⚖️⚖️⚖️
Semalam, setelah Kak Julian mengurus administrasi dan izin pulang untuk Oma, dia memutuskan tidur di mobilnya. Yups, di parkiran. Katanya, kalau pulang ke rumah sepertinya dia belum siap bertemu keluarga besarnya. Itu pun aku harus ikut nanti untuk bertemu keluarganya dan menjelaskan semuanya bersama Kak Julian. Ish, malas sekali, respon mamanya saja tadi malam seperti Nenek Lampir begitu.
Aku juga sudah menceritakan kejadian kemarin pada Bi Lilis, meski sepertinya dia sedikit kecewa. "Non, masa depan Non Jeje itu masih panjang, kenapa cepat sekali mengambil keputusan, sih, Non?" Begitulah kira-kira kekecewaan yang Bi Lilis utarakan. Mau bagaimana lagi, kalau bukan karena kesepakatan yang dijanjikan Kak Julian, aku juga tidak akan mau menikah dengannya.
Hari ini Oma sudah diperbolehkan pulang, tetapi nanti di jam lima sore, karena masih harus di-observasi kondisi kesehatannya. Sekarang masih jam delapan, Bi Lilis juga masih mengemasi barang-barang kami. Jangan tanya aku membantu apa di sini. Membantu lihat saja, hahaha. Itu karena Bi Lilis tidak memperbolehkan aku membantu, katanya bukannya selesai, malah akan berantakan lagi.
Aku ingin Oma dan Bi Lilis hidup normal seperti kemarin-kemarin. Uang lima juta tidak akan cukup untuk semua keperluan yang mendesak ini. Dengan menikah dengan Kak Julian, setidaknya masalah ini bisa sedikit ringan. Ya, meskipun aku tahu nanti akan banyak masalah ke depannya.
Nanti jika Oma sembuh, aku akan ceritakan semuanya.
Omong-omong, Kak Julian sudah bangun belum, ya? Daripada aku bertanya-tanya, lebih baik aku susul ke sana. Namun, baru juga sampai di depan pintu, aku sudah bertemu dengan Eja yang membawa beberapa kotak makanan. Eh, pagi sekali dia ke sininya, mana membawa sarapan lagi Kan, jadi enak saya!
"Eh, Ja? Pagi amat lo ke sininya," sapaku pada Eja, sebagai formalitas saja, aku padahal paham tujuannya datang pagi ini adalah memberikan aku sarapan.
Eja menggaruk tengkuknya yang entah gatal atau tidak. "Hehe ... iya, nih, mau sarapan bareng?" tawar Eja sembari mengangkat tiga kotak nasi yang baru saja dia bawa.
Dengan semangat aku mengangguk. "Tapi lo ke dalem dulu, gih, sama Bi Lilis, gue mau nyusul Kak Julian dulu, sambil nanya gimana nanti ngurus kepulangan Oma, pasti ada beberapa berkas yang gue ngga tahu."
"Gue ikut!" Eja segera berteriak dan membuatku terkejut. "Bentar," lanjutnya lalu berlari ke dalam. Aku pun bingung kenapa tingkahnya makin lama makin aneh. Ternyata Eja menaruh kotak nasi tadi di meja. Dia juga sempat-sempatnya menyapa Bi Lilis, meski hanya sebentar dan segera berlari lagi dan berdiri di sampingku.
"Lo kenapa, deh? Salah minum obat lo?" tanyaku keheranan. Ia malah tertawa kikuk yang masih aku tidak tahu sebenarnya Eja kenapa.
"Hehehe, nggak, kok. Yuk."
Aku yang tak mau bertanya-tanya dengan sikap aneh Eja, akhirnya ikut Eja. Kami berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang baru saja dibuka ini. "Ja, lo kemarin kenapa pulang duluan? Sialan lo nggak nungguin gue!" kesalku pada Eja. Baim pun begitu, ikut dengan Eja yang tiba-tiba pergi saat Ijab kabul baru selesai diucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung Rasa [ON GOING]
Teen Fiction[STORY 11] [GENRE: ROMANCE ] Blurb: Jennifer harus menggantikan posisi calon istri seorang pengacara yang kabur saat hari pernikahan. Awalnya Jennifer menolak, karena di usianya yang masih sembilan belas tahun, ia pikir terlalu cepat untuk sebuah pe...