"Breaking News pemirsa. Pelaku penembakan Komandan Pasukan Pengawalan Presiden beserta tiga anggota keluarganya satu bulan lalu, berhasil di tangkap dalam keadaan tidak bernyawa. Tersangka berinisial MH ditangkap dalam pelariannya dini hari kemarin oleh reserse kriminal yang dipimpin oleh Kolonel Johan Abimana. MH berhasil di lumpuhkan setelah melalui perkelahian sengit dengan komandan tim yang berjuluk Serigala ini. Dalam wawancara dengan Johan, ia menjelaskan terpaksa menembak mati MH karena membela diri dan juga mencegah agar pelaku tidak melarikan diri lagi."
Berita tentang penangkapan dan tewasnya Mahameru Hadiutama mantan letnan kolonel yang dipecat secara tidak hormat karena menembak mati komandannya, dengan cepat menyebar. Para pencari berita sudah standby sejak pagi buta baik di depan rumah sakit polisi maupun kantor tempat dimana kasus pria itu ditangani.
Rey berjalan cepat melewati awak media yang berkerumun di depan kantornya, pria itu tak acuh dengan pertanyaan-pertanyaan ringan dari beberapa wartawan mengenai kasus yang sedang viral di kantornya. Yang ia tahu saat ini adalah ia harus bertemu Johan dan mengklarifikasi secara langsung maksud dari pernyataan orang itu di hadapan media.
"Ndan..."
Namun baru juga mendorong pintu ruangan sedikit, Rey langsung membulatkan matanya dan buru-buru merelai dua orang yang sedang berguling-guling di lantai.
"Pete apa-apaan ini weh." Rey menarik tubuh Peter sekuat tenaga agar menjauh dari Johan. Rey bisa merasakan nafas yang memburu dari orang itu. Dan kalau Rey tidak salah, Peter sudah berhasil mencuri pukulan dari komandan mereka, karena sudut bibir Johan yang lebam dengan sedikit luka.
"Lepaskan saya Bang." Peter memberontak. Emosinya belum terlampiaskan semua, rasanya ia ingin meratakan seluruh wajah orang itu dengan tinjunya saat ini juga.
"Tenang Pete, kamu ini kenapa sih?" Rey menaikkan nada suaranya, sedikit kewalahan menahan tangan Peter di belakang.
PLAK!
Satu tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi Peter, membuat Rey dan Peter sama-sama menatap Johan terkejut.
"Jangan karena saya bersikap baik sama kalian semua, kamu bisa bersikap seenaknya sama saya, hilangnya Galaksi bukan salah saya, dia sendiri yang menolak pulang, Rey saksinya. Bahkan anak buah sialan itu sudah hampir membunuh kami semua hanya karena harus membujuknya untuk segera pergi."
"Dia begitu karena memang tidak kompeten, seharusnya seorang polisi apalagi yang bekerja di divisi ini harusnya diisi oleh orang-orang yang cekatan. Sedangkan dia itu payah, tidak bisa di andalkan dan hampir membuat semua orang kehilangan nyawa karena kecerobohan satu orang. Dan perlu kamu ingat, pangkat rendah itu tugasnya memang berkorban, begitulah aturannya."
"Ndan..." Rey menatap Johan tidak percaya, kunciannya pada tangan Peter ikut melemah, namun Peter malah tak segera melepaskan diri, pria itu bahkan hampir terjatuh kalau Rey tidak menahan tubuhnya.
"Saya tidak menyangka, seorang Komandan yang baik seperti anda bisa mengatakan hal serendah ini, pimpinan ada di tengah-tengah anak buah itu bukan untuk dilindungi, Ndan. Tapi untuk memimpin. Untuk menunjukkan apa yang harus di lakukan, saya pikir selama ini komandan adalah panutan luar biasa saya..."
"Ternyata ungkapan tentang lihatlah sifat asli sesorang itu disaat masa sulit benar adanya. Sifat asli anda terlihat jelas saat ini." Rey menarik tangan Peter, berniat membawanya keluar. Namun Peter lebih dulu melepaskannya dan mendahului Rey.
"Abang juga sama saja." ujar Peter saat Rey memaksa membawanya duduk di kantin yang masih sangat sepi itu.
Rey mengangguk tipis. "Saya juga sama aja. Saya seharusnya bawa dia pulang saat itu, atau mati bersama dia disana. Saya terlalu pengecut untuk mengambil keputusan yang tepat, Pete." mata pria itu berkaca-kaca.
Peter mengangkat wajahnya, menatap wajah Rey yang nampak lelah namun tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya, bersih dan tanpa luka.
"Bagaimana Gala waktu abang terakhir kali liat dia?" tanya Peter lirih. Pria itu mengulum bibirnya, rasa sakit itu dengan cepat merasuki hatinya.
Rey membuang wajah kearah lain, tak tega menatap wajah menyedihkan orang itu. "Dia melakukan yang terbaik, dia terlihat yakin dan...." Rey menahan ucapannya saat mendengar isakan kecil dari orang di hadapannya.
"Pete...." panggil Rey.
"Tim sudah berangkat, kita tunggu kabar baiknya." ucapnya tulus. Ada rasa menyesal yang dalam karena sebelumnya dia dengan pasti mengabarkan pada Peter bahwa Gala sudah tewas.
"Kenapa nama Gala tidak di sebut dalam berita Bang? Kenapa tidak ada satu orangpun yang menjelaskan kalau seseorang belum tau kabarnya."
"Itu juga yang abang pikirkan, makanya buru-buru datang kesini."
Peter menghapus air matanya kasar. Sebenarnya tubuhnya sudah tidak punya tenaga lebih untuk melakukan apapun, namun hatinya sama sekali tak tenang bahkan hanya untuk menyesap kopi susu hangat yang ada di depannya saat ini.
"Kenapa Gala harus tewas sementara kalian semua pulang tanpa luka bang? Ada apa sebenarnya yang terjadi disana?"
Rey terdiam. Ia teringat ucapan Gala padanya kemarin malam. "saya temukan ini."
"Galaksi, dia yang membunuh tersangkanya?" bisik Rey dalam hati. Kenapa dia baru menyadari ini sekarang. Sangkur itu, telepon genggam, lalu luka di wajah Gala, sementara Komandannya yang berlari tidak lama sebelum Gala menemuinya tidak mendapatkan luka apa-apa.
"Bang? Abang pasti tau sesuatu kan Bang? Apa yang sebenarnya terjadi disana Bang?"
Rey menatap Peter yakin. "Gala pasti masih hidup Pete."
***
"Bagaimana keadaannya dok?"
Pria yang memakai jas putih panjang itu menatap pria yang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan beberapa alat yang menempel di tubuh juga perban yang menutupi kedua kakinya itu dengan sendu.
"Sersan Gala pasti melewati malam yang panjang dengan rasa sakit yang luar biasa namun dia berusaha mempertahankan kesadarannya sampai batas terakhir yang dia bisa Jenderal." ujar dokter ber nametag Hadi dengan dua balok emas di kerah seragam di balik jas dokternya itu.
"Lalu bagaimana keadaannya?"
"Gala anak yang kuat jenderal, walaupun dia kehilangan banyak darah tapi organ-organnya masih berfungsi dengan baik, detak jantungnya juga meningkat. Dalam beberapa jam saya rasa beliau sudah bisa siuman." jawab dokter Hadi sambil tersenyum sopan.
Bumi yang sedari tadi terus menggenggam jemari putranya tersenyum lega sambil mengucap terimakasih kepada Hadi dan seorang perawat yang sudah merawat putranya dengan baik. "Terimakasih Letnan. Dan saya mohon rahasia ini hanya kita yang tau dulu!"
Hadi mengangguk, "Kalau begitu saya permisi dulu Jenderal."
Begitu Hadi meninggalkan ruangan, Bumi kembali duduk di kursi samping tempat tidur Gala, wajah tuanya menatap sang putra penuh kesedihan, beberapa lebam dan luka mengganggu penglihatan Bumi, wajah tampan putranya ditutupi oleh bengkak keunguan dimana-mana.
"Maafkan Papi." bisiknya sembari mencium tangan sang putera lama sebelum meninggalkan ruangan itu.
"Tidak ada yang tahu kan kalau Galaksi ada disini?" Bumi bertanya pada ajudan kepercayaannya yang sedari tadi berjaga diluar ruang rawat Galaksi.
Ajudan itu mengangguk pasti, "Tidak kecuali Inspektur Levi, Ndan."
Bumi mengangguk. "Perintahkan penjagaan 24 jam untuk Gala, jangan biarkan siapapun masuk selain dokter Hadi dan perawat suruhan beliau. Paham?" titah Bumi.
"Siap Ndan."
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL] ✅
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden