Hari-hari berlalu, dan Shania kembali menjalani rutinitasnya. Meski ada banyak perasaan yang bergejolak di dalam hatinya, dia tetap fokus pada dua hal yang paling penting: pekerjaannya dan Arum. Setiap pagi, Shania menyiapkan segala keperluan Arum sebelum berangkat ke kantor. Arum yang kini semakin aktif sudah mulai berjalan dengan cepat, bahkan kadang membuat Shania kewalahan mengejarnya di rumah
Shania menghela napas sejenak, menatap Arum yang tampak asyik bermain dengan mainan warna-warni di lantai ruang tamu. Wajah kecil itu tersenyum ceria, dan Shania merasa sedikit lega. Di tengah segala kesulitan yang ia hadapi, melihat perkembangan Arum adalah sumber kekuatannya
"Arum sudah semakin besar," pikirnya, mengingat bagaimana dulu dia merasa khawatir ketika Arum sakit dan merasa tidak cukup kuat untuk menghadapinya sendiri
Di tempat kerja, Shania terus menunjukkan kinerja yang baik, walaupun sesekali masih ada bisikan-bisikan dari rekan kerja tentang statusnya sebagai seorang janda. Namun, Shania sudah belajar untuk tidak terpengaruh. Dia tahu fokus utamanya adalah memastikan masa depan Arum dan dirinya sendiri. Bahkan, ketika Dipta sesekali mencoba mendekat, Shania tetap menjaga jarak, mengingat batasan yang harus ia jaga demi Arum
Malam itu, setelah Arum tertidur di tempat tidurnya, Shania duduk di meja makan, menatap secangkir teh yang mulai dingin. Di sela-sela kesibukannya, dia sering merenung tentang hidupnya
"Apakah aku sudah melakukan yang terbaik?" pikirnya, memikirkan segala keputusan yang ia buat, baik soal perceraiannya dengan Rasena maupun hubungannya dengan Dipta yang mulai menghangat meskipun ia belum sepenuhnya yakin
Namun, setiap kali melihat Arum, hatinya selalu kembali pada satu hal: kebahagiaan Arum adalah prioritas utamanya. Tidak peduli seberapa rumit hidupnya, Shania yakin dia bisa melalui semuanya selama dia memiliki kekuatan untuk terus melangkah, demi putri kecilnya yang tumbuh dengan pesat setiap harinya
***
Saat itu Shania membawa Arum berjalan-jalan di taman, seperti biasa. Udara sore yang sejuk dan suara gemerisik daun seolah menenangkan pikirannya yang lelah setelah bekerja seharian. Arum tampak ceria, berlari-lari kecil dengan senyum yang selalu berhasil membuat hati Shania terasa hangat
Namun, tiba-tiba Shania merasakan sakit perut yang luar biasa. Rasa nyeri itu datang begitu mendadak, membuatnya berhenti di tengah langkah. Tangannya memegangi perutnya, sementara wajahnya memucat. Rasa sakit yang begitu tajam membuat tubuhnya hampir tak mampu menahan beban
Shania melihat ke sekeliling, namun tidak ada siapa pun di sana. Taman yang tadinya tampak ramai kini terasa sepi, tak ada orang dewasa yang bisa dia mintai tolong. Dalam kepanikan, ia hanya bisa memanggil Arum yang sedang sedikit menjauh
"Arum! Sayang... sini!" panggil Shania dengan suara tertahan, menahan sakit yang semakin kuat. Tangannya berusaha menarik napas dalam-dalam, berharap sakit itu segera reda
Arum yang mendengar suara ibunya berhenti berlari dan menatapnya dengan polos. Ia berjalan menghampiri Shania dengan tatapan penuh kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi
"Sini, duduk dekat Mama dulu..." Shania berusaha untuk tetap tenang meski rasa sakit itu semakin menusuk
Arum yang belum benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi hanya menuruti perintah ibunya. Ia duduk di samping Shania, sementara Shania mencoba mengatur napas dan menahan rasa sakit. Ia tahu ia harus kuat, setidaknya sampai rasa sakit ini mereda dan mereka bisa pulang
Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, perlahan-lahan rasa sakit itu mulai menghilang, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Shania mengusap keningnya yang berkeringat, lalu menarik Arum ke pelukannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Life after divorce
RomanceShania resmi bercerai. Sebenarnya dia masih mencintai Rasena, mantan suaminya. Namun Shania sudah tidak kuat hidup bersama Rasena. Karena selamanya itu waktu yang terlalu lama. Kali ini, dia menjalani hidup baru bersama Arum, putri semata wayangnya