Setibanya Galen di Surabaya, tempat pertama yang dituju adalah hotel milik keluarga Bitha. Selama di Surabaya dia akan nginap di sana. Selain memudahkan agar bisa berkomunikasi dengan Leo, lokasi hotel juga tidak jauh dari rumah Bitha. Dia harus menyelesaikan dulu urusan pekerjaannya dengan Leo, sebelum nantinya bertemu Bitha. Begitu bertemu dengan Leo, mereka langsung meeting singkat sebelum akhirnya sama-sama berangkat menuju beberapa lokasi yang akan mereka jadikan cafe.
"Jadi, mau lihat lokasi selanjutnya atau cukup tiga tadi yang udah kita lihat?" tanya Leo setelah sampai di salah satu restoran untuk istirahat sejenak sekaligus makan siang.
"Lokasi ke dua tadi kayaknya oke. Langsung menghadap jalan raya yang menuju ke kampus, terus di belakangnya udah pemukiman warga yang banyak mahasiswa ngekos di sana."
Leo manggut-manggut, tampak setuju dengan pendapat Galen. "Sebenarnya ketiga lokasi bagus, tapi yang paling nggak mungkin diambil lokasi yang pertama. Luas tanahnya terlalu kecil. Pasti nggak akan cukup buat bangunan sama parkiran yang luas."
Galen mengangguk. "Mumpung aku di sini, kita tuntasin aja semuanya."
Leo membelalakkan mata. "Dituntasin hari ini juga?"
"Bukan gitu maksudnya," sahut Galen sambil menggeleng pelan. "Kemungkinan aku di sini selama satu bulan. Jadi, selama satu bulan kita selesaiin apa yang bisa diselesaiin."
"Harusnya satu bulan waktu yang cukup untuk pilih lokasi, meeting sama arsitek dan desain interior juga. Nanti kita kebut aja."
Galen mengangguk. "Mungkin setelah satu bulan, aku akan bolak-balik untuk mantau semuanya," ucapnya sembari meminum kopinya.
"Mantau pembangunan cafe atau mantau Bitha?" tanya Leo dengan wajah geli.
Galen yang sedang meminum kopinya, otomatis tersedak mendengar pertanyaan Leo. Dia menatap wajah Leo yang penuh dengan senyuman. "Bitha cerita sesuatu?"
Leo lantas menggeleng. "Dia nggak cerita apa-apa, tapi kelihatan banget kalo dia uring-uringan banget setelah pulang dari rumahmu."
Galen mengerutkan keningnya. "Uring-uringan?
"Biasalah, kayak cewek lagi galau pada umumnya."
Galen tersedak air liurnya sendiri.
"Oh ya, for your information, udah beberapa hari ini Bitha sakit."
Galen menegakkan punggungnya. Kali ini dia tidak bisa menyembunyikan raut wajah khawatirnya. "Sakit? Sakit apa? Udah dibawa ke dokter?"
Leo sontak tertawa keras. "Emang benar, kalian pasti ada apa-apa," ucapnya disela-sela tawanya.
"Jadi, Bitha beneran sakit atau nggak?" tanya Galen, mengabaikan godaan Leo sebelumnya.
"Dia beneran sakit kok," jawab Leo. "Awalnya demam biasa, terus diminumin obat udah sembuh. Besoknya si bodoh itu malah renang di tengah hujan. Akhirnya balik demam lagi sampai muntah-muntah. Berujung diinfus karena nggak ada makanan atau minuman yang bisa masuk ke tubuhnya."
"Dia dirawat di rumah sakit?"
Leo menggeleng. "Dia ada di rumah kok. Kak Evan yang nginfus Bitha."
Galen melupakan fakta bahwa Mami dan Kakak pertama Bitha adalah dokter. Walaupun dokter kecantikan, tetap saja mereka dokter yang bisa merawat orang sakit. Untuk urusan memasang infus, pasti mereka sudah terlatih.
"Mau jenguk?" tanya Leo menawari.
"Dibolehin?"
Lagi-lagi Leo tertawa. "Boleh dong. Nanti setelah urusan kita selesai, baru aku ajak ke rumah biar bisa ketemu sama Bitha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitha for the Beast
ChickLitMenjadi putri dari pasangan pengusaha dan cucu seorang politikus terkenal membuat hidup Tsabitha Alisha Mahawira tidak bisa bebas. Perempuan yang biasa dipanggil dengan nama Bitha selalu memiliki pengawal yang selalu mengikutinya, mencegah dirinya a...