Hari yang cerah itu tampak sempurna untuk sebuah acara kelulusan. Langit Tokyo begitu biru, seolah ikut merayakan keberhasilan para mahasiswa yang akan diwisuda. Aula Universitas Tokyo penuh sesak dengan keluarga dan kerabat yang datang untuk menyaksikan momen penting dalam hidup anak-anak mereka.
Di tengah keramaian itu, terlihat Hiashi Hyuuga, Toneri, dan Neji yang duduk di barisan depan, memberikan dukungan penuh untuk Sakura. Mereka semua berpakaian rapi, dengan ekspresi bangga terpancar di wajah mereka.
"Dia benar-benar hebat," kata Neji dengan nada bangga, matanya menatap kagum ke arah panggung tempat Sakura akan menerima ijazahnya.
Toneri, yang duduk di sebelah Neji, hanya mengangguk pelan. "Hn, dia cerdas," ucapnya pendek, namun tetap menunjukkan apresiasi yang tulus.
Hiashi, yang duduk di samping Toneri, tampak diam. Matanya tertuju pada panggung, tapi pikirannya melayang jauh. Ia merasa ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Melihat Sakura berdiri dengan anggun di atas panggung, mengenakan toga dan senyum bahagia, seharusnya membuatnya bangga. Tapi, bayangan Hinata muncul di pikirannya, mengingatkan Hiashi akan putri kandungnya yang begitu berbakat namun terkekang oleh keputusan-keputusan keluarga.
'Kenapa aku di sini, merayakan keberhasilan anak angkatku, sementara putriku sendiri terpinggirkan?' pikir Hiashi dalam hati.
Seiring dengan perasaan bangga pada Sakura, Hiashi tidak bisa menahan rasa bersalah yang terus menerus menghantuinya. Ia teringat pada laporan yang sering ia dengar tentang Hinata, putri kandungnya yang pendiam namun memiliki potensi luar biasa.
Hinata, yang pernah menjadi juara Olimpiade Sains Jepang, telah memutuskan untuk berhenti mengikuti kompetisi-kompetisi bergengsi setelah beberapa kali membuat Sakura merasa tersisih. Keputusannya itu membuat Hiashi merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya sebagai seorang ayah.
'Demi Nona Sakura, Hinata terpaksa mengalah. Semua demi menjaga perasaan anak angkat kami yang manja,' batinnya terasa tercekik. Ia pun teringat kembali pada laporan Kou beberapa waktu lalu.
"Nona Hinata takut jika ia menonjol dan membuat Nona Sakura merasa buruk dan menangis, seperti yang biasa terjadi jika Nona Sakura merasa kalah dari Nona Hinata. Nona Hinata enggan mengikuti Olimpiade semacam itu agar tidak menarik perhatian," kata Kou saat itu, suaranya penuh empati namun juga menggambarkan kenyataan pahit yang selama ini mereka abaikan.
Hiashi terdiam, hatinya semakin berat. Ia merasa seolah pengorbanan Hinata yang diam-diam telah dikubur oleh keegoisan keluarga Hyuuga.
Sementara itu, di sebelahnya, Toneri juga memikirkan hal yang sama. Meski ia berusaha tetap tenang dan memberikan dukungan untuk Sakura, pikirannya tidak bisa lepas dari Hinata, adik kandungnya yang selama ini begitu diabaikan. Apalagi ketika mendengar bahwa Hinata memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, meskipun telah diterima di beberapa universitas ternama, membuat Toneri semakin khawatir.
'Nona Hinata memutuskan tidak berkuliah, padahal dirinya telah diterima di beberapa universitas yang baik di Jepang dan negara lain. Namun, karena masalah kesehatannya, Nona Hinata memutuskan tidak berkuliah.' Perkataan Kou itu terus terngiang-ngiang di kepala Toneri.
Hiashi tiba-tiba berdiri, wajahnya terlihat pucat. "Aku... aku ke toilet sebentar," katanya dengan nada yang lemah.
Neji dan Toneri saling berpandangan, merasa ada yang aneh dengan sikap Hiashi.
"Ada apa dengan Ayah?" tanya Neji, penasaran.
"Entahlah," jawab Toneri singkat, namun ia juga merasakan keanehan yang sama. Pikirannya kemudian melayang pada Hinata. 'Apa ini semua ada hubungannya dengan Hinata?'
YOU ARE READING
BROKEN
FanfikceHinata Hyuuga, seorang gadis yang tampak lembut dan penuh kasih, menyimpan luka mendalam dari keluarganya. A SasuHina Fanfiction