⚖️ 3. Yang Selalu Ada

34 17 0
                                    

⚖️⚖️⚖️

Sudah dua hari aku dan Bi Lilis merawat Oma di rumah sakit. Dua hari ini juga kami sudah tidak tinggal di rumah, melainkan di rumah sakit. Tepat hari ini ... rumah, mobil, perusahaan, dan semua aset Oma disita. Aku hanya bisa mengandalkan sisa tabunganku yang masih cukup untuk membayar sisa biaya rumah sakit. Untuk tempat tinggal, uangku tidak cukup. Mungkin nanti aku akan meminta bantuan pada Nanad atau Baim saja masalah uang.

Tempo hari aku sudah janji pada Bi Lilis untuk mengikuti kemauan Oma tentang kuliah. Maka dari itu, aku sudah mendaftar di kampus negeri dan mendaftar lewat jalur beasiswa agar meringankan biaya. Sungguh, hidup seperti sekarang sangatlah sulit. Harus mengatur uang dengan sebaik-baiknya agar bisa rata. Mungkin nanti aku akan kuliah sambil kerja saja. Kerja apa pun itu, mungkin akan aku lakukan untuk Oma.

Sekarang masih jam tujuh malam dan Bi Lilis baru saja menyuapi Oma untuk makan malam. Tadi katanya Eja mau ke sini, maka dari itu aku sekarang duduk di luar ruangan. Dinding sekali di sini, sepi juga.

"Je?!" Suara Eja sudah terdengar, membuat aku menoleh ke ujung koridor. Dengan langkah cepat, Eja berjalan ke arahku.

"Lama lo!" cibirku saat Eja baru datang.

"Ini, tadi gue beli makanan dulu buat Lo sama Bi Lilis. Lo belum makan, kan?" Eja memberikan sebuah kantung plastik berisi tiga nasi bungkus.

"Ya, ampun lo baik banget. Maaf kalo gue ngerepotin." Aku menerima makanan yang Eja berikan. Mau tak mau, makanan apa saja aku santap mulai sekarang. Jika dulu aku harus makan dengan lauk ayam dan ikan, sekarang lauk tempe pun aku harus mulai suka.

"Santai aja lagi, Je. Kayak sama siapa aja."

Aku tersenyum pada Eja. Dia pengertian sekali, tahu saja kalau aku belum makan dari siang, hahaha! Edisi mengirit uang, aku dan Bi Lilis hanya makan dua kali sehari, yakni siang dan malam. "Bibi!" teriakku pelan memanggil Bi Lilis yang ada di dalam ruangan, ia sedang mengipasi Oma yang tidur agar tidak digigit nyamuk. Bi Lilis pun dengan cepat datang kemari. "Ini ada nasi bungkus dari Eja, Bi." Aku memberikan satu bungkus nasi tadi pada Bi Lilis.

"Makasih, Mas Eja. Semoga dibales berkali-kali lipat sama Tuhan, ya, Mas." Bi Lilis menerima satu bungkus nasi yang aku berikan tadi. Wajahnya terlihat semringah.

"Sama-sama, Bi," jawab Eja yang tak kalah ramah. Bi Lilis lalu masuk ke dalam, meninggalkan aku dan Eja di sini. "Kita makannya di taman rumah sakit aja gimana, Je? Ada yang pengen gue obrolin soalnya."

"Boleh, ayo." Aku kemudian berdiri, menerima ajakan Eja sembari menenteng nasi bungkus yang masih tersisa ini. Kami berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit. Sepi sekali.

Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Oma dinyatakan serangan jantung dan sekarang beliau mengalami stroke. Ini semua salahku, Oma sampai sakit-sakitan juga karena memikirkan tingkah lakuku yang amburadul selama ini. Oh, iya, aku sekarang sudah mulai mendaftar kuliah lewat jalur beasiswa. Meski nilai ujian anjlok, tetapi semoga saja aku lolos, jadi dengan begitu bisa sedikit meringankan di masalah keuangan.

Setelah kami melewati lorong rumah sakit yang sepi dan dingin, kini kami sudah sampai di taman rumah sakit. Suasana dingin menyambut kami. Aroma obat-obatan mulai tercium, sangat khas dengan rumah sakit.

Kami duduk di bangku panjang yang ada di bawah lampu taman. "Gue turut prihatin, ya, Je, sama lo dan Oma."

"Thanks, Ja. Lo emang sahabat gue yang paling pengertian."

"Hahah, iya, sahabat." Eja tertawa kikuk, yang membuatku mengernyitkan dahi. Tak mau melihatnya lebih lama, aku akhirnya membuka nasi bungkus yang Eja bawakan tadi juga membukakan satu untuknya. Ahhh ... aroma dari ayam goreng kremesnya itu sudah menusuk sekali di hidung. Akhirnya aku makan ayam, setelah kemarin-kemarin irit makan tempe dan tahu, hahahah! "Oh, iya, Je ... Nanad sama Baim belum bisa ke sini. Baim masih sibuk nyiapin berkas-berkas keperluan kuliah, kalau Nanad lagi sibuk bantu-bantu wedding kakak sepupunya. Mereka titip salam aja, katanya semoga oma lo lekas pulih."

Aku asyik makan, sampai tidak fokus ke Eja yang sedang bicara serius. "Santai aja, Ja."

"Gue minta maaf karena ucapan gue tempo hari, ya, Je. Gue sadar kalo omongan gue itu nyakitin." Tiba-tiba saja Eja mulai bicara serius, ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca itu. Sedangkan aku saja masih memikirkan ucapan mana yang ia maksud? Padahal tidak ada ucapannya yang menyakitiku sama sekali.

"Yang mana? Lo ngomong banyak soalnya, gue lupa."

"Tempo hari itu, di belakang gedung tua. Sampe lo bad mood." Aku masih berpikir sejenak. Oh ... yang itu ternyata! Iya, iya, aku baru ingat. Tentang Eja yang menyarankan agar aku mulai menata masa depan itu, kan? Menurutku ucapannya itu tidak ada yang salah, itu malah jadi sebuah dorongan untukku agar bisa berubah.

"Santai aja lagi. Btw, omongan lo itu malah bikin gue sadar, kalau gue harus kuliah dan banggain Oma. Kalau bukan gue, siapa lagi coba yang bakalan bikin Oma bangga?" ucapku sembari masih mengunyah nasi di mulut yang penuh. Alhasil, ucapanku jadi tidak jelas. Entah si Eja paham atau tidak. "Ukhuk-ukhuk ...." Nah, kan, aku malah tersedak sekarang.

"Ya, ampun, Je. Nih, minum." Eja segera memberikanku air mineral, bahkan dia memegangi botol untuk aku minum.

"Makasih, Ja." Selesai minum, aku membersihkan air yang sedikit tumpah ke bajuku.

"Lo serius, Je? Gue nggak salah denger, kan? Seorang Jennifer Yudhistira a.k.a Jeje, seorang yang pemales ini mau mulai menata hidup? Lo nggak lagi sakit, kan, Je?" Eja dengan cepat memegangi dahiku, ia sangat tidak percaya jika seorang Jeje—cewek urakan yang ada di depannya ini benar-benar ingin mengubah tatanan hidupnya. Ya, iyalah! Siapa juga yang mau hidup belangsak begini?

Untungnya sebandel-bandelnya aku, aku juga mau berubah setelah mendengar cerita Bi Lilis tadi malam.

"Ish, ya, seriuslah! Nih, asal lo tahu, ya, gue udah siapin berkas-berkas buat daftar di kampus negeri, walaupun lewat jalur beasiswa, gue ambil jurusan arsitektur dan besok pengumuman peserta yang lolos jalur beasiswa. Doain, ya, semoga gue bisa lolos." Aku hanya bisa berharap penuh dari jalur beasiswa ini. Semoga hasilnya nanti tidak mengecewakan, ya.

"Widih, nggak espect, loh, gue. Nah, gitu dong! Lo harus semangat. Apa pun hasilnya, gue yakin itu yang terbaik buat lo ke depannya, Je. Btw, apa yang bisa gue bantu buat lo, Je? Soal uang mungkin?" tanya Eja Mungkin ... untuk saat ini aku tidak terlalu butuh, sisa uangku masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari sampai Oma bisa keluar dari rumah sakit.

"Nggak usah, gue masih punya sisa tabungan." Aku menolak secara halus bantuan dari Eja. Mungkin jika mendesak, aku baru akan meminjam sejumlah uang darinya atau Nadia.

"Nanad ngundang kita ke acara nikahan kakak sepupunya besok, Je. Nanti kita berangkat bareng, ya. Sama Baim juga udah gue bilangin tadi. Nanad nyuruh kita dateng pagi buat liat akad nikah. Lo nggak bisa, kan?"

"Boleh, tuh. Jemput gue, ya. Lo tau sendiri gue sekarang udah nggak punya mobil, hahaha!"

"Santai, dandan yang cakep buat besok!"

⚖️⚖️⚖️

Penghujung Rasa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang