"Sayang, udah pulang? Maaf ya soal yang tadi."
Biasanya, pesan dari Haikal akan segera Meli balas. Tapi untuk kali ini jempolnya ragu untuk mengetik jawaban. Ia menatap pesan itu beberapa saat, merasakan kegamangan yang selama ini mengendap. Ada dorongan kuat untuk tidak langsung membalas atau bahkan tidak membalas sama sekali.
Haikal mencoba menelepon. Ponsel Meli bergetar di tangannya namun dia hanya menatapnya. Akhirnya, ia malah mengabaikan panggilan itu dan diam-diam merasa sedikit lega.
Semakin lama, hubungan mereka terasa seperti bayangan samar dari apa yang dulu pernah mereka miliki. Sambil duduk di sudut kamarnya, pikirannya mulai mengembara ke berbagai momen selama dua tahun bersama Haikal.
Dulu, Meli yang pertama kali menyatakan perasaannya pada Haikal karena dia begitu yakin menemukan sosok yang sejalan dengannya. Haikal adalah seseorang yang ambisius, berani mengejar mimpi-mimpinya tanpa ragu. Ini sifat yang Meli kagumi dari Haikal karena ia juga memilikinya.
Bersama Haikal, Meli merasa ada seseorang yang mengerti hasratnya untuk meraih lebih, yang sama-sama ingin maju dan tumbuh. Tapi beberapa bulan terakhir, semua terasa berbeda. Haikal semakin jarang menghubunginya, seringkali sulit ditemui, dan entah mengapa, rasanya semakin jauh.
Kenangan kejadian siang tadi kembali memenuhi pikirannya. Di saat Meli membutuhkan dukungan dan pengertian, Haikal malah membuatnya merasa kecil. Kata-kata Haikal yang begitu tajam, meskipun mungkin ada benarnya, justru menyisakan luka dalam hati Meli.
Seharusnya, Haikal bisa mendukungnya dengan cara yang lebih baik, namun dia memilih untuk menunjukkan kesalahannya tanpa memberi ruang bagi Meli untuk memperbaiki diri. Sakit itu kini menyatu dengan rasa kecewa, menyadarkan Meli bahwa mungkin mereka tidak lagi berjalan ke arah yang sama. Meli merenung, apa hubungan mereka masih layak diperjuangkan, atau hanya bertahan karena kebiasaan.
Pikirannya kembali melayang ke perhatian kecil dari Adi akhir-akhir ini. Cara Adi selalu datang untuk membantu, bagaimana ia selalu mendengarkan dengan tulus, seolah-olah apa yang Meli katakan benar-benar berarti. Ada perbedaan yang begitu nyata; ketika bersama Adi, dia merasa didengarkan, dihargai.
Ia juga memikirkan ratusan tangkai bunga yang seharusnya hari ini tertata rapi untuk project besar pertamanya, yang kini hanya meninggalkan kegagalan. Terbayang lagi di kepalanya modal dan tenaga yang sudah dicurahkan demi pesanan besar itu, semua harapan yang disematkan, dan akhirnya berakhir dengan kekecewaan.
Meli pun terlelap. Lelah oleh pergulatan pikirannya sendiri hari ini. Di balik kepalanya yang berat, ia berharap mimpi malam ini membawanya ke tempat yang tenang, jauh dari rasa ragu yang kini mulai tumbuh dalam hatinya.
----
Meli berdiri di sudut toko, memandangi bunga-bunga yang tersisa dari project yang gagal kemarin. Di sana ada buket-buket setengah jadi, sebagian masih segar tapi beberapa di antaranya mulai layu.
Dia mendesah sambil mengusap rambutnya yang terurai ke belakang, merasa bingung harus bagaimana.
Di saat itu, Adi datang dan melihat ekspresi galau Meli. "Kok ngelamun, kak" tanyanya sambil melirik buket buatan Meli di atas meja.
Meli tersenyum lemah. "Iya nih. Mikirin sisa project yang nggak jadi kemaren, Di. Seperempatnya udah layu, sisanya nggak mungkin aku jual kayak gini." Dia menatap bunga-bunga itu lagi dengan ekspresi kecewa. "Tapi, sayang banget kalau dibuang."
Adi yang sedang bersiap untuk bekerja hari ini melirik sebentar ke arah Meli. Namun, dia tak mengatakan apapun dan kembali diam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
----
Keesokan harinya, Meli tiba di toko dan mendapati Adi sudah sibuk di meja kerja, menyortir bunga-bunga yang kemarin. Beberapa bunga disusun rapi di nampan kecil, sementara sebagian lainnya diikat longgar dengan tali rami, siap untuk dikeringkan.
Meli mengernyit heran. "Adi, kok udah di sini aja? Emang gak sekolah?"
Adi menoleh sambil tersenyum tipis. "Libur kak, guru-guru lagi ada rapat katanya. Aku ke sini aja deh bair gak bosen."
Meli mengangguk, "Terus ini kamu lagi ngapain?" lanjutnya lagi.
"Oh, aku kepikiran soal bunga-bunga yang kemarin, Kak. Biar nggak kebuang, kayaknya beberapa bisa dikeringin dulu. Bunga keringnya nanti bisa buat dekorasi toko atau jadi hiasan yang lebih tahan lama."
Meli terlihat terkesan. "Wah, ide bagus, Di! Terus, yang ini buat apa?" tanyanya sambil menunjuk bunga-bunga segar yang sudah ditata cantik oleh Adi dan disimpan di chiller.
Adi menggaruk belakang kepalanya, agak canggung. "Aku mikir, gimana kalau kita coba jual sisanya pas acara wisuda sekolah weekend ini? Jadi kita bikin buket-buket simpel buat yang lagi wisuda, mumpung bunganya masih bagus kalau disimpen di chiller."
Meli terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. "Gila deh, Di. Ide kamu keren banget! Aku bahkan nggak kepikiran sama sekali buat acara wisuda. Kayaknya bakal banyak yang tertarik beli bunga buat ngerayain."
Adi mengangguk, senang melihat reaksi Meli. "Aku bisa kontak temenku yang jadi panitia wisuda juga. Mungkin bisa bantu promosiin ke teman-temannya."
Meli tertawa kecil. "Nggak nyangka, jago juga kamu bikin strategi. Makasih ya, Di. Nggak salah deh emang aku hire kamu magang di sini."
Mereka berdua pun mulai bekerja sama untuk menyortir dan menyusun bunga-bunga tersebut menjadi buket-buket yang lebih simpel dan cocok untuk wisuda. Dari ide kecil yang tampak sederhana, Adi justru menunjukkan betapa tulusnya dia membantu, dan di balik keseriusannya, terlihat bahwa dia juga menikmati waktu bersama Meli.
-----
Di meja kerja toko bunga, Meli dan Adi sibuk merangkai buket untuk acara wisuda. Meli tampak serius, tangannya gesit menyusun bunga sambil sesekali meniup rambutnya yang mengganggu penglihatannya. Rambutnya yang lepas terus jatuh ke wajah, membuatnya harus berhenti berkali-kali untuk menyingkirkannya.
Melihat Meli yang kerepotan, Adi mendekat. "Kak, mau kubantu kucirin?" tanyanya tiba-tiba.
Meli agak terkejut, tapi sebelum dia sempat menjawab, Adi sudah mengambil karet rambut yang tergeletak di meja dan dengan hati-hati mengikat rambut Meli, mengumpulkannya ke belakang dengan gerakan yang lembut namun cekatan. Meli terdiam, menyadari betapa dekatnya jarak mereka, dan detak jantungnya mulai terasa lebih cepat.
Setelah selesai, Adi tersenyum. "Nah, sekarang Kak Meli nggak bakal ribet sama rambutnya lagi."
Meli tersenyum canggung, wajahnya sedikit memerah. "Thanks, Di." Dia mencoba fokus lagi ke rangkaian bunga, tapi dalam hatinya, perasaan aneh yang membuatnya salah tingkah tak bisa diabaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Bloom | Byeon Wooseok - Kim Hyeyoon - Kim Rowoon
RomanceHampir sepuluh tahun berlalu, takdir mempertemukan mereka kembali di toko bunga yang sama. Kini, Adi berusia 26 tahun dan telah tumbuh menjadi pria dewasa yang matang, sementara Kamelia masih berjuang membangun impian dalam dunia florist yang selalu...