⚖️ 7. Restu

39 17 0
                                    

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚖️⚖️⚖️

Acara baru selesai pukul tujuh malam. Kakiku rasanya pegal, hampir seharian menyalami para tamu yang banyak itu. Mungkin itu rekan kerja Kak Julian dan papanya. Maklum, papanya pengusaha terkenal juga.

Sekarang para tamu sudah tak ada, gedung sudah sepi, hanya tersisa keluarga Nanad dan Kak Julian saja. "Je, ketemu mama Kakak dulu, ya," ucap Kak Julian. Haduh, padahal aku tadi ingin langsung pulang ke rumah sakit, Bi Lilis pasti sudah mencari-cariku seharian tak ada kabar. Malah aku diam-diam menikah tanpa sepengetahuan Oma dan Bi Lilis.

Aku mengikuti Kak Julian yang memasuki lift itu. Kami hanya berdua di sini. "Je, makasih, ya, udah nolongin Kakak," ucap Kak Julian setelah sedari tadi kami saling diam di dalam sini.

"Yoi, Kak. Santai aja, jangan lupa tepatin janji Kakak," jawabku dengan santai. Hanya mengingatkan agar Kak Julian tidak lari dari janjinya. Namun, aku tahu Kak Julian tidak akan seperti itu. Dia itu tipe laki-laki yang bertanggung jawab, tetapi dia bukan tipeku.

Lift terbuka, kami lalu keluar. Lagi-lagi aku hanya bisa mengikuti Kak Julian karena tidak tahu letak ruangannya. Di sini ada banyak sekali ruangan. Setelah berjalan cukup lama mencari ruangan tersebut, Kak Julian berhenti di salah satu ruangan. Dia mengetuk pintu ruangan itu terlebih dulu. Tak ada jawaban dari dalam, padahal Kak Julian sudah mengetuk pintu tersebut cukup lama.

Akhirnya, Kak Julian pun membuka pintu itu lalu masuk ke dalam. Di dalam ada seorang wanita yang memakai kebaya berwarna cream, persis seperti yang dipakai oleh keluarga Kak Julian tadi. "Ma ...." Kak Julian memanggil wanita itu, tetapi wanita yang dia panggil hanya berdiri membelakangi kami. Ia berdiri menghadap sebuah jendela yang besar yang memperlihatkan gemerlap lampu-lampu kota.

"Kenapa Jesseline pergi, Nak?" Kini mamanya Kak Julian itu bersuara, lebih ke bertanya di mana calon menantu yang ia sayangi itu. Orangnya udah pergi, buk! Bunting sama orang lain!

"Ma ... ini ada Jeje, istri Julian." Kak Julian lirih berucap pada mamanya. Wanita itu kini berbalik badan, ia mengusap air matanya.

"Siapa dia?" tanya wanita itu sembari menunjuk padaku. Huh, tidak sopan sekali, baru kenal sudah tunjuk-tunjuk begitu?!

Aku mendekat untuk berkenalan dengannya. Meski pernikahan ini hanyalah formalitas, tetap saja aku harus menghormati orang tua, karena itu yang selalu diajarkan Oma padaku. "Saya Jeje, Tante." Aku hendak bersalaman dengan mamanya Kak Julian, tetapi saat aku ingin meraih tangannya yang sama sekali tidak terangkat, aku mengurungkan niatku. Bau-bau nggak ridho kalo anaknya nikah sama aku, nih.

"Saya nggak peduli siapa kamu, dari got mana Julian memungut kamu. kenapa bisa bocah seperti ini yang kamu nikahi, hah?" Anjir, dikira tikus kali, ah!

Dia mulai histeris dan membentak Kak Julian. Waduh, gawat! Apa tadi katanya? Aku bocah? Dia tidak tahu saja aku sebentar lagi bukan bocah! Aku sebentar lagi sembilan belas tahun, itu tidak bisa disebut bocah, ya!

Penghujung Rasa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang