.
.
."Oh, malaikat ku ... "
.
.
.Katedral tua dengan aroma khas bangunan terbengkalai. Tempat ibadah yang diabaikan. Tempat di mana orang-orang seharusnya menyembah Tuhan. Tempat agung dan suci. Di sinilah aku berada sekarang sebagai orang yang diselimuti oleh kehampaan dan keputusasaan. Orang-orang menganggap ku berbeda hanya karena tidak mengikuti mereka. Aku sadar bahwa dunia sekarang telah tenggelam dalam kesesatan. Peperangan ada dimana-mana, kata keadilan hanyalah harapan semu, setiap jiwa mulai melupakan apa yang disebut Tuhan.
Apa yang sebenarnya mereka harapkan dari peperangan? Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Apa sebenarnya yang mereka mau pada periode kehancuran ini? ... Apakah Tuhan itu ada? ... Apakah dia benar-benar ada? ... Kenapa Tuhan membiarkan segala kehancuran dan kekacauan ini terjadi jika ia memang berhati mulia dan maha pengasih?. Pertanyaan-pertanyaan gila semacam itu selalu mengikuti ku seperti bayanganku sendiri.
Hanya di sini tempat ku untuk dapat mencurahkan isi hati ku. Aku sudah siap mati kapanpun. Sudah tak ada lagi hal berharga yang ku miliki, bahkan seluruh teman dan keluarga ku juga sudah mati. Tentu saja tidak ada lagi alasan ku untuk hidup. Apalah makna dari seekor lintah yang sudah dikelilingi garam?, aku hanya menunggu hingga waktu ku akan bertemu Tuhan dan menagih segala kesengsaraan yang ia berikan.
"Ya Tuhan ... Aku sudah sangat lelah ... Tolong kembalikan aku bersama mu, jemput lah aku ke sisi mu ... Aku sudah muak dengan semua ini ... " Ucapku dengan air mata yang perlahan mengalir membasahi pipi ku.
"Sudah begitu siapkah dirimu untuk mati?." Ujar seorang pria yang entah dari mana kini ada di belakang ku.
Suaranya begitu merdu bagai alunan simponi. Wajahnya mengukirkan senyuman tulus yang langsung menyentuh jiwa dikala aku menatapnya. Pandangan mata nya sangat dipenuhi dengan kasih. Apakah dia manusia? Tidak!, aku yakin dia pasti adalah malaikat yang dipilih Tuhan untuk ku. Aku ingat wajah indah nya. Aku pernah melihatnya dahulu.
...
Hari itu adalah pagi yang cerah dan bersemangat. Mentari tersenyum cerah membagikan berkah cahayanya pada sang bumi. Bunga-bunga di pinggiran katedral itu mekar dan menari atas terpaan angin hingga warna-warni bunga begitu menawan menambah kesan hidup pada tempat suci itu.
Aku bersama ibu ku pergi ke katedral hari ini untuk menghadiri acara misa mingguan yang dipimpin oleh Uskup agung seperti biasanya. Sungguh kehidupan yang damai dan harmonis di dalam singkatnya umur manusia. Aku selalu bermimpi akan dapat hidup abadi dan berbahagia bersama keluarga dan teman-teman yang ku sayang. Ayahku adalah seorang tentara sukarela dalam perang saudara yang begitu kejam. Ia meninggalkan ku saat aku masih berusia 13 tahun bersama ibu ku demi memperjuangkan tanah kelahirannya tercinta.
Aku duduk bersama ibu ku di barisan agak pertengahan. Ku lihat di sudut paling belakang ada seorang anak laki-laki berambut hitam sepundak duduk sendirian. Wajahnya pucat dan tubuhnya kurus, tetapi wajahnya begitu cantik dan ia sepertinya dia seumuran dengan ku.
"Apakah dia sakit? Kenapa dia sendirian? Apa dia tidak punya keluarga?", pikirku.
Meski aku duduk jauh di depannya, sesekali aku menyempatkan diri untuk meliriknya dan membagi fokus ku untuknya. Ia tersenyum lembut semanis gula-gula.
Untuk pertama kalinya aku tidak khusyuk ketika berdoa karena aku terus memikirkannya. Aku sudah tidak sabar setelah misa ini selesai. Aku ingin bicara dan mengenalnya hanya saja ketika sudah selesai, tidak ada lagi sisa bayang-bayang nya disana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stray Dogs Diary (One-shot)
Fiksi Penggemarfanfic random yang ditujukan buat para penonton dan pembaca manga BSD (Bungou Stray Dogs) yang lagi depresi karena fanfic ini isinya sangat anti nge-sad Ini cuma fanfic ringan jadi ya maaf kalau banyak typo dan suka ooc Semua karakter disini punya A...