⚖️ 9. Keputusan Bersama

30 17 13
                                    

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚖️⚖️⚖️

"Nggak mau!" Aku segera menggeleng dengan cepat, sebelum menyetujui rencana Kak Julian barusan. Bukannya jadi ratu, yang ada aku jadi Upik Abu di sana. Tidak terbayang sebelumnya aku punya mertua kejam seperti mamanya Kak Julian. Sudah seperti Cinderella saja nanti aku yang mendapat perlakuan tidak baik.

"Loh, kenapa? Keluarga Kakak baik, kok, Je." Baik, katanya? Apa dia tidak ingat perlakuan mamanya semalam? Jelas-jelas mamanya menolakku sebagai menantunya. Setahuku, Kak Julian punya Kakak perempuan yang sudah menikah, tetapi entah kenapa kakaknya tidak datang kemarin saat pernikahan kami. Sudah tentu sikap kakaknya itu sebelas dua belas dengan mamanya.

Aku cemberut, merasa kesal dengan keputusan yang tiba-tiba diambil Kak Julian ini. "Kalo Jeje tinggal sama Oma sama Bi Lilis di apartemen emang nggak boleh, Kak?" tanyaku begitu polosnya. Bukannya kami berjanji tidak akan seperti suami-istri sungguhan?

"Bukan nggak boleh, Je, tapi papa Kakak minta kita tinggal bareng mereka beberapa hari, biar kamu juga deket dan bisa diterima Mama. Mau, ya?" Dengan tutur kata lembut itu Kak Julian membujukku.

"Kita nikah nggak sungguhan, Kak, emangnya perlu akrab sama keluarga masing-masing?" tanyaku lagi.

"Masalahnya ... papa Kakak, kan, nggak tahu kalau kita nikah atas dasar kesepakatan. Jadi, nurut aja bentar, ya, Je. Nggak lama, kok, satu minggu aja," pinta Kak Julian yang terdengar sangat memohon.

Satu minggu? Satu minggu di kandang singa, kan, maksudnya? Satu minggu yang rasanya seperti satu abad. "Ya, udah, Kak. Janji, ya, cuma seminggu?" Awas saja kalau lebih, bisa jadi tinggal tulang-belulang aku nanti.

"Iya, janji."

Ya, sudahlah, toh hanya seminggu. Sehabis itu, hidupku akan aman damai seperti sedia kala, tak ada hidup yang perlu dipusingkan lagi masalah uang. Aku bisa shoping lagi, liburan ke luar negeri, kuliah dengan nyaman, dan lain-lain. Meski sekarang tidak ada Nanad yang akan menemani nge-mall lagi. Namun, awas saja jika Kak Julian tiba-tiba ingkar janji, apalagi perjanjian kami tidak ada di dalam surat perjanjian yang sah, hanya lewat mulut.

Lama berjalan melewati koridor rumah sakit yang mulai ramai dengan para penjenguk ini, kami sampai di ruangan dokter yang menangani Oma sejak awal. Dr. Andreas Sp.N, begitulah tulisan yang ada di plang depan ruangannya. Dokter spesialis saraf yang memang sangat berpengalaman di rumah sakit ini. Waktu Oma sakit dulu, dokter Andre juga yang merawat Oma. Kak Julian memang tadi malam sudah ke sini, tetapi katanya ... kami harus kembali paginya untuk memastikan.

"Permisi, Dokter." Kak Julian mengetuk pelan pintu ruangan dokter Andre. Ternyata beliau juga masih ada di ruangannya.

"Silakan masuk," jawab dokter Andre sangat ramah. Kak Julian masuk terlebih dulu, diikuti aku yang berjalan di belakangnya. Sudah seperti bapak yang mengantarkan anaknya berobat karena batuk pilek saja.

Penghujung Rasa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang