Bab 12: Jiwa-jiwa yang Kesepian

2.3K 681 132
                                    


bab ini panjaaanggg banget, hampir 4000 kata. Jangan lupa vote dan komenin yang banyak dongg! Aku suka bacain komennya satu per satuuuu~

***


"Gue mau sungkem sama lo deh, Vik!" Nasya langsung antusias menarik Vika ke dalam unitnya, begitu mendapati Vika berdiri di depan apartemennya.

"Sekarang gue enggak akan ngatain lo gila lagi deh, Vik. Gue ngerti banget, kenapa lo sampai segininya. Ternyata bentukannya jelmaan Chris Hemsworth gitu yaaa!" Tanpa memberikan kesempatan bagi Vika untuk bicara, Nasya kembali mencerocos. "Kalau gue jadi lo sih, gue pasti akan ngelakuin hal yang sama!"

"Ya iyalah, orang mantan lo yang enggak seberapa itu, masih lo gamonin sampai sekarang!" cibir Vika sembari menghempaskan tubuhnya di sofa.

Nasya mendengkus, tapi ekspresinya sama sekali tidak tersinggung. "Enggak usah ngebelokin obrolan ya! Ini bukan saatnya bahas mantan gue!"

Dengan mata berbinar cerah, Nasya duduk di sebelah Vika, menyerongkan tubuh untuk sepenuhnya menghadap Vika. "Jadi, gimana ceritanya, sampai tiba-tiba lo ketemu dia lagi? Bukannya kemarin, lo cuma bilang mau ketemu anaknya? Kok tiba-tiba nongol di sini sama Bapaknya sih?"

Pertanyaan Nasya membuat Vika kembali mengingat momen lamaran menyedihkan yang seharian ini susah payah dia lupakan. Obrolannya dengan Caca cukup banyak membuat perasaan Vika membaik.

Setelah makan sushi, mereka window shopping ke beberapa toko. Caca sempat mengajak Vika membeli tas kembaran, atau belanja makeup. Namun, Vika buru-buru menolaknya. Dia tahu kalau Calvin pasti akan memaksa membayarnya, dan Vika tidak mau menerima itu.

Jadi, Vika berdalih, "Kapan-kapan kita hangout lagi berdua aja ya, Ca. Biar lebih leluasa belanjanya. Enggak diikutin sama Bapak-bapak yang mukanya sepet kayak gini." Dan untungnya, Caca tidak memaksa.

"Vik?! Elaaahhh ... ini gue beneran nunggu ceritanyaa! Kenapa muka lo malah melas banget, kayak habis nangis gini sihhh?" Binar cerah di mata Nasya perlahan meredup. "Woyy? Lo kenapa, Vik?"

Vika hanya mengerjapkan matanya yang sejak tadi tidak fokus.

"Enggak mungkin lo sedih karena mikirin apartemen lo, kan?" tanya Nasya yang mulai cemas. "Kemarin setelah lo pergi, pemilik apartemennya sempat mampir ke sini, buat ngecek kondisinya. Terus pihak manajemen bilang, semua biaya renovasinya bakal diganti. Case closed. Mungkin bakal butuh waktu semingguan sampai apartemen lo beres."

Meski tidak terlalu memikirkan bagaimana kondisi apartemennya sekarang, Vika cukup lega mendengarnya. Setidaknya Calvin enggak betul-betul membuangnya seperti sampah. Pria itu masih berbaik hati membantunya mengurus semua perbaikan apartemen ini. Sehingga ia tidak perlu makin stres memikirkan itu.

Dalam hatinya, ia berjanji akan mengganti seluruh biaya perbaikannya. Nanti. Saat ini, Vika butuh waktu untuk galau sebentar.

"Dan yang bikin gue shock, tadi pagi, pihak manajemen apart ngirim info, buat penghuni yang merasa dirugikan dengan adanya pemadaman listrik selama tiga jam tadi malam akibat kebakaran, boleh mengisi form terlampir, untuk mendapatkan kompensasi."

Kepala Vika menoleh cepat. "Kompensasi?"

Nasya menggangguk, lantas menunjukkan ponselnya pada Vika. "Mereka bilang, penghuni kamar yang lalai, merasa sangat menyesal. Sebagai permintaan maafnya, bakal ngasih kompensasi senilai voucher listrik 250 ribu untuk setiap orang yang merasa dirugikan."

"Semua penghuni bakal dikasih voucher 250 ribu?!" pekik Vika sembari membaca ulang pesan tersebut.

"Untuk orang-orang yang merasa dirugikan, bisa isi form. Dikasih waktu 1 x 24 jam buat isi. Nanti voucher listriknya bakal dibagikan per tanggal 10 bulan depan," jawab Nasya. "Jadi ya, tergantung yang isi form berapa banyak. Kalau semuanya merasa terganggu, ya ... berarti semua. Satu gedung ini. Tinggal dikali aja, satu gedung ini ada berapa unit? Buset, berapa puluh juta coba?"

Orang Kaya BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang