Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela kamar Halilintar, membangunkannya dari tidur yang tak nyenyak. Dia duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela, melihat adik-adiknya bersiap-siap di ruang tamu.Sudah jadi kebiasaan bagi Halilintar, berjalan sendirian menuju sekolah sementara adik-adiknya menumpang mobil ayah mereka. Perasaan iri dan kesepian kembali menghantui hatinya setiap kali dia menyaksikan pemandangan itu.
Halilintar: (berbisik pada dirinya sendiri) "Sampai kapan aku harus begini? Kenapa Ayah tidak pernah melihatku seperti dia melihat yang lain?"
Sementara itu, Amato sudah berada di ruang tamu, berdiri di depan pintu dengan tangan di saku, menunggu anak-anaknya yang lain. Begitu Halilintar keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu, Amato hanya melirik tanpa sepatah kata pun kepada anak sulungnya itu.
Amato: "Ayo cepat, kita hampir terlambat."
Halilintar menelan ludah, merasa sakit setiap kali harus berjalan sendiri. Namun, dia tak punya pilihan selain mematuhi peraturan ayahnya.
Taufan: (memandang Halilintar dengan prihatin) "Halilintar... kamu mau aku temenin jalan?"
Halilintar: (tersenyum kecil) "Enggak usah, Taufan. Nanti kamu terlambat kalau ikut aku."
Blaze: (menggeleng pelan) "Kenapa sih, Ayah nggak izinin kamu naik mobil sama kita?"
Amato: (mendengar percakapan itu, menatap tajam ke arah Blaze) "Blaze, kalian jangan ikut campur. Halilintar bisa ke sekolah sendiri."
Halilintar menghela napas, berusaha mengabaikan perasaan terasing yang semakin menumpuk di dadanya. Dia lalu melangkah keluar, berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju sekolah. Hatinya terasa hampa setiap kali dia melihat mobil ayahnya melaju di jalan yang sama, meninggalkannya dalam debu. Sungguh hati kecilnya itu terasa pedih melihat perlakuan ayahnya sendiri pada dirinya itu.
Padahal Halilintar yang masih anak kecil berumur lima tahun harus menghadapi ini semua sendirian. Sepatutnya anak kecil seperti Halilintar tidak sepantasnya dibiarkan berjalan seorangan ke sekolah--apalagi perjalanan ke sekolahnya itu boleh dikatakan jauh.
Di perjalanan, Halilintar terserempak dengan seorang teman sekolahnya, Azhar. Azhar dua tahun lebih tua dari Halilintar yang bermaksud bersekolah rendah di kelas 1. Manakala Halilintar baru di prasekolah. Anak-anak tadika.
Azhar: (tersenyum) "Halilintar, pagi! Tumben jalan kaki sendirian terus. Ayah kamu ke mana?"
Halilintar: (tersenyum pahit) "Oh, iya... dia sibuk. Aku biasa jalan kaki sendiri."
Azhar tampak bingung mendengar jawaban itu, tapi ia memilih tidak berkomentar lebih lanjut.
Azhar: "Oke, kalau gitu aku temenin aja ya. Kita jalan bareng."
Mereka pun berjalan bersama, mengobrol ringan di sepanjang perjalanan. Setidaknya, kehadiran Azhar bisa sedikit mengurangi kesepian yang selalu menyelimuti hati Halilintar. Sampai akhirnya, mereka tiba di sekolah dan berpisah menuju kelas masing-masing.
---
Jam istirahat tiba, Halilintar duduk sendirian di pojok kantin, memandangi teman-temannya yang berkumpul bersama dalam kelompok. Dia sekarang duduk sendiri, dengan pikiran yang tak pernah berhenti bergulir.
Namun, tiba-tiba, Yaya, teman sekelasnya, datang menghampirinya.
Yaya: "Hai, Halilintar! Kenapa duduk sendirian terus? Kamu gak pengen gabung sama yang lain?"
Halilintar: (tersenyum samar) "Ah, nggak apa-apa, Yaya. Aku sudah terbiasa sendiri."
Yaya: (menghela napas) "Kamu ini... selalu bilang begitu. Kalau kamu butuh teman bicara, kami ada, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
SISA HUJAN LUKA
Mystery / ThrillerHalilintar, anak sulung dari tujuh bersaudara yang semuanya kembar, hidup dalam bayang-bayang trauma kekerasan ayahnya, Amato, akibat kesalahpahaman yang menghancurkan. Meskipun seluruh saudaranya memiliki kepribadian yang berbeda-beda, Halilintar d...