Bab 11: Sesuatu yang Terjadi di Luar Rencana

2.5K 699 148
                                    




"So, what should I do to make you feel better?"

"You should marry me soon."

"What?"

"We won't do anything, unless you marry me first."

Cukup lama Calvin menciptakan hening. Membuat detik terasa sangat lambat. Saluran pernapasan Vika terasa makin sempit tiap detiknya. Sehingga ia kesulitan bernapas.

Mata coklat itu masih menatapnya lurus-lurus, dengan sorot yang begitu sulit Vika artikan. Yang jelas, tatapan itu berhasil membuat seluruh keberaniannya menciut. Perutnya terasa melilit. Serangkaian momen menyenangkan yang beberapa menit sebelumnya terbayang di kepalanya langsung musnah begitu saja.

Reaksi Calvin saat ini jauh berbeda dibanding yang ia harapkan.

Saking mencekamnya waktu yang terbuang, Vika pun menyerah. Sepertinya tidak mendengar jawabannya lebih baik, ketimbang ia harus mendengar penolakan secara langsung.

Sekarang ia percaya bahwa keheningan bisa menjadi jawaban yang begitu kasar pada situasi tertentu.

Dengan tubuh gemetar, Vika beranjak dari pangkuan Calvin. Tampaknya pria itu terlalu khusyuk larut dalam pikirannya, sehingga gerak tangannya tidak sempat mencegah kepergian Vika.

Atau mungkin, Calvin memang enggak berniat menahan kepergiannya?

Tidak tahu harus melangkah ke mana, Vika mengumpulkan keberanian terakhirnya untuk menarik koper miliknya memasuki kamar utama Calvin. Ada dua kamar di dalam unit itu. Dan ia pikir, kamar utama pastilah memiliki kamar mandi di dalam. Sehingga Vika tidak perlu repot keluar kamar sampai besok pagi.

Ini memang sangat tidak tahu diri. Setelah lamarannya ditolak, bagaimana mungkin ia masih mau menginap di sana, bukannya langsung pergi saja dari sini.

Entahlah. Kepala Vika terlalu penuh untuk berpikir jernih. Yang ia pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya bisa menyendiri secepatnya, tanpa drama. Jika ingin keluar dari unit ini, ia harus mencari kunci mobilnya yang entah diletakkan di mana oleh Calvin. Harus menggeret koper besarnya keluar unit. Lalu berjalan tergesa menuju lift.

Kalau Calvin mengejar kepergiannya, mungkin perasaannya akan sedikit lebih baik. Setidaknya pria itu masih menerima keberadaannya, dan masih memikirkan keselamatannya.

Namun, masalahnya, bagaimana jadinya kalau Calvin tidak mengejarnya?

Bagaimana kalau pria itu masih mempertahankan posisi membatunya, membiarkan ia pergi begitu saja?

Vika tidak bisa membayangkan dirinya akan semalu apa, kalau hal itu betulan terjadi.

Barangkali, harga dirinya bukan cuma diinjak-injak, tapi dibakar sampai tak bersisa. Mungkin dia akan melangkahkan kakinya ke rooftop gedung ini, lalu terjun bebas sekalian, ketimbang masih melanjutkan hidup tanpa harga diri.

Jadi, bertindak tidak tahu diri dengan menempati master bedroom apartemen ini, sepertinya bukan pilihan yang buruk. Vika buru-buru mengunci pintunya, meski bisa saja Calvin memiliki kunci serep. Yang jelas, ia sudah mengusahakan sebisanya untuk memberitahu Calvin, bahwa ia butuh sendiri.

Patah hatinya yang terlalu dahsyat membuat Vika tidak sempat mengagumi interior kamar tersebut. Bahkan pintu yang ia pikir merupakan toilet, ternyata merupakan walk in closet mewah, yang lampu-lampunya otomatis menyala ketika dia masuk. Mungkin pada situasi normal, Vika bakal meneliti setiap rak, mencermati merek pakaian, sepatu, dan jam tangan yang berjajar rapi di sana, seperti butik mewah.

Berhubung ini bukan situasi normal, Vika tidak bertahan lama di sana. Hanya mengambil selembar kaos polos yang diambil sembarangan dari rak terdekat, lantas melangkahkan kakinya ke kamar mandi.

Orang Kaya BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang