06 • [Loser]

186 24 13
                                    

Esok harinya, Sasuke terbangun dengan perasaan yang kacau. Campuran antara rasa bersalah dan kecemasan membebaninya sejak membuka mata. Firasat tak nyaman menyelimutinya saat membayangkan harus bertemu Sakura lagi. Ada keinginan kuat dalam dirinya untuk menghindar, untuk melarikan diri dari kenyataan, seperti yang biasa ia lakukan di masa lalu.

Namun, pagi itu ada yang aneh. Ketika ia melangkah ke dapur, tempat di mana biasanya ia akan melihat Sakura dengan aktivitas paginya, dapur itu kosong. Tidak ada aroma masakan yang biasa menyambutnya, dan tidak ada Sakura. Hatinya berdegup kencang. "Ke mana Sakura?" batinnya bertanya.

Sasuke mulai merasa semakin gelisah. Sakura selalu bangun lebih pagi darinya, selalu memastikan segala sesuatunya siap di rumah. Tidak biasa baginya untuk tidak muncul di dapur. Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Sasuke melangkah menuju pintu kamar Sakura. Langkahnya ragu-ragu, berat seolah setiap langkahnya membawa beban pikiran yang tak terkatakan. Sesampainya di depan pintu, ia berdiri mematung.

"Haruskah aku mengetuk?" pikirnya. Ada ketakutan yang menahan tangannya untuk bergerak. Napasnya terasa sesak, dan ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dengan perlahan, tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu. Namun, tak ada suara yang keluar dari kamar di baliknya. Tidak ada balasan. Sunyi.

Semakin lama berdiri di sana, rasa bersalah semakin menggerogoti dirinya. "Apakah Sakura marah padaku?" pikirnya kembali pada kejadian malam itu, ketika ia tanpa sadar melanggar janji yang telah ia buat kepada dirinya sendiri. Janji untuk tidak menyentuh Sakura, janji untuk menjaga jarak. Tapi kenyataan tidak seindah yang diharapkannya, dan sekarang ia harus menanggung akibat dari keputusannya.

Sasuke akhirnya menyerah, menurunkan tangannya yang sempat terangkat. Dengan hati berat, ia berjalan menjauh dari pintu kamar itu, masih dihantui kebingungan dan rasa bersalah. Saat ia hendak melangkah lebih jauh, sebuah suara melengking memecah keheningan.

"Papa!" Suara kecil yang penuh semangat itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sasuke menoleh cepat, sedikit terkejut oleh suara yang familiar.

Di hadapannya, Sarada, putrinya yang masih kecil, berlari menghampiri dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Mata beningnya menatap Sasuke dengan kebingungan yang polos. "Kenapa Papa ada di depan kamar kak Sakura?" tanya Sarada tanpa ragu, suaranya mengandung kepolosan seorang anak yang belum memahami kerumitan dunia orang dewasa.

Sasuke terdiam, merasa seolah terpojok oleh pertanyaan sederhana yang tiba-tiba itu. Bagaimana ia bisa menjelaskan situasi ini kepada putrinya? Masalah yang terasa begitu berat di pundaknya, begitu rumit di pikirannya, tampak tak mungkin diuraikan dalam bahasa yang bisa dipahami Sarada. Ia hanya bisa menghela napas, otaknya berputar mencari jawaban yang tepat.

"Di mana Kak Sakura?" tanya Sarada lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, namun tetap menyiratkan kebingungan.

Sasuke menundukkan pandangannya, mencoba menutupi kegelisahan yang berkecamuk di dalam dirinya. Dengan nada datar dan pelan, ia menjawab, "Sakura masih di kamar."

Jawaban itu tampaknya tak memuaskan Sarada. Tatapan polos anak itu berubah, dari yang penuh rasa ingin tahu menjadi sedih dan bingung. Sasuke bisa merasakan perasaan itu, ada keraguan di mata kecil putrinya, seolah ia tahu bahwa ada sesuatu yang salah, meskipun ia tidak tahu persis apa itu.

Sasuke merasa hatinya tergerak. Tanpa berpikir panjang, ia menunduk dan mengangkat Sarada ke dalam gendongannya. Ia memeluknya erat, seolah ingin melindungi putrinya dari segala kebingungan dan rasa sakit yang mungkin bisa menyentuhnya. Sarada hanya diam dalam pelukannya, kepala kecilnya bersandar di bahu Sasuke. "Ayo, kita berangkat ke sekolah," ucapnya lembut, mencoba mengalihkan perhatian Sarada dari pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa ia jawab.

❥ Dear S | SasusakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang