-twelve

2.5K 252 6
                                    

Makan malam baru saja selesai, kini saatnya berkumpul di ruang keluarga, Aaron duduk bersandar di sofa sementara Louise ada dibawahnya.

Dielusnya surai hitam legam yang nampak berbeda dengan milik keluarganya. Senyum tipis ia tampilkan. Sementara Louise terpejam karena terlalu nyaman. Apalagi ditambah Axton yang mengelus punggung tangan. Dengan Ayhner yang terlihat memotretnya diam-diam. Hingga tak lama, satu suara membuatnya membuka mata.

"Besok kau bisa mulai sekolah Louise, pendaftaranmu sudah diurus."

"Papa juga sudah membelikan keperluanmu."

"Besok akan Papa antar."

"Aku ikut!" sentakan Axton tiba-tiba terdengar, ekspresi marah nampak tercetak jelas. Axton takut, takut adiknya tak kembali walau itu adalah hal yang mustahil terjadi.

"Aku akan berangkat bersama papa, kakak cukup di rumah dan istirahat saja."

Ekspresi tak percaya Axton layangkan. Di pikirannya, mengapa adiknya tak mengerti ketakutan yang Axton rasakan.

Dengan buru-buru Axton berdiri lalu menuju ke arah kamar, membanting keras pintu hingga Louise terpersnjat di tempatnya. Aaron elus dada yang yang dilapisi baju tidur kebesaran. dapat Aaron dengar debar jantung Louise yang berdetak kencang.

"Cih, seperti wanita saja." Ayhner bergumam pelan. Sementara Aldrich yang mendengar, tersenyum dengan barisan gigi putihnya yang terlihat sedap dipandang, juga sayang untuk dilewatkan.

Aldrich berdiri, mengecup dahi juga kedua pipi milik Louise, lalu berjalan menuju kamarnya sendiri.

" Sleep well, dear. Lebih baik tidur sekarang, ingat besok kau harus bangun lebih awal."

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️

Louise sudah siap dengan seragamnya sejak pukul 05:00. Semangatnya membara, hingga waktu terasa amat lama. Louise tak sabar berangkat ke sekolah diantar oleh Papanya. Ingin merasakan kebahagiaan seperti anak-anak lainnya. Orang tua kandung Louise meninggal ketika ia masih balita. Jadi, mau tak mau James yang menjadi walinya

By the way, Axton sejak tadi malam mendiaminya. Hingga kini waktu sarapan tiba, tak ada suara yang dikeluarkannya. Hanya terdengar suara dentingan sendok keras yang Axton ciptakan. Bahkan ketika tidur tak ada rengkuhan hangat yang biasa Louise rasakan. Ia sudah mencoba membujuk Axton dengan mengajaknya bicara, namun nihil. Tak ada jawaban yang ia terima.

"Ayo papa kita berangkat!" serunya dengan semangat, empat orang lainnya di meja makan dibuat gemas ditempat.

" Let's go!, Louise."

Dikecupnya masing masing pipi kiri mereka. Sementara Axton, walaupun merajuk tetapi tetap menerimanya.Tak mungkin kan ia menolak kesempatan yang ada?

Aldrich bawakan tas abu-abu milik anak laki-laki yang kini menjadi putranya. Juga dengan tangan kecil yang yang senantiasa bertaut dengan miliknya. Hari ini rasanya amat berbeda. Euforia tak bisa ditampiknya. Rasanya sangat bahagia, setelah sekian lama ia bisa kembali mengantarkan sekolah putranya.

Di dalam mobil diisi oleh tawa, tawa Louise seolah menjadi candu baginya. Terlihat serupa dengan milik sang putra.

"Papa loves you, Casey." batin Aldrich berkata, dengan tatapan mata yang terkunci sebentar pada anak laki-laki yang duduk di kursi sampingnya. Tangan yang setia mengelus rambut legam kepunyaan Louise, juga senyum indah yang terpatri di wajah tampan nan awet muda miliknya.

" Sudah sampai."

Louise dibuat menganga di tempatnya. Lihatlah gedung sekolah elite yang akan menjadi tempat belajarnya. Sedangkan Aldrich hanya terkekeh pelan melihat reaksi yang diberikan oleh sang putra.

"Akan papa antar ke kelas." dituntunnya Louise menuju ruang kelas, hingga sampai di depan pintu, ia  sedikit berjongkok dengan tangan membenarkan rambut Louise yang sedikit berantakan.

"Papa akan menjemputmu saat pulang, jadi jangan kemana-mana sebelum papa datang." Kecupan lembut di dahi Louise rasakan, juga cubitan pelan di hidung Aldrich berikan.

"Okay, Papa." Kemudian, ciuman bertubi-tubi Louise berikan. Mulai dari dahi, kedua pipi, juga hidung mancung yang membuatnya sedikit iri. Lalu berlari masuk dengan cepat meninggalkan Aldrich yang mematung di tempat.

"Goddamn it!" Suaranya melirih. Dengan satu tangan memegang pipi kanan. Juga senyum yang mati-matian Aldrich tahan.

BARREYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang