Meli sedang sibuk menata rangkaian bunga besar di tengah ruangan, telapak tangannya mulai terasa perih karena beberapa duri mawar yang menembus sarung tangan tipisnya.
Ini adalah salah satu pesanan terbesar yang pernah ia terima, karangan bunga untuk acara formal besar dari sebuah lembaga pemerintahan.
Hari itu Adi juga berada di sana, membantu menyelesaikan beberapa detail rangkaian untuk acara besar minggu ini.
Sesekali, Meli mengarahkan Adi untuk menata pita atau membetulkan susunan mawar, tapi kebanyakan mereka bekerja dalam keheningan, tenggelam dalam konsentrasi.
Sudah seminggu penuh mereka menghabiskan waktunya untuk mengurusi detail demi detail project ini, berusaha menampilkan hasil terbaik.
Ponsel Meli tiba-tiba bergetar di meja kerja dan memunculkan nomor yang tidak dikenalnya. Meli mengerutkan dahi sejenak, namun tetap mengangkatnya.
Suara di ujung telepon terdengar resmi tapi ragu. "Selamat siang, Mbak Kamelia. Saya Fanny dari Dinas Sosial. Begini mbak, saya mau info terkait pesanan kemarin yang dibuat oleh atasan saya Ibu Rani untuk acara minggu ini. Kami mau menyampaikan kalau pesanannya terpaksa dibatalkan mbak. Maaf ya Mbak Kamelia kalau infonya mendadak sekali."
Adi melirik ke arah Meli, memperhatikan perubahan ekspresi wajahnya yang awalnya tenang menjadi penuh kejutan, lalu perlahan berubah suram.
Dia melihat Meli mengernyit, menggigit bibirnya, dan suaranya mulai terdengar bergetar. "Tunggu, dibatalkan?" tanyanya, nyaris berbisik. Adi segera meletakkan bunganya dan mendekati Meli, ikut cemas.
Suara di ujung telepon terdengar resmi namun ragu. Meli mencoba menyanggah, suaranya semakin lirih dan terpotong-potong. "Tapi., semuanya sudah hampir selesai. Kami...kami bisa kurangi jumlahnya kalau perlu," katanya, terdengar putus asa.
Fanny terdengar tidak nyaman. "Begini mbak, sebenarnya kami sudah berusaha mengajukan opsi seperti itu. Tapi, pimpinan kami tadi pagi baru banget membuat keputusan untuk membatalkan acara ini untuk efisiensi anggaran."
"Kami nanti akan menghubungi Mbak Kamelia lagi ya untuk pengaturan administrasi dan kompensasi yang mungkin dibutuhkan. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya." sambung Fanny di ujung telepon.
Meli mengakhiri telepon dengan pelan, dan menatap hampa pada ponsel di tangannya. Untuk sesaat, dia terlihat begitu terpukul, seakan semua energi yang ia bangun dalam seminggu terakhir tersedot habis dalam sekejap. Adi diam-diam mendekat, melihat betapa terpukulnya Meli. "Kak, kenapa?" tanyanya hati-hati.
Meli tak menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menahan kekecewaan yang mulai menggelayuti hatinya.
Rasanya seolah ada batu besar yang menghantam dirinya tanpa peringatan, menggugurkan semua harapan yang ia rangkai selama ini. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya, tapi masih enggan bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Bloom | Byeon Wooseok - Kim Hyeyoon - Kim Rowoon
RomanceHampir sepuluh tahun berlalu, takdir mempertemukan mereka kembali di toko bunga yang sama. Kini, Adi berusia 26 tahun dan telah tumbuh menjadi pria dewasa yang matang, sementara Kamelia masih berjuang membangun impian dalam dunia florist yang selalu...