Shania duduk di meja makan, menatap piring kosong di depannya. Rasena belum juga pulang dari kantornya. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk lembur, tetapi hari itu terasa berbeda. Ada ketegangan yang meliputi rumah, seolah ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka.
Ketika pintu akhirnya terbuka, Rasena masuk dengan raut wajah lelah. Shania berusaha tersenyum, tetapi senyumnya hanya membuat Rasena semakin terdiam. Dia menyadari ada sesuatu yang mengganjal dalam diri suaminya, tetapi ketika ditanya, Rasena hanya menggelengkan kepala dan berjalan menuju kamar.
"Ras, kita perlu bicara," panggil Shania, sedikit khawatir. Dia berusaha mengingat kembali saat-saat ketika mereka bisa berbicara dengan terbuka. Saat itu sepertinya sudah lama sekali.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Rasena berbalik.
"Nanti saja, Shania. Aku capek," jawabnya singkat, dan menutup pintu kamar. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Shania. Rasa frustrasi bercampur dengan kesedihan.
Hari-hari berlalu, dan komunikasi mereka semakin menipis. Rasena lebih sering menghabiskan waktu di kantornya dan mengabaikan panggilan Shania. Meskipun tidak ada orang ketiga, ada jarak yang semakin melebar di antara mereka. Rasena selalu mengeluh tentang pekerjaan yang menumpuk, tekanan dari atasannya, dan beban tanggung jawab yang dirasa semakin berat.
Shania mencoba untuk mendukung, tetapi seiring berjalannya waktu, rasa dukungan itu perlahan-lahan memudar menjadi ketidakpuasan. Rasena seolah menganggap Shania dan rumah mereka sebagai beban tambahan dalam hidupnya yang sudah penuh dengan tekanan. Terkadang, saat mereka berbicara, Rasena akan mencurahkan semua keluh kesahnya, tetapi itu hanya membuat Shania merasa semakin jauh. Dia merasa tak berarti dalam hidup suaminya, seolah keberadaannya tak lagi dianggap penting.
Suatu malam, saat mereka duduk di sofa, Shania memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
"Ras, kita harus bicara. Aku merasa kita semakin jauh. Apakah kau masih ingin kita berjuang bersama?" tanyanya, suaranya bergetar.
Rasena menatapnya, ada keraguan di matanya. "Aku... aku tidak tahu, Shania. Aku hanya merasa terbebani. Semua ini terasa sulit," jawabnya.
Kata-kata itu membuat hati Shania hancur. Dia tidak mengharapkan jawaban itu.
"Maksudmu, kita harus menyerah?" tanya Shania, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kita sudah berjanji untuk bersama, bukan? Ini hanya masa sulit, kita bisa melewatinya."
"Aku tidak bisa menjamin apa pun," Rasena menjawab, suaranya datar. "Aku merasa terperangkap dalam hidup ini."
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Shania merasa terhimpit oleh keputusasaannya. Dia berusaha menjelaskan bahwa mereka bisa mencari solusi, tetapi Rasena seolah tidak lagi mendengarkan. Dia hanya terjebak dalam pikirannya sendiri, merasa tidak berdaya dan kehilangan arah.
Sejak saat itu, komunikasi mereka semakin buruk. Shania berusaha menjangkau Rasena, tetapi suaminya sering kali menutup diri. Dia tidak ingin mengeluh lebih lanjut, tapi rasa sakit yang dirasakannya semakin menjadi. Setiap kali Shania melihat Rasena berangkat kerja dengan wajah lelah, hatinya mencelos. Seolah ada dua dunia yang terpisah—satu di dalam diri Rasena yang penuh dengan beban, dan satu lagi yang berusaha ia bangun untuk keluarga mereka.
***
Ketika Shania mengetahui bahwa dia hamil, campuran perasaan bahagia dan cemas memenuhi dirinya. Bayangan masa depan mereka berdua, sekarang bertiga, muncul dalam pikirannya. Rasena tampak bersemangat pada awalnya, tetapi seiring berjalannya waktu, sikapnya mulai berubah.
Shania merasakan bahwa Rasena seolah menyerahkan semua tanggung jawab kepadanya. Di awal kehamilan, Rasena hanya sesekali bertanya tentang kondisi Shania dan janin di dalam perutnya. Ketika Shania berbagi tentang keinginan untuk menyiapkan kamar bayi atau membeli perlengkapan, Rasena lebih sering mengangguk tanpa banyak komentar. Seolah-olah Rasena merasa tidak perlu terlibat lebih dalam, atau mungkin dia merasa terlalu lelah untuk melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life after divorce
RomanceShania resmi bercerai. Sebenarnya dia masih mencintai Rasena, mantan suaminya. Namun Shania sudah tidak kuat hidup bersama Rasena. Karena selamanya itu waktu yang terlalu lama. Kali ini, dia menjalani hidup baru bersama Arum, putri semata wayangnya