memang harus sendirian tanpa Baskara di sisinya.

Hujan di luar sana masih belum reda, sama seperti badai yang kini mengamuk di hatinya.

JANGAN LUPA DI VOTE YA GAIS!
ARIGATO💗

Semua Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang