2

107 14 0
                                    

Halilintar duduk di kamarnya, memandangi jendela yang tertutup. Hatinya terasa sepi dan penuh dengan rasa sakit yang tidak dapat diungkapkan. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu—tatapan dingin ayahnya, tamparan keras di pipi, dan kata-kata pedas yang seolah merobek jiwanya. Dia menggigit bibirnya keras-keras, menahan tangis yang sudah menggumpal di tenggorokannya. Tapi tidak ada gunanya menangis. Di rumah ini, tidak ada air mata yang bisa menyelamatkannya.

Di luar kamar, suara keriuhan terdengar samar-samar. Saudara-saudaranya—Taufan, Blaze, dan Thorn—sedang membuat onar lagi. Trio troublemaker itu selalu punya energi yang tidak pernah habis, dan sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu. Tapi Halilintar tidak peduli. Dunia mereka terasa begitu jauh dari dunianya sekarang.

Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari ruang keluarga, diikuti oleh teriakan Amato.

Amato: "Apa yang kalian lakukan?!"

Halilintar langsung merasakan ketegangan di tubuhnya. Hatinya seolah memberitahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia dengan enggan keluar dari kamarnya, berjalan perlahan menuju ruang keluarga.

Di sana, pemandangan yang dia temukan hanya memperparah perasaan tak nyaman yang sudah lama menguasai dirinya. Solar, yang dikenal karena obsesinya terhadap eksperimen sains, sedang memegang botol cairan kimia di tangan. Di sampingnya, Taufan, Blaze, dan Thorn berdiri, wajah mereka menunjukkan ekspresi campuran antara takut dan bersalah. Di lantai, salah satu meja kayu besar keluarga mereka berantakan, sebagian dari permukaannya hancur karena reaksi kimia yang tampaknya tidak berjalan sesuai rencana.

Amato berdiri di hadapan mereka, wajahnya merah padam, amarah yang terpendam siap meledak kapan saja.

Amato: "Apa yang kalian pikirkan? Ini bukan tempat untuk main-main dengan hal seperti itu!"

Taufan mencoba tersenyum canggung, berusaha meredakan suasana. "Ayah, kami hanya ingin... sedikit bereksperimen. Solar bilang ini aman."

Solar, yang biasanya penuh percaya diri, kali ini terlihat sedikit ragu, meski tetap berdiri dengan dagu terangkat. "Aku yakin dengan hitunganku, Ayah. Seharusnya tidak ada yang terjadi..."

Namun, Amato tak mendengar penjelasan apa pun. Wajahnya semakin gelap, dan dia segera mendekati Taufan. Taufan, yang biasa menghadapi segala sesuatu dengan canda, kali ini mundur selangkah.

Blaze, yang biasanya paling berani, berdiri di belakang Taufan, matanya melirik ke arah Halilintar yang baru saja muncul di ambang pintu. Sebuah ide muncul di benaknya, meskipun terdengar konyol. "Mungkin ini... mungkin Halilintar juga terlibat? Kami kan semua selalu bersama."

Amato segera menoleh ke arah Halilintar, dan ekspresinya berubah. Tatapan penuh amarah itu kini tertuju pada Halilintar. Meskipun dia tahu itu tidak benar, Blaze telah memberikan Amato alasan baru untuk melemparkan kesalahan pada anak sulungnya.

Amato: "Halilintar... apakah ini ulahmu lagi?"

Halilintar menatap ayahnya, rasa frustrasi dan marah bercampur menjadi satu. Dia tidak melakukan apa-apa kali ini. Dia tidak berada di ruang itu, tidak ada hubungannya dengan ledakan itu. Tapi dari pengalaman, dia tahu, tidak peduli seberapa keras dia menjelaskan, Amato tidak akan mendengarkan. Kesalahan apa pun yang terjadi dalam rumah ini, sepertinya akan selalu dilemparkan ke arahnya.

Halilintar: "Aku bahkan tidak ada di sini, Ayah. Aku tidak ikut campur."

Amato: "Jangan coba-coba berbohong, Halilintar! Setiap kali ada masalah di rumah ini, kau selalu terlibat!"

Kemarahan yang sudah lama terkubur di dalam hati Halilintar mulai menggelegak. Dia sudah lelah menjadi kambing hitam. Lelah selalu disalahkan atas hal-hal yang tidak dia lakukan. Dia merasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.

Halilintar: "Kau selalu menyalahkanku, Ayah, untuk setiap hal kecil! Aku bahkan tidak menyentuh apa pun hari ini, tapi kau selalu menuduhku! Apa aku memang pantas disalahkan untuk segalanya?!"

Kata-kata Halilintar seperti percikan api di atas tumpukan bahan bakar. Amato, yang sudah berada di puncak amarahnya, tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dengan cepat, dia melangkah maju dan meraih kerah baju Halilintar, menariknya mendekat.

Amato: "Jangan berani-beraninya membalas bicara seperti itu kepadaku!"

Sekali lagi, Amato menampar Halilintar dengan keras, membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan, membuat suasana tiba-tiba sunyi. Tidak ada yang berani bergerak, bahkan Taufan dan Blaze yang biasanya tidak takut dengan apa pun, kini terdiam melihat bagaimana ayah mereka memperlakukan saudara sulung mereka.

Halilintar tergeletak di lantai, bibirnya berdarah. Tapi lebih dari rasa sakit fisik, rasa sakit emosionalnya jauh lebih parah. Di hatinya, dia merasa seperti dunia telah menolaknya. Tidak ada lagi kehangatan dari ayahnya yang dia rasakan, hanya kegelapan dan kebencian.

Aisyah, yang berdiri di dekat dapur, hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Dia ingin membantu, tapi dia tahu tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini. Amato sudah terlalu marah.

Aisyah: "Amato, sudah cukup..."

Namun, suaminya tidak mengindahkan peringatan lembut itu. Amato hanya memandang Aisyah dengan tatapan tajam sebelum berbalik lagi kepada Halilintar.

Amato: "Kamu harus belajar, Halilintar. Jika kau terus seperti ini, kau tidak akan pernah menjadi apa pun!"

Halilintar tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Dalam diam, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari dia akan membuktikan kepada Amato bahwa dia salah. Namun, dalam proses itu, Halilintar mulai kehilangan sisi kemanusiaannya. Hatinya semakin tenggelam dalam kegelapan.



















_____________________________________

Hi guys! Jangan lupa untuk tambahkan cerita ini ke dalam pustaka kalian.  Pastikan kalian tidak terlepas dengan update cerita terbarunya. Lepas ini,aku akan update cerita ini setiap hari di waktu malam. Ris akan menambah dua cerita dalam satu hari jika cerita ini mendapat sambutan para readers semua.

Ok daa!

Jangan lupa vote and coment yaa!










SISA HUJAN LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang