"Jadi clothing brand kamu ini baru dipasarkan di marketplace aja ya? Belum ada website sendiri?" Adrian bertanya dengan antusias, ketika Vika mulai membelokkan obrolan pada pekerjaan mereka, supaya Adrian berhenti berusaha menjamah tubuhnya."Iya, Mas. Sejauh ini baru di marketplace aja sih. Soalnya, tim aku enggak ada yang paham IT. Dan kayaknya rekrut orang IT enggak murah juga ya. Untuk saat ini, aku rasa belum butuh dehh."
Adrian manggut-manggut. "Karyawan kamu ada berapa orang sekarang?"
"Baru sepuluh orang. Kebanyakan sih social media specialist, tim desainer dan tim packing."
"Tim social media kamu enggak ada yang paham IT sama sekali? Biasanya yang cowok-cowok tuh ngerti!"
"Aku sama temenku sepakat buat bikin bisnis ini sebagai media untuk memberdayakan perempuan. Supaya perempuan-perempuan di sekitarku bisa mandiri dan punya tempat aman untuk berkreasi dan mengembangkan bakat. Jadi, semua karyawanku perempuan." Vika tersenyum bangga, mengingat bagaimana Alesia yang mencetuskan ide tersebut.
"Keren juga yaa! Tadi waktu kamu ke toilet, saya sempat cek Instagram brand kamu. Kamu beneran enggak sembarangan ya merekrut tim. Saya lihat, engagement social media kamu bagus banget loh! Meskipun followers-nya baru belasan ribu, tapi semua postingannya rame ya? Ini pencapaian yang oke banget lho, buat ukuran brand yang belum genap satu tahun."
Vika tersenyum centil, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, pura-pura tersipu.
"Mau saya bantu buatkan website? Meskipun background saya bukan IT, tapi Kalau bikin website sederhana sih, saya bisa. Gini-gini saya pernah ikutan bootcamp. Kalau punya web sendiri kan, brand kamu jadi lebih eksklusif."
Sebenarnya tawaran itu menarik sekali. Sebagai orang yang suka belanja online, Vika sendiri merasakan langsung eksklusifitas yang Adrian sebut. Ia pun lebih senang berbelanja di website, ketimbang melalui marketplace.
Namun, tatapan Adrian saat menawarkannya, membuat Vika kurang nyaman. Seperti ada udang di balik bakwan.
"Memang sih, orang-orang suka pakai marketplace karena banyak voucher diskon dan gratis ongkir. Tapi untuk clothing brand, menurut saya, kamu perlu melakukan cara lain agar brand-mu jadi lebih unik, tidak sama dengan ratusan brand lainnya yang bersaing dengan kamu." Adrian menjelaskan itu amat serius. Tatapan menggodanya yang sejak tadi melirik ke arah dada Vika, tiba-tiba hilang.
Kalau begini, Vika jadi merasa seperti sedang berada di ruang meeting.
"Dari penjelasan kamu tadi, kamu berusaha meningkatkan value brand dengan membuat koleksi terbatas, yang tidak akan diproduksi lagi setelah sold out. Itu cukup bagus, mengingat jaman sekarang, orang mulai berusaha mencari ide outfit yang berbeda, enggak mau tiba-tiba ketemu orang di tempat ramai dengan baju yang sama. Dan menurut saya, akan menjadi lebih eksklusif lagi, kalau kamu jualannya di website sendiri. Kamu juga bisa menjabarkan visi misi brand kamu di dalam website itu. Pakai animasi yang lebih menarik. Apalagi setiap koleksi yang kamu jual punya cerita dan tema khusus, kan? Isi web-nya bisa disesuaikan berdasarkan temanya setiap bulan. Itu akan membuat value brand kamu meningkat drastis. Bagus banget, buat menarik loyal customer yang sejalan dengan visi misi kamu."
Kali ini Vika tidak bisa menutupi rasa kagumnya pada Adrian. Terlepas dari bagaimana tangan dan matanya yang sangat tidak sopan, Setidaknya jabatan yang Adrian banggakan tadi, bukan hanya bualan. Pria itu sangat jeli melihat peluang. Dan semisal hubungan mereka berlanjut setelah ini, ia tidak akan bosan karena obrolan mereka akan nyambung dan cukup berbobot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Kaya Baru
RomanceJangan bermain api, kalau tidak mau terbakar. Bukannya berhenti, Thetanea Davika (28) malah menyeburkan diri ke dalam api yang kemudian membakar seluruh akal sehatnya. Menghabisi logikanya, membuatnya rela melakukan apa saja, asalkan bisa terus bers...