Vanila melangkah menjauh dari Carakha, tak ingin situasi semakin memanas. Dia segera meraih gagang pintu dan melangkah keluar kamar, udara segar menjadi tujuannya.
Membanting pintu dengan sedikit kasar, Vanila menghela napas berat begitu berada di luar. Dadanya terasa sesak, dan udara dingin malam perlahan masuk ke paru-parunya. Ia berusaha menenangkan diri, menatap langit gelap di atasnya. "Kenapa sih orang itu selalu bikin gue kesal!" gerutunyanya.
Sementara itu, di dalam kamar, Carakha mengumpat pelan. "Shit," gumamnya sambil menggelengkan kepala, merasa situasi tadi nyaris lepas kendali. Sambil menggaruk kepalanya dengan frustrasi, ia segera mengambil kemejanya yang terserak di lantai dan memakainya dengan cepat. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengejar Vanila, tak ingin membiarkan gadis itu pergi begitu saja.
"Gadis bodoh! Apa dia lupa ini masih malam?" gerutu Carakha. Dalam kekesalannya, ia mempercepat langkah, menyusuri lorong dan halaman dengan cemas. "Sial, jalannya cepat juga!" gumamnya, merasa frustrasi karena Vanila sudah jauh.
Setelah beberapa menit mencari, akhirnya Carakha melihat sosok Vanila duduk di sebuah bangku di luar restoran. Namun, yang membuatnya lebih terkejut bukanlah keberadaan Vanila di sana, melainkan sosok pria yang duduk di sebelahnya. Martin.
Hati Carakha seketika berdegup lebih cepat. Martin adalah rivalnya, seseorang yang tak hanya menjadi duri dalam karirnya tetapi juga dalam urusan pribadi. Martin selalu berusaha menyainginya dalam berbagai hal, dan sekarang dia bersama Vanila. Situasi ini terasa lebih rumit dan berbahaya.
"Sial kenapa VAnilla bisa bersama si brengsek itu!" tangan Carakha mengepal.
Carakha mengerutkan kening, ingin segera mendekat dan menarik Vanila dari sana. Tapi instingnya menahannya. Jika Martin tahu Vanila adalah rekannya atau lebih dari itu dia pasti akan mencari cara untuk memanfaatkan situasi ini. Carakha tak bisa mengambil risiko.
Dari tempatnya berdiri, Carakha berusaha mendengar apa yang mereka bicarakan. Martin terlihat santai, dengan senyum licik yang sudah sangat dikenal Carakha. Vanila trelihat santai. Carakha mengepalkan tangannya, Ia harus mencari cara untuk melindungi Vanila tanpa diketahui Martin.
Vanila duduk diam, tatapannya lurus ke depan, mengabaikan sepenuhnya keberadaan Martin di sebelahnya. Ia memang selalu bersikap dingin terhadap orang asing, terutama pria yang mencoba mendekatinya tanpa izin. Namun, sikap cueknya ini justru membuat Martin semakin tertarik. Pria itu salah mengira bahwa sikap Vanila adalah tantangan yang harus ditaklukkan.
"Hai cantik! kenapa malam-malam disini?"
Vanilla tekmenggubris, benar juga, dia baru sadar kalau hari masih malam. DIa ingin kembali ke kamar tapi gengsi.
Martin mulai menggerakkan tangannya, hendak melakukan sesuatu yang tidak sopan.
Carakha sudah bersiap menghajar laki-laki itu. Tapi sebelum ia sempat bertindak. Vanila melakukan tindakan. Tanpa memberi kesempatan, dia membanting Martin dengan gerakan cepat dan kuat yang menunjukkan keahliannya dalam bela diri. Tubuh Martin terjatuh ke tanah dengan bunyi yang cukup keras.
Carakha, yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, tersenyum lebar. "Yes, keren La," gumamnya, merasa senang dan bangga melihat Vanila menangani situasi tersebut tanpa bantuan.
Vanila mendengus kesal, membenarkan bajunya yang sedikit berantakan, lalu berdiri. "Ck, ganggu saja!" ucapnya dengan nada tajam sambil berlalu meninggalkan Martin yang masih tergeletak di tanah. "Gue sedang nggak mood, lo yang duluan mancing!"
Vanila beranjak menuju lobi hotel, mencoba melupakan kejadian tadi dan kembali ke kamarnya. Begitu langkahnya mencapai pintu lobi, dia terkejut melihat Carakha sudah berdiri di sana, menunggunya dengan ekspresi tenang tapi penuh makna.
Carakha tersenyum tipis begitu melihatnya. "Ayo, kita lanjutkan tidur... tanpa insiden," katanya dengan nada setengah bercanda. "Gue janji nggak akan ngelakuin hal yang aneh-aneh."
Vanila menghela napas, meski tak bisa menyembunyikan sedikit senyum di ujung bibirnya. "Semoga kali ini lo bisa dipegang omongan lo," balasnya dengan nada datar.
Carakha terkekeh dan mengangkat tangannya, seolah bersumpah. "Gue serius! Lagipula, besok masih ada tugas menanti. Kita perlu istirahat yang cukup."
Vanila mengangguk, melangkah masuk ke dalam lobi dengan Carakha mengiringinya. Malam itu mungkin akan menjadi awal baru bagi mereka, di mana kedekatan mereka beralih dari sekadar rekan kerja menuju hubungan yang lebih dalam, meski tanpa harus mengucapkannya secara langsung.
Setibanya di kamar, Vanila menatap Carakha. Pria itu membuka pintu, mempersilakannya masuk terlebih dahulu, lalu mengikuti dengan langkah ringan. Setelah menutup pintu, Carakha melepaskan jaketnya dan langsung merebahkan diri di sofa, sementara Vanila duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang.
"Gue nggak tahu lagi mau bilang apa soal hari ini," kata Vanila pelan. Hari itu benar-benar melelahkan baginya, mulai dari tugas, gangguan Martin, hingga momen aneh di antara dirinya dan Carakha.
Carakha menatap langit-langit sambil menyilangkan tangan di dada. "Well, kita dapat pelajaran penting hari ini," ucapnya, suaranya tenang namun menggoda. "Jangan pernah biarkan gadis yang lo suka pergi sendirian di malam hari."
Vanila meliriknya tajam, tapi ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan. "Lo ini, emang senang banget bikin gue kesal, ya?"
Carakha terkekeh kecil, lalu duduk dengan posisi lebih serius, menatap Vanila dengan sorot mata yang tak biasa, lebih dalam dan tulus. "Enggak, La.Gue serius, gue khawatir sama lo!"
Ucapan itu membuat hati Vanila berdesir. Meski hubungan mereka sering diwarnai dengan candaan dan sindiran, kali ini ada ketulusan yang tak bisa diabaikan. Namun, alih-alih menanggapi perasaan itu dengan serius, Vanila memilih mengalihkan topik.
"Kita perlu tidur. Besok pagi masih ada tugas yang harus diselesaikan," katanya sambil merabhkan diri di kasur. Membelakangi Carakha.
Carakha tersenyum, mengangguk paham. "Ok, good night princes!"
Deg
Dada Vanilla berdesir mendengar CArakha memanggilnya seperti itu. Tapi dia mencoba menyembunyikannya. Dan memaksa matanya untuk terpejam.
Carakha menatap punggung gadis itu. "Gue ngga bercanda soal tadi La, gue sayang sama lo dan gue pengen lo jadi istri gue" gumamnya lirih. TAnpa bisa di dengar Vanilla.
***
Vanila menggeliat, merasakan tubuhnya terasa segar setelah tidur nyenyak.
"Tak menyangka gue bisa tidur nyenyak juga!" Vanilla membuka matanya perlahan. Matanya terperanjat ketika mendapati Carakha berada tepat di atasnya, bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk di pinggang.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung menendang Carakha dengan kuat. "Hah?! Apa-apaan lo!" serunya, sambil melayangkan pukulan ke lengan Carakha hingga pria itu terjatuh ke samping tempat tidur. Tanpa basa-basi, Vanila menendang perutnya membuatnya jatuh terjungkal ke lantai.
Buk brak
Carakha meringis sambil mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Carakha mengerang, berusaha bangkit sambil memegangi bahunya yang sakit."La! Tunggu dulu! Lo salah paham!" ucapnya dengan napas terengah-engah.
Vanila berkacak pinggang, menatapnya tajam. "Apa yang salah paham? Lo di atas gue cuma pakai handuk!"
"Gue..."
***HAppy Reading***
JAngan lupa tinggalkan jejak, wajib!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Detective I love You
Roman pour AdolescentsCarakha NAreshwara, seorang detectiva arogan yang selalu dikelilingi wanita, harus bertekuk lutut di hadapan mahasiswa magang, jurusan hukum yang menjadi partnernya, Vanilla Agysta. Dia mengklaim si gadis sebagai miliknya di hari pertama mereka bert...