Prolog: Berpisah

726 29 0
                                    

Setelah persidangan berakhir, Shania berjalan keluar dari gedung pengadilan dengan langkah yang lebih ringan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah persidangan berakhir, Shania berjalan keluar dari gedung pengadilan dengan langkah yang lebih ringan. Udara siang itu terasa sedikit lebih segar, meskipun angin berhembus cukup kencang. Di lengannya, Arum, putri kecilnya yang berusia lima bulan, tertidur lelap. Shania memandang wajah mungil putrinya, merasa ada harapan baru yang kini terbentang di hadapannya.

Rasena, mantan suaminya, berjalan beberapa meter di belakang mereka. Shania mendengar langkahnya semakin dekat, namun dia tak ingin berbalik. Semua sudah selesai.

"Aku ingin bicara sebentar, Shania," suara Rasena memecah kesunyian.

Shania terdiam sejenak, lalu menoleh. "Apa lagi yang mau dibicarakan? Bukankah semuanya sudah jelas di dalam sana?"

Rasena menghela napas. Wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. "Aku tahu ini sudah terlambat, tapi aku hanya ingin bilang... aku minta maaf. Untuk semuanya. Aku menyesal karena..."

"Sudah cukup, Rasena." Shania memotongnya dengan tegas. "Permintaan maafmu tak akan mengubah apa-apa. Semua ini sudah berakhir."

Rasena terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Shania menatapnya sejenak, mencoba mencari jejak rasa sakit yang pernah begitu dalam mengakar. Namun, kali ini yang dia rasakan hanya kekosongan. Kekecewaan sudah lama mengering di hatinya.

"Kita sudah sepakat," lanjut Shania. "Arum akan tumbuh dengan cinta dan perhatian dari kita berdua, meski kita tak lagi bersama. Itu yang terpenting sekarang."

Rasena mengangguk, matanya melirik puteri mereka yang masih tertidur. "Aku akan selalu ada untuk Arum. Aku janji."

Shania menghela napas panjang. Meski hubungannya dengan Rasena telah hancur, mereka akan selalu terhubung karena Arum. "Aku harap kau benar-benar menepati janji itu."

Rasena menatap Shania penuh harap, tapi Shania sudah terlalu lelah untuk mengizinkan rasa itu kembali.

"Aku harus pergi," katanya singkat.

Tanpa menunggu jawaban, Shania melangkah meninggalkan Rasena di belakang, menguatkan hatinya. Hidupnya kini hanya untuk Arum, untuk kebahagiaan mereka berdua. Di depan, dia bisa melihat masa depan yang lebih cerah—tanpa beban masa lalu yang mengikat.

Ketika mobil mereka melaju menjauh, Shania menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Ini adalah awal baru. Hidupnya bersama Arum mungkin tidak akan mudah, tapi setidaknya mereka punya kesempatan untuk bahagia, dan itulah yang terpenting.

***

Setelah tiba di rumah, Shania memandangi pintu depan yang pernah menjadi saksi banyak kenangan—baik manis maupun pahit. Dengan hati yang berat namun teguh, dia memasuki rumah yang kini terasa lebih sepi dari biasanya. Rumah ini dulu penuh dengan tawa, percakapan panjang, dan impian yang pernah mereka bangun bersama. Tapi sekarang, hanya ada dirinya dan Arum.

Life after divorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang